Pondok Belajar

Tuesday, October 04, 2016

Ketentuan Prosedur Ujian Akhir Kompetensi PLPG Tahun 2016




Assalamualaikum...wr..wb..Bapak dan Ibu Guru semuanya, dan Salam sejahtera untuk Kita semua semoga tetap dalam Keadaan Sehat dan Baik insyaallah.berdasarkan rilis dari laman web resmi KementerianPendidikan Kemendikbud, secara resmi di umumkan mengenai  Dua Kebijakan Baru dalam Program sertifikasi Guru 2016.

Prosedur Ujian PLPG
Prosedur Ujian PLPG
Pelaksanaan ujian Sertifikasi pola PLPG merupakan salah satu hal yang sangat menantang dan sekaligus menegangkan bagi semua guru yang mengikuti sertifikasi melalui pola PLPG. Sudah lumrah sekali jika peserta sertifikasi pola PLPG pasti akan deg-degan saat menghadapi ujian akhir untuk sebagai salah satu syarat menerima sertifikat pendidik untuk dibayarkan tunjangan sertifikasi. Pada kebiasaan tahun-tahun sebelumnya, jenis ujian yang diberikan mencakupi ujian Tulis (Ujian tes nasional/UTN), Ujian Lokal (UTL) disamping juga ujian Praktek (peer Teaching), disamping ada juga penilaain selama Proses PLPG berlangsung di kelas.   

Tujuan dilaksanakannya dilaksanakan uji kompetensi ini bukan sekedar mengevaluasi hasil belajar peserta selama PLPG, tetapi lebih kepada pengukuran kecakapan kompetensi guru sebagai pendidik yang betul-betul profesional.

Seperti yang telah saya urauikan tadi jika Ujian kompetensi terdiri dari 2 tes,yaitu tes tertulis dan ujian praktik

Uji Tertulis
Ujian test tulis ini berbentuk soal multiple choice yang berupa Materi materi uji kompetensi berstandar secara nasional, yang melingkupi ujian kompetensi pedagogi dan profesional.
Disamping materi ujian berstandar Nasional ada juga ujian kempetensi yang langsung dibuat dan dikembangkan oleh Rayon LPTK yang telah ditunjuk oleh pihak Kemenbterian Pendidikan Nasional. Ujian lebih dikenal dengan sebutan Ujian test Lokal (UTL). Adapun meteri ujian pada test Lokal ini didasari pada materi terstruktur yang diajarkan pada saat PLPG berlangsung. Jenis ujianya bisa berbentuk essay dan multiple choice.

Ujian praktik 
Bagi seorang guru mengajar itu adalah hal yang sudah biasa dilakukan setiap hari di depan kelas, namun tidak jarang banyak sekali guru yang gugup ketika mengikiti test mengajar (peer Teaching) waktu mengikuti ujian praktek di akhir PLPG. Ujian praktik  Guru kelas dan mata pelajaran terpadu dengan kegiatan peer teaching. Setiap peserta tampil dua kali, dimana yang pertama dianggap sebagai test praktik awal dan dan pada tampilan kedua merupakan ujian praktik terakhir. Penapilan pembelajaran pertama dan kedua bertujuan untuk menilai kemampuan mengajar peserta PLPG.

Ujian praktik Guru bimbingan dan konseling atau konselor di sekolah terpadu dengan kegiatan peer guidance and counseling. Setiap peserta tampil dua kali dan keduanya merupakan ujian praktik. Tampilan pertama melakukan konseling individual  dan tampilan kedua melakukan
bimbingan kelompok atau bimbingan klasikal dengan menggunakan RPLKI dan RPLBK yang dibuat pada workshop.  

Ujian ulang

Untuk tahun ini sesuai dengan kebijakan Baru KementerianPendidikan jika Ujian ulang diperuntukkan bagi peserta sertifikasi yang belum mencapai batas nilai kelulusan. Nilai kelulusan tahun ini adalah 80. Ujian ulang pada hakikatnya sama dengan uji kompetensi yaitu meliputi ujian tulis dan/atau ujian praktik. Apabila peserta ujian ulang praktik untuk mata pelajaran tertentu jumlahnya sedikit, maka dapat digabungkan dengan peserta dari matapelajaran yang serumpun. Dalam hal ujian sertifikasi, seorang peserta dapat mengikuti ujian ulangan jika tidak lulus pada ujian pertama tanpa menulang PLPG, ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud, Sumarna Surapranata.

“Tahun ini bisa mengulang (ujian), tidak perlu PLPG lagi, cukup belajar mandiri, yang kita gerakkan sebagai program Guru Pembelajar,” tuturnya.

Pranata juga menambahkan, guru cukup mengikuti PLPG sebanyak satu kali. Jika guru tersebut tidak lulus ujian sertifikasi, maka dapat mengikuti ujian lagi maksimal empat kali tanpa harus mengulang PLPG. Ujian sertifikasi guru dilaksanakan dua kali dalam satu tahun.

