Model-Model Inovasi Kurikulum Pendidikan - Pondok Belajar

Saturday, April 07, 2018

Model-Model Inovasi Kurikulum Pendidikan

Inovasi Kurikulum Pendidikan, pada bagian ini akan membahas berbagai cara mengembangkan inovasi. Berbagai model akan disajikan dan dibahas di sini. Beberapa tips untuk memperlancar kemajuan akan diberikan.

Havelock (1978), Havelock classified three classifications of change models and utilization process. His classification comprises a “Research, Development and Diffusion” model, a “Social Interaction” model, and a “Problem Solving” model

Model-Model inovasi Kurikulum Pendidikan
Model-Model inovasi Kurikulum Pendidikan

Pendapatan Ronald Havelock ini akan dipergunakan sebagai referensi utama untuk pendekatan terhadap pendidikan. Adapun maksud dari kata model/strategi inovasi kurikulum adalah pendekatan-pendekatan atau metode-metode yang digunakan untuk mengimplementasikan sebuah ide yang inovatif. Istilah strategi dan metode digunakan secara sinonim. Menjelang diselenggarakannya sebuah konferensi besar untuk membahas berbagai inovasi, Havelock diminta untuk meneliti berbagai inovasi yang pernah diimplementasikan untuk melihat apakah dia dapat menemukan pola-pola pemilihan strategi. Dia juga meneliti apakah ada yang digunakan lebih sering daripada yang lainnya. Havelock meneliti sejumlah besar laporan dan menemukan bahwa terdapat tiga pendekatan yang digunakan berulang kali, dalam format yang cenderung sama:

a) Model R-D-D (Research – Development – Diffusion = Penelitian – Pengembangan – Difusi)
b) Model P-S (Problem Solving = Pemecahan Masalah)
c) Model S-I (Social Interaction = Interaksi Sosial).

Dalam pembahasan ini hanya akan dibahas model RD and D saja dan model lain akan dibahas pada postingan lainnya. 

a) Model Penelitian – Pengembangan – Difusi
R-D-D adalah singkatan dari istilah Research – Development – Diffusion (Penelitian – Pengembangan dan Difusi [penyebarluasan]). Istilah ini sering cendrung lebih disingkat dengan menggunakan singkatan R-D-D.

R-D-D. Ini merupakan strategi inovasi yang paling sering digunakan di seluruh dunia dalam bidang apapun, baik itu pendidikan, pekerjaan sekolah, produksi industri, perdagangan, pertanian dll.
Havelock seperti dalam Morrish, (1976: 119), telah menentukan model dan karakteristik dari model RD & D ini.
(i), Model RD & D mengasumsikan bahwa pengembangan dan difusi harus menjadi proses yang rasional, bahwa harus ada urutan kegiatan yang rasional yang didasari  dari  hasil penelitian ke proses pengembangan dan pengemasan sebelum proses diseminasi berlangsung. (ii). model ini menyiratkan bahwa harus ada perencanaan dalam skala yang sangat besar. Semua kegiatan pengembangan penelitian ini harus dikoordinasikan dan terjalin hubungan logis di antara mereka. (III), harus ada pembagian kerja dan pemisahan aturan dan fungsi secara hati-hati. (iv), ada asumsi yang lebih atau kurang jelas ditentukan oleh konsumen, diharapkan supaya konsumen yang fasif bersedia menerima inovasi jika disampaikan pada saluran yang tepat, dengan cara yang benar, dan pada waktu yang tepat.

Model RD & D ini adalah model linear. Ini dimulai dengan produk penelitian dan kemasannya daripada pengguna akhir dan kebutuhan mereka. Model RD & D mengasumsikan bahwa perubahan kurikulum adalah urutan yang teratur dan terencana di mana para ahli membantu dalam mengidentifikasi masalah, mencari solusi dan kemudian melakukan difusi untuk mendistribusikan inovasi dan menerapkannya dalam sistem target. Model ini tidak mengakomodasi minat dan keinginan masing-masing guru atau karakteristik sekolah tertentu di mana inovasi dapat digunakan. Penerima / guru, hanya menerima inovasi dan berpengalaman tentang pengembangan model kurikulum ini. Menurut Kelly (2004: 108), 

ia menganggap bahwa pengembang dalam model RD & D hanya mengidentifikasi masalah dan penerima yang pada dasarnya bersifat pasif dari inovasi dikembangkan untuk menyelesaikan masalah itu. Penerima tetap pasif karena inisiatif diambil oleh para peneliti, pengembang dan penyebar. Ini adalah produk yang mewujudkan solusi, daripada hipotesis atau ide di balik produk tersebut, yang sedang diuji. Perhatian utama adalah mendapatkan produk "benar" dan memasarkannya (Stenhouse 1975, seperti dalam Ratnavadivel, 67: 1995)
untuk lebih jelasnya dalam memahami pola model inovasi RD and D ini kita bisa mengunakan lima asumsi berikut: 
(RD and D model), jenis Model ini berazaskan atas sejumlah asumsi yang penting untuk dipahami agar dapat mengevaluasinya secara kritis. Kita akan menelaah lima dari asumsi-asumsi ini.