“Jadi sistemnya seperti TOEFL. Kalau tidak lulus bisa mengulang lagi di lembaga yang terakreditasi, dalam hal ini LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan). Jadi guru      bebasbelajar di mana saja dan dengan siapapun untuk mengulang ujian sertifikasi,” ujarnya.

Sumber laman web resmi Kementerian Pendidikan Kemendikbud

Keistimewaan Bulan Muharram dalam ajaran Islam



Tepat tanggal 2 Oktober tahun ini, dimana umat Islam di seluruh dunia sedang memperingati masuknya tahun baru Islam, di Aceh Pemerintah Kota Banda Aceh Menyelenggarakan pawai Akbar Anak sekolah dari tingkat SD/MI sampai Tingak SMA/MA.  Kebetulan tahun baru islam tahun ini tepat berada pa tanggal 2 Oktober awal tahun dalam kalender umat Islam atu lebih dikenal dengan istilah 1 Muharram 1438. Jadi untuk mendapatkan hikmah bulan Muharram, saya akan mendeskripsikan sedikit gambaran tetang keistimewaan bulan ini sebagai renungan untuk lebih memperdalam amal sebagai bekal kita menuju alam akhirat. Adapun kelebihan bulan muharram itu adalah sebagi berikut:
Bulan Muharram dan Kelebihannya
Keutamaan Bulan Muharram
1. Bulan Muharran Termasuk salah satu dari Empat Bulan Haram (Suci)

Bulan muharram termasuk salah satu dari 4 bulan yang disucikan allah, Yang dimaksud dengan empat bulan haram (suci)  adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan ini berurutan), dan Rajab. Ini berdasarkan firman Allah Swt
Allah berfirman, yang artinya 
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah itu ada dua belas bulan, dalam ketetapan Allah ketika Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus..” (QS. At-Taubah: 36).
Pada masa rasulullah dan para sahabat, masyarakat  Arab dilarang berperang pada bulan ke-empat bulan tersebut dikarenakan bulan disucikannya keempat bulan tersebut. Dimana pada massa itu keempat bulan ini dikenal dengan julukan Syahrullah Asham yang artinya Bulan Allah yang Sunyi karena larangan berperang itu.
Kesucian keempat bulan ini juga ditegaskan oleh rasulullah Saw dalam hadistnya sebagai berikut:
Dari Abu Bakrah radhiallahu‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya

“Sesungguhnya zaman/masa itu berputar sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. dalam Satu tahun ada dua belas bulan. dan dalam satu tahun tersebut ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

2. Bulan Muharram dinamakan Bulan Allah (Syahrullah)

Seperti yang sudah umum dipahami oleh umat islam jika bulan yang istimewa itu ada beberapa bagian diantaranya bulan allah (Muharram), bulan nabi (Ra’jab) dan Bulan ummat (Ramadhan)
Tentang keistimewaan bulan muharram sebagai bulan Allah dapat kita lihat dari keterangan Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda artinya:
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (bulan Muharram) (HR. Muslim)
Seperti yang telah ditajih/syarah oleh Imam An Nawawi dalam kitab Shahih Muslim, beliau menyebutkan bahwa bahwa, “Hadits diatas menekankan bahwa Muharram adalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan puasa sunnah.”

3. Bulan Muharram sebagai bulan Kemenangan Musa atas Firaun
Seperti yang banyak diceritan oleh para ulama tentang pertentangan antara Nabi Musa ‘Alaihissalam ketika Fir’un memerintah. Dimana fir’un dikalahkan oleh nabi musa ketika melintasi laut dan ditenggelamkan oleh Allah Swt. Peristiwa tersebut juga terjadi pada bulan Muharram. Ini didasarkan pada Hadist nabi muhammad Saw sebagi berikut:
Dari Ibnu Abbas radhiallahu‘anhuma, beliau menceritakan,
Artinya
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura’. Beliau bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, sehingga Musa-pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa dari pada kalian.” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. (HR. Al Bukhari)

4. Nabi Ibrahim diselamatkan Allah dari Raja Namrud
Seperti yang pernah kita dengar dari banyak orang jika nabi ibrahim “alaihissalam, pernah dibakar oleh Raja Namrud karena menetnag keprcayaan yang dianut oleh raja tersebut. Adapun hukuman yang diberikan adalah nabi Ibrahim di bakar hidup-hidup. Nabi ibrahim dibakar dalam tumpukan kayu yang telah ditumpuk seperti bukit sehingga api tersebut terbentuk laksana gunung api. Namun apa yang terjadi pada nabi ibrahim, nabi ibrahaim keluar dari api yang menyala tersebut dalam keadaan utuh dana tanpa terbakar sehelai ramputpun. Semua orang yang menyaksikan acara pembakaran nabi Ibrahim tercengan dan tidak percaya dengan apa yang sedang mereka saksikan. Ini semua terjadi karena adanya pertolongan Allah seperti yang difirmakan Nya dalam Alqur’an
 firman Allah : “hai api, menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi ibrahim” (Qs 21 ; 69)


sebenarnya masih banyak lagi kelebihan kejadian istimewa yang terjadi dibulan muharram ini namun dilain waktu akan saya lanjutkan kembali. 

Perbedaan Penelitian Kualitatif Dan Kauntitatif

Disini saya akan menjelaskan sedikit perbedaan penelitian kaulitatif dan kuantitatif secara sederhana yang biasa kita tentukan/gunakan dalam kiat penyiapan penulisan karya ilmiah dan thesis dan Disertasi. Namun sebelum menjelaskan kedua item tersebut ada baiknya kita pahami dulu definisi dari kedua jenis penelitian diatas.

Pebedaan Kualitatif dan Kauntitatif
Perbedaan Kualitatif dan Kuantitatif

Pendekatan kualitatif menekankan pada sebuah makna, penalaran, definisi dari suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal yang berhubungan dengan aktivitas/kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan kualitatif, lebih lanjut, mementingkan pada proses dibandingkan dengan perolehan hasil akhir; oleh karena itu urut-urutan kegiatan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi/situasi dan banyaknya gejala yang ditemukan. Tujuan penelitian kaulitatif biasanya berkaitan dengan hal-hal yang  praktis.

Pendekatan kuantitatif
mementingkan adanya penggunaan variabel-variabel sebagai obyek dalam sebuah penelitian dan variabel-variabel tersebut harus didefenisikan dalam bentuk operasionalisasi dari variable masing-masing.  Reliabilitas dan validitas merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam menggunakan pendekatan ini karena dari kedua elemen tersebut akan menentukan kualitas dari hasil penelitian dan kemampuan replikasi serta generalisasi penggunaan model penelitian sejenis. Selanjutnya, penelitian kuantitatif memerlukan adanya hipotesa dan pengujiannya yang kemudian akan menentukan langkah-langkah berikutnya, seperti penentuan teknik analisa dan formula statistik yang akan digunakan. Juga, pendekatan ini lebih memberikan makna dalam hubungannya dengan penafsiran nilai angka statistik bukan makna secara kebahasaan dan kulturalnya.
Dasar teori Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.

Jika kita menggunakan pendekatan kualitatif, maka yang menjadi dasar teori sebagai pijakan adalah adanya interaksi simbolik dari suatu gejala tertentu dengan gejala lain yang dapat ditafsir berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan cara mencari makna semantis universal dari gejala gejala yang sedang diteliti. 
Pada awalnya teori-teori kualitatif ini muncul dari beragam penelitian antropologi , etnologi, serta aliran fenomenologi dan aliran idealisme. Karena teori-teori ini bersifat umum dan terbuka maka ilmu social lainnya mengadopsi sebagai sarana/wadah dari penelitiannya.

Pendekatan kuantitatif, maka dasar teori dari pendekatan ini berpijak pada Fungsionalisme struktural, realisme, positivisme, behaviourisme beserta empirisme yang intinya menekankan pada hal-hal yang bersifat kongkrit, uji empiris dan fakta-fakta yang nyata dari kedua gambaran diatas maka kita dapat menyimpulkan jika pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang didalam usulan penelitian, proses, hipotesis, turun ke lapangan, analisis data dan kesimpulan data sampai dengan penulisannya menggunakan aspek-aspek kecenderungan, non perhitungan numerik, situasional deskriptif, interview mendalam, analisis isi, bola salju dan story. Sebaliknya Penelitian kuantitatif adalah pendekatan yang didalam usulan penelitian, proses, hipotesis, turun ke lapangan, analisis data dan kesimpulan data sampai dengan penulisannya menggunakan aspek pengukuran, perhitungan, rumus dan kepastian data numerik.
Perbedaaan Penelitian Kualitatif dengan kuantitatif
Perbedaaan Penelitian Kualitatif dengan kuantitatif adalah Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi dari suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan  kehidupan sehari-hari. Pendekatan kualitatif, lebih lanjut, mementingkan pada proses dibandingkan dengan hasil akhir; oleh karena itu urut-urutan kegiatan dapat berubah-ubah bergantung pada kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Tujuan penelitian biasanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis. Sedangkan Pendekatan kuantitatif mementingkan adanya variabel-variabel sebagai obyek penelitian dan variabel-variabel tersebut harus didefenisikan dalam bentuk operasionalisasi variable masing-masing.  Reliabilitas dan validitas merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menggunakan pendekatan ini karena kedua elemen tersebut akan menentukan kualitas hasil penelitian dan kemampuan replikasi serta generalisasi penggunaan model penelitian sejenis. Selanjutnya, penelitian kuantitatif memerlukan adanya hipotesa dan pengujiannya yang kemudian akan menentukan tahapan-tahapan berikutnya, seperti penentuan teknik analisa dan formula statistik yang akan digunakan. pendekatan ini lebih memberikan makna dalam hubungannya dengan penafsiran angka statistik bukan makna secara kebahasaan dan kulturalnya.