Asumsi pertama adalah bahwa proses inovasi memiliki urutan yang rasional. Ini berarti bahwa inovasi dipandang sebagai mengikuti urutan logis dengan fase-fase yang didefinisikan secara jelas, sebagaimana ditunjukkan pada kotak-kotak dalam gambar 1. Jadi, urutan terjadinya hal-hal ini bukan suatu kebetulan. Menurut model ini, semua inovasi diawali dengan penelitian dasar dan dilanjutkan dengan penelitian terapan. Penelitian dasar bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan baru (tuntutan akan orisinalitasnya), tanpa mempedulikan nilai hasilnya. Penelitian lanjutan dilakukan berdasarkan hasil-hasil ini, tetapi sekarang dengan memperhatikan penerapan hasil-hasil penelitian itu. Jadi, penelitian ini mungkin akan memberikan hasil yang dapat mengarah pada praktek-praktek baru atau mempengaruhi praktek-praktek lama. Supaya lebih jelas tentangmodel R-D-D ini, berikut ini kita akan menggunakan contoh konkrit tentang penemuan produk farmasi, penisilin.

Contoh: Penisilin
Dalam kaitannya dengan eksperimen biokimia, sejenis jamur yang memiliki kemampuan untuk membunuh bakteri telah ditemukan. Penelitian dimulai, dan seperti yang sudah sangat diketahui, penisilin dikembangkan dan digunakan untuk menyembuhkan infeksi, baik pada hewan maupun manusia. Ketika hasil telah diperoleh dan dapat dipergunakan, fase pengembangan pun dimulai. Di sini orang mencoba menemukan cara yang efektif untuk mengembangkan dan memproduksi bahan itu secara masal. Penelitian dilakukan untuk menemukan kondisi di mana bahan itu dapat efektif, dan bahan tersebut diujicobakan pada hewan dan manusia. Setelah periode percobaan berakhir, diputuskanlah bahwa efeknya dapat didefinisikan secara cukup baik dan produksi dapat segera dimulai. Kini tujuannya adalah menjual zat tersebut. Salah satu kelompok sasaran kuncinya adalah para dokter. Maka proses difusi komersial pun dimulai dan zat penisilin itu kini telah didistribusikan secara luas. Praktek lama untuk perawatan infeksi pun secara bertahap berubah.

Asumsi kedua telah diilustrasikan secara implisit di atas, yaitu aspek perencanaan jangka panjang. Contoh penisilin itu menunjukan bahwa inovasi sering kali merupakan proses yang panjang. Aspek waktunya sering lebih panjang daripada yang direncanakan semula. Penggunaan produk itu untuk jangka waktu lama sering menunjukkan efek samping yang tidak diprediksi. Dalam kasus penisilin, masalah muncul berupa penolakan, imunitas dan alergi. Maka muncullah kebutuhan untuk mengembangkan jenis antibiotik yang baru. Ini memperpanjang proses inovasi. Sumber ekonomi tambahan juga diperlukan untuk penelitian lebih lanjut dan untuk pengembangan produk baru. Metode penaikan modal mengakibatkan penisilin dijual dengan harga tinggi. Keuntungannya disalurkan kembali ke penelitian. Menjual produk dengan harga yang sangat tinggi agar memperoleh dana yang dapat dialokasikan untuk penelitian dan uji coba merupakan praktek yang lazim dalam dunia bisnis. Dapat dijelaskan bahwa tingginya harga produk itu adalah akibat dari dimasukkannya biaya penelitian ke dalam harga jual. 

Asumsi ketiga adalah bahwa spesialisasi pekerjaan dan koordinasi juga merupakan bagian dari model R-D-D. Ini berarti bahwa setiap langkah dalam proses inovasi harus dijalankan oleh ahli atau kelompok ahli. Setiap orang diberi bidang pekerjaan dan tanggung jawab khusus. Tidak ada satu ahli yang terlibat dalam keseluruhan proses perubahan. Para peneliti merupakan spesialis yang terlatih dalam sikap maupun metodenya dalam bidang ini. Profesional lainnya masuk ke dalam fase eksperimentasi dan uji coba. Fase ini sering disebut fase implementasi, yaitu fase ketika ide-ide diubah menjadi realitas. Implementasi eksperimental ini merupakan prasyarat penting untuk difusi (penyebarluasan) yang dilakukan dalam fase berikutnya. Dengan difusi itu, maka praktek baru yang lebih baik pun menjadi terlembagakan. Dengan mengambil contoh dari industri farmasi, hanya mendapatkan pengesahan dari otoritas kesehatan saja atas obat itu tidak cukup. Kita juga harus memastikan bahwa produk tersebut digunakan. Secara sederhana, pekerjaan para ahli selama fase difusi ini adalah meyakinkan para dokter tentang nilai pengobatan dari produk tersebut. Untuk membangkitkan minat terhadap produk atau ide inovasi, pemberian informasi kepada calon pengguna mengenai pengaruh positifnya merupakan metode yang banyak digunakan. Untuk alasan ini, relatif umum untuk mengundang dokter-dokter ke konferensi-konferensi di mana perusahaan farmasi mempresentasikan produk barunya.

Asumsi keempat adalah pengguna pasif dan rasional. Di dalam strategi R-D-D, kita mempersepsi para pengguna produk yang baru dikembangkan atau ditingkatkan itu sebagai pihak yang tidak berpengaruh langsung terhadap proses inovasi. Para peneliti dan ahli-ahli lainnya memperhatikan hal ini. Dengan kata lain, para ahli tahu apa yang paling dibutuhkan oleh konsumen. 

Asumsi terakhir yang akan disebutkan adalah bahwa investasi yang besar diperlukan sebelum difusi atau penyebarluasan dilakukan. Jelas bahwa diperlukan banyak sumber daya profesional serta akses ke sumber ekonomi untuk penelitian, eksperimen, pengembangan dan promosi jenis inovasi ini. Jadi, model ini telah menunjukkan sangat dapat diterapkan