Sedangkan tujuan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif adalah mengembangkan pengertian, konsep-konsep, yang pada akhirnya menjadi sebuah teori, tahap ini dikenal sebagai “grounded theory”. Sebaliknya pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menguji teori, membangun fakta, menunjukkan hubungan antar variable, memberikan deskripsi statistik, menaksir dan meramalkan  hasilnya. Adapun yang menjadi dasar dari keduan teori ini adalah: Jika kita menggunakan pendekatan kualitatif, maka dasar teori sebagai pijakan adalah adanya interaksi simbolik dari suatu gejala dengan gejala lain yang ditafsir berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan cara mencari makna semantis universal dari gejala yang sedang diteliti. Pada mulanya teori-teori kualitatif muncul dari penelitian-penelitian antropologi ,etnologi, serta aliran fenomenologi dan aliran idealisme. Karena teori-teori ini bersifat umum dan terbuka maka ilmu social lainnya mengadopsi sebagai sarana penelitiannya.. Lain halnya dengan pendekatan kuantitatif, pendekatan ini berpijak pada apa yang disebut dengan fungsionalisme struktural, realisme, positivisme, behaviourisme dan empirisme yang intinya menekankan pada hal-hal yang bersifat kongkrit, uji empiris dan fakta-fakta yang nyata.

Jenis-Jenis penyelidikan Kualitatif
Adapun jenis-jenis dari penelitian kuantitative adalah: Grounded Theory, Ethnography, Phenomenology. Biography dan Penelitian Kes (study kasus). 

Penelitian Ethnography adalah: penelitian yang mengkaji tentang kebudayaan masyrakat tertentu, biasanya penelitian ini merujuk kepada kepercayaan, nilai dan sikap manuasia yang berlandaskan pada pola tingkah laku sekelompok manusia.

Grounded theory adalah: penyelidikan yang mengunakan teori-teori terdahalu didalam melakukan suatu penelitian yang betujuan untuk melahirkan suatu konsep atau theory baru.

Phenomenology adala
h: suatu penelitian yang mengkaji tentang suatu penomena kehidupan yang biasanya merujuk pada pengalaman harian.

Penelitian Biography: adalah penelitian yang merujuk pada pada sejarah hidup seseorang yang di kaji secara baik langsung pada orang tersebut atau melalui dokumen-dikumen tertentu yang merujuk pada gambaran kehidupan orang yang kita ceritakan baik orang tersebut  masih hidup atau telah meninggal.

Sedangkan Penelitian Studi Kasus (case study) adalah; penelitian yang merujuk pada studi kasus tertentu yang ingin kita teliti, penelitian kes ini bisa mengunakan methode kualitatif atau kuantitatif. Bisanya penelitian kes ini banyak menyelidiki suatu kejadian yang unik tentang suatu bentuk penelitian serta pengalaman dan hasil belajar yang diperoleh dari penelitian tersebut. 

Friday, September 23, 2016

CARA MELAKUKAN TAYAMUM YANG BENAR SESUAI SYARIAT



Tayamum merupakan salah satu alternative berwudhuk dalam ajaran islam, namun hal tersebut bukan bisa lakukan kapan saja karena ada syarat dan ketentuan tertentu seseorang boleh melakukan tayamum. Mungkin kalau untuk negara kita indonesia, sering kita temuai sebagian dari saudara-saudara kita dari kalangan kaum muslimin yang masih asing dengan istilah tayammum atau pada sebagian lainnya hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman mereka terhadap tayamaun, selain ditunjang oleh alam kita yang selalu membuat kita tidak mungkin malaksanakan tayamum. 
cara Melakukan Tayamam dalam Islam
Cara Bertayamum Dalam Islam
Walaupun demikian ada kewajiban bagi setiap orang islam untuk mengetahui hukum islam (Fiqh) secara menyeluruh. Maka disini penulis akan memberikan sedikit gambaran pemahaman dasar tentang tayamum siapa tahu kita bisa mengamalkanya dalam perjalanan yang menggunakan trasportasi udara, disamping kita bisa menunaikan shalat secara penuh, Qasar, ataupun Jamak yang diberikan kemudahan oleh Allah bagi yang dalam keadaan musafir.

(Baca Cara Menjamak Shalat  )
Pengertian Tayamum
Kami mulai pembahasan ini dengan mengemukakan pengertian tayammum. Tayammum secara kebahasaan diartikan sebagai Al Qosdu (القَصْدُ) yang berarti maksud/tujuan. Sedangkan secara pada istilah ( istilah dalam syari’at) adalah sebuah peribadatan kepada Allah berupa mengusap wajah dan kedua tangan dengan menggunakan sho’id yang bersih. Sho’id adalah seluruh permukaan bumi yang dapat digunakan untuk bertayammum baik yang terdapat tanah di atasnya ataupun tidak.
Dalil syar’i tentang Tayamum
Tayammum disyari’atkan dalam islam berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Adapun dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (QS. Al Maidah [5] : 6).
Adapun dalil dari As Sunnah adalah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiyallahu ‘anhu,
« وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ »
“Dijadikan bagi kami (ummat Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi was sallam ) permukaan bumi sebagai thohur/sesuatu yang digunakan untuk besuci (tayammum) jika kami tidak menjumpai air”.
Syarat Tayamum
Tidak ada air dan sudah berusaha mencarinya, tetapi tidak ketemu
berhalangan menggunakan air, seperti sedang sakit, apabila terkena air penyakitnya akan bertambah parah
Telah masuk waktu Shalat
Dengan tanah atau debu yang suci

Cara bertayamum
Berdasarkan penjelasan dari kitab Fiqih islam Seperti (Al Bajuri, Al-Mahali dll) bisa kita ringkaskan bahwa tata cara tayammum adalah sebagai berikut.
  • Memukulkan kedua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan kemudian meniupnya.
  • Kemudian menyapu punggung telapak tangan kanan dengan tangan kiri dan sebaliknya.
  • Kemudian menyapu wajah dengan dua telapak tangan.
  • Semua usapan baik ketika mengusap telapak tangan dan wajah dilakukan sekali usapan saja.
  • Bagian tangan yang diusap adalah bagian telapak tangan sampai pergelangan tangan saja atau dengan kata lain tidak sampai siku seperti pada saat wudhu.

Perkara yanga membatalkan Tayammum

·            Segala hal yang membatalkan wudhu
·            Melihat air sebelum shalat, kecuali yang bertayammum karena sakit
·            Murtad, keluar dari Islam


Thursday, September 22, 2016

CARA MENJAMAK SHALAT YANG SESUAI DENGAN TUNTUNAN ISLAM

Shalat Jamak adalah Shalat yang digabungkan, yaitu mengumpulkan dua shalat fardhu yang dilaksanakan dalam satu waktu. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu Dzuhur atau pada waktu Ashar. Shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib atau pada waktu Isya’.Sedangkan Subuh tetap pada waktunya dan tidak boleh digabungkan dengan shalat lain. Shalat Jama' ini boleh dilaksankan karena bebrapa alasan (halangan) berikut ini :
Tuntunan Menjamak shalat
Menjamak Shalat

 a. Dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat
 b. Apabila turun hujan lebat
 c. Karena sakit dan takut

 d. Jarak yang ditempuh cukup jauh, yakni kurang lebihnya 81 km (begitulah yang disepakati oleh sebagian Imam Madzhab sebagaimana disebutkan dalam kitab AL-Fikih, Ala al Madzhabhib al Arba’ah, sebagaimana pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali).

Tetapi sebagian ulama lagi berpendapat bahwa jarak perjalanan (musafir) itu sekurang-kurangnya dua hari perjalanan kaki atau dua marhalah, yaitu 16 (enam belas) Farsah, sama dengan 138 (seratus tiga puluh delapan) km.

Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya, baik musafir atau bukan dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa qashar shalat hanya disebabkan oleh safar (bepergian) dan tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak safar. Adapun jama’ shalat disebabkan adanya keperluan dan uzur. Apabila seseorang membutuhkannya (adanya suatu keperluan) maka dibolehkan baginya melakukan jama’ shalat dalam suatu perjalanan jarak jauh maupun dekat, demikian pula jama’ shalat juga disebabkan hujan atau sejenisnya, juga bagi seorang yang sedang sakit atau sejenisnya atau sebab-sebab lainnya karena tujuan dari itu semua adalah mengangkat kesulitan yang dihadapi umatnya.” (Majmu’ al Fatawa juz XXII hal 293).

(Baca Ketentuan Shalat Jumat Bagi Musafir) 

Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).

Berkata Imam Nawawi Rahimahullah : ”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas beliau menjawab : ”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).

Shalat Jama' Dapat Dilaksanakan dengan 2 (dua) Cara :
1. Jama' Taqdim (Jama' yang didahulukan) yaitu menjama' 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada waktu shalat yang pertama. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Dzuhur atau shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib.

Syarat Sah Jama' Taqdim :
a. Berniat menjama' shalat kedua pada shalat pertama
b. Mendahulukan shalat pertama, baru disusul shalat kedua
c. Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali duduk, iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting
d. Niat jama' yang dibarengkan dengan Takbiratul Ihram shalat yang pertama, misalnya Dhuhur.

2. Jama' Ta’khir (Jamak yang diakhirkan), yaitu menjamak 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada waktu shalat yang kedua. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Ashar atau shalat Maghrib dan shalat Isya’ dilaksanakan pada waktu shalat Isya’.

Syarat Sah Jama' Ta’khir :
a. Niat (melafazhkan pada shalat pertama) yaitu : ”Aku ta’khirkan shalat Dzuhurku diwaktu Ashar.”
b. Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali duduk, iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting



Memahami Khasiat Daun Sirih Untuk Kesehatan Kita

Banyak sekali manfaat daun sirih untuk kesehatan dan kebugaran tubuh kita. namun sayang sekali dimasa sekarang kita sering mengabaikan khasiat-khasiat yang terkandung dari obat alami yang secara turun menurun sudah digunakan oleh nenek monyang kita dulu. Sekarang jika kita sedang sakit, kita lebih memilih berobat kedokter atau membeli obat keapotek. Padahal, dilingkungan sekitar kita banyak tumbuh-tumbuhan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan kita dan bisa menjadi obat penawar sakit. Daun sirih sejenis tanaman merambat, biasanya daun ini sering dimakan dan dikunyah dengan pinang dan dicampurkan sedikit kapur. Disamping itu kadang kadang  daun sirih ini sering digunakan sebagai obat, untuk sakit mata  dan kekuatan gigi. Jadi walalupun sudah tua  gigi mereka masih tetap kuat.
Manfaat Daun Sirih Untuk Kesehatan
Manfaat Daun Sirih
Daun sirih sebagai tanaman asli Indonesia tumbuh yang merambat, tapi lebih sering bersandar pada batang pohon. Sirih merupakan salah satu jenis daun yang kaya dengan khasiat dan manfaat untuk kesehatan tubuh kita. itu dikarenakan zat-zat yang terkandung di dalam sirih ini merupakan beberapa zat yang memang dibutuhkan oleh tubuh kita untuk menghindari berbagai penyakit. Sejak dulu memang sirih merupakan salah satu tanaman yang memang sering dimanfaatkan untuk mengobati berbagai jenis penyakit.

(Baca Manfaat Buah Manggis Untuk Kesehatan)

(Baca Manfaat Daun Sukun Untuk Kesehatan)

kalau kita membedakan jenis sirih maka kita bisa mengkatagorikan dalam dua katagori yaitu sirih hijau dan sirih merah. Daun sirih memiliki rasa dan aroma khas, yaitu rasa pedas dan bau yang tajam. Rasa dan aroma ini disebabkan dari kavikol dan bethel phenol dalam minyak asitri yang terkandung dalam daun sirih. Selain itu juga, rasa dan aroma ini juga dipengaruhi oleh jenis sirih itu sendiri, umur tanaman, jumlah intensitas sinar matahari yang sampai kebagian daun, serta kondisi dari daun. Secara umum, daun sirih mengandung minyak asitriyang berisikan senyawa kimia seperti fenol serta senyawa turunannya antara lainkavikol, kavibetol, eugenol, karvacol, danalli pyrocatechol. Kandungan daun sirih lainnya yaitu karoren, asamnikotinat, riboflavin, tiamin, vitamin C, gula, tannin, patindanasam amino.

(Baca Empat Kiat Alami Tuntaskan Lemak Dalam Tubuh Kita)


Dari dasar pemahaman nenek monyak kita dulu maka meraka banyak mengunakan daun sirih ini untuk beberap jenis penyakit tertentu diantaranya adalah:

Menghilangkan aroma kurang sedap pada mulut: 4 lembar daun sirih,diseduh air panas, tunggu sekitar 1 jam. Gunakan sebagai obat kumur.

Mengobati pendarahan pada hidung/mimisan: dengan mengunakan 1 lembar daun sirih agak muda dilumatkan , gulung sambil ditekan sehingga keluar minyaknya. Gunakan untuk menyumbat hidung yang mimisan.

Mengurangi air ASI yang berlebihan: ambil daun sirih secukupnya, lalu olesi denga nminya kkelapa, panaskan diatas api sampai layu, hangat-hangat tempelkan diseputar payudara yang bengkak.

Sebagai obat batuk: dengan merebus 15 lembar daun sirih dengan tiga gelas air sampai tersisa ¾ air. Minum air rebusan tersebut dengan menambahkan satu sendok madu. Lakukan hingga batuk hilang.

Sebagai obat bronchitis: biasanya mengunakan daun sirih  sebanyak 7 lembar, gula batu satu potong direbus dengan 2 gelas air sampai tersisa satu gelas. Minum sepertiga gelas dengan aturan 3 x sehari.

Sebagai obat luka bakar: caranya dengan menggunakan peras daun sirih secukupnya, tambahkan madu sedikit, lalu bubuhkan pada bagian kulit tubuh  yang luka akibat terbakar.

Mengobati sariawan: 2 lembar daun sirih segar dicuci, lalu kunyah sampai lumat oleh mulu tanda. Buang ampasnya.

Menghilangkan bau badan: dengan merebus 5 lembar daun sirih dengan 2 gelas air sampai menjadi 1 gls, minum secara rutin tiap hari.

Mengobati bisul: dengan mencuci daun sirih secukupnya, giling hingga halus, lalu bubuhkan pada bisul dan sekelilingnya. Kemudian dibalut. Lakukan 2x sehari.

Obat jerawat: dengan menumbuk 10 lembar daun sirih hingga halus, Seduh dengan dua gelas air panas. Setelah dingin, gunakan air seduhan tersebut untuk mencuci muka. Lakukan sehari 2 sampai 3 kali.

Mengobati keputihan: dengan merebus 10 lembar daun sirih menggunakan 2,5 liter air, angkat, gunakan untuk mencuci bagian kemaluan pada kondisi air hangat .

Mengobati diare: dengan menggunakan 6 lembar daun sirih, 6 biji lada, 1 sdm minyak kelapa. Tumbuk semua bahan sampai halus, gunakan sebagai obat gosok pada bagian perut.

Daun Sirih yang Digunakan sebagai Pembersih Daerah Kewanitaan: dengan rebus daun sirih secukupnya menggunakan 1 gelas air hingga mendidih. Setelah air rebusan dingin lalu diminum, sebaiknya diminum 1x sehari .

Mengatasi mata merah dan gatal: dengan rebus 6 lembar daun sirih menggunakan 1 gelas air hingga mendidih. Setelah air rebusan dingin, gunakan untuk mencuci mata. Lakukan 3x sehari sampai mata  sembuh.



Models of Curriculum innovation and social change

Education is as social process and curriculum is a dynamic process within education and it’s subject to change. Hence, curriculum change can be construed social change. What usually comes to our mind when we think about innovation? Perhaps readers might associate it with the use of technology such as smart board, video conference, computers, or a new way of teaching the language, doing things differently, meaningful and so on. Indeed, the meanings associated with the word innovation are varied, so let us initially, consider innovation in terms of methodology and syllabus design (MARKEE, 2001). Methodologically several methods have been put forward and afterwards the idea of approaches, the post method, ecological approach, etc. All these issues have introduced different ways of looking at the teaching of English and can be considered as mythological innovation in English Language teaching.

Models of Curriculum innovation and social change
Models of Curriculum innovation and social change

Next, let us take into account three similar concepts regarding newness and planning as follows: firstly, Nicholls (1983: 4) defines innovation as “an idea, object or practice perceived as new by an individual or individuals, which is intended to bring out improvement in relation to desired objects, which is fundamental in nature and which is planned and deliberated”, that is, innovation is often further defined as a large-scale (e.g. across whole education system, as will be further discussed in this article). Similarly, Cook (1994: 16) points out that “innovation is understood as a change which introduces something ‘new’, that is, the introduction of an element or a configuration which was not or had not been there before”, which does not necessarily imply something new and lastly, Germaine and Rea-Dickens (1995) state that the change is often described as planned. These definitions present innovation as positive factors in ELT. Despite the positivism of such definitions, innovation has to be carefully analysed and implemented. model of curriculum innovation and Social Change is has a significant related to Contextual Teaching and Learning  and School Based Curriculum Development And Action Research


Rogers and Shoemaker as in Ratnavadivel, (1995). In the survey of diffusion research, “communication of innovation” defines social change as follows:

The process of social change consists of three sequential steps: (1) invention, (2) diffusion, and (3) consequences. Invention is a process by which new ideas are created or developed. Diffusion is a process by which these new ideas are communicated to the members of the social system. Consequences are the changes that occur within a social system as a result of the adoption or rejection of the innovation. Change occurs when new ideas’ use or rejection has an effect. Social change is therefore an effect of communication.

Education is as social process and curriculum is a dynamic process within education and it’s subject to change. Hence, curriculum change can be construed social change. For the purpose of this research, I consider the introduction of KTSP as curriculum change involves social change in the role of school and teachers as educator. Educational change, including change can be in the form of reform and innovation. Reform mandated whereas innovation persuasion (Ratnavadivel, 1995). Both reform and innovation aims to bring about change, for the purpose of this study, KTSP is a reform in that the teachers have to used KTSP as given curriculum. However the implementation of KTSP necessity changes in the role of the school and teachers. The teachers have to be a more active role as curriculum developers. This is innovation of the form of SBCD.   In indonesia we may say that KTP is a reform of SBCD, it is known well as  KTSP as a Form  of SBCD

Davis, Rhodes et al: 1998, as in Tatnall, (2000:35) state that Curriculum innovation does not, however, differ fundamentally from other forms of change. And all change is seen to cause some anxiety, struggle and loss to individual concerned (Maris 1975). Several scholars have come up with models of how people handle and react to change, and these models are useful in suggesting ways in which change can effectively be implemented by those who are supposed to take responsible in managing curriculum.  For instance, Havelock classified three classifications of change models and utilization process. His classification comprises a “Research, Development and Diffusion” model, a “Social Interaction” model, and a “Problem Solving” model. In this study, I would like to analyze the change management model brought about by KTSP in relation to Havelock classification of change models. For that, I would now elaborate the three models:

1. The Research Development and Diffusion (RD&D) Model.
The first model referred to as research, development, and diffusion (RDD) reflected the attitude that if research is made known and presented in the right way, targeted audiences would use it. This model involves a sequence of research, development, and packaging activities prior to dissemination, large-scale planning, and division of labor, separation of roles and functions, and evaluation, (Glaser, as in Jennifer).

Havelock as in Morrish, (1976:119), has listed the model of characteristic in this RD&D.
(i), the model assumes that development and diffusion should be a rational process, that there should be a rational sequence of activities which moved from research to development to packaging before dissemination takes place. (ii). the model implies that there has to be planning on a really massive scale. All these activities of research development must be co-ordinates and a logical relationship establish between them. (III), there must be a division of labor and a careful separation of rule and function. (iv), there is a assumption of a more or less clearly defined audience, a specified passive consumer willing to accept the innovation if it is delivered on the right channel, in the correct manner, and at the right time.  

This RD&D model is a linear model. It begins with the research product and its packaging rather than the ultimate user and their needs. The RD&D model assumes that changing curriculum is an orderly, planned sequence in which experts assist in identifying a problem, finding a solution and then diffusion for distributing the innovation and installing it in target system. This models do not accommodating the interest and wishes of individual teachers or the characteristic of particular school in which the innovation might be used. The receiver/teachers, just receive the innovation and to be experienced about the development of this curriculum model. According to Kelly (2004:108), he assumes that the developer in RD&D model just identified the problem and a receiver who is essentially a passive recipient of the innovation developed to resolve that problem. The receiver remains passive because the initiative is taken by the researchers, the developers and the disseminators. It is a product embodying solution, rather than the hypotheses or ideas behind those product, which is are being tested. The main concern is getting the product “right” and the marketing it (Stenhouse 1975, as in Ratnavadivel, 67:1995)

This model also works on the top-down ‘target system” has come under some heavy criticisms. (Skillbeck 1984:97) states that there has been a great deal of criticism of the RD&D model, in the form we have been examining, applied to curriculum development and educational reform generally. This range from dissatisfaction with its apparent neglect of school utilization of new resources and the implementation of change

2. The Social Interaction Model.
According to Havelock as in Ratnavadivel, (1995)
An innovation is presented or brought to attention of a potential receiver population. The receiver and the receiver needs are determined exclusively by the sender. The receiver is supposed to react to the new information, and the nature of his reaction determines whether or not subsequent stages will occur. If awareness is followed by an expression of interest, he is launched on a series of stage which terminate with the acceptance or rejection of the innovation. The diffusion of innovation depends greatly upon the channels of communication within the receiver group, since information is transmitted primarily through the social interaction of the group members. 

The social interaction model focuses on human relationships and influencing strategies at each stage of the dissemination and adoption processes. Social Interaction model places a great stress on the social interaction between members of the adopting group, and it focuses on the diffusion of ideas and flow of messages from person to person rather than the marketing of product. This model also limited the need of consumers, because it is determinate by central planner/agency. The SI model has been criticized as a top-down model in that the need of receiver is identified by the central planner and not the teachers as the receivers of innovation at school level or in the case of teacher training, the trainer/instructor would be better positioned to identify the receivers’ need in terms of the effectiveness of curriculum implementation at school level.

Ratnavadivel, (1995:68), assumes that this model will suffice for the central agency to act a service agency that only needs to draw on and disseminate expertise that is already available in system and that the teachers or trainers will then be able to sustain the change via interaction within them and with minimum support from center agency/planner. However it seems to neglect the many constraints and inadequacies inherent and experienced by local groups. If the diffusion of the innovation depends upon the channels of communication within the receiver groups, the crucial question that needs to asked is whether and what sort of communication channels are available for diffusion to occur in such model.

3. Problem Solving Model
The third is Problem solving. Generally, in the problem solving model a problem exists, a decision for making the decision. The pending decision drives the search for knowledge and subsequent application of that knowledge. The problem is identified by costumer and the process of innovation is initiated by them. According to MacDonald and Walker in Ratnavadivel, (1995:69). The receiver (an individual or group) initiates the process of change by identifying an area of concern or sensing a need for change. Once the problem area is identified, the receiver undertakes to alter the situation either trough his own efforts, or by recruiting suitable outside assistance. Whereas the receiver in the S-I and RD&D model is passive, the receiver in the P-S model is actively involved in finding an innovation to solve his own problem. Specifically what the new input will be is determined largely by the receiver himself; the relationship between sender and receiver is one of collaboration it is here called the “client system”. The client system may range in size from an individual person to an entire nation.    

This model gives the responsibility for change to the costumers, and emphasizes on the need of users. Teachers at the school determine their problems and then make decision about what kind of curriculum innovation to make and how to implement it. It assumes that the teachers at school level will be able to analysis of the needs, diagnosis the problems, search and get the ideas, get the solution (innovation) and evaluation. On the other hands, this model give the freedom to the teachers to create their curriculum be based on their concern, such social culture, environment and the need of society, at glance we may assume that this model looks like school based curriculum development model.  Kelly states that;

The relationship between the consumer and the external support agent is one of mutual collaboration rather than that of the receiver and the sender of message; and the whole process is personalized to the point where it has to be recognized that this not a model of mass dissemination, since the solution that is devised for the problem need not be seen as solving the problem of the consumers. In short, it might be fairly claimed that this is not a model of dissemination at all but rather than a model for school-based curriculum, A.V Kelly (2004:109).

On the other hand, the problem solving model is more popular in the country that has decentralization education system, we may see that the implementation of school development project within last two decades was dominated by PS model. We can find examples of innovation-oriented user in the field, where teachers and students as the main consumers. Many of the methodologies that have been used in the education system based on the teachers experiences at school level. For instance, the various methods of teaching, principle of school and educational work are based on the nearest environment. The problem that may occur in this model is whether the teachers are able to acquire sufficient capability to do that, because the lack of available information for the teachers can spoil the effects of this model. So this model still needs sustained training from the agency/planner to educate the teacher as the evaluation of the effectiveness of the implementation this model. However Stenhouse (1975:220, as referenced in Ratnavadivel 1995:69), criticizes it on the grounds that it is still emphasizes solution and that:

There is a continual emphasis on the use of expertise by school s to solve specific problems rather than to generate their own expertise in problem solving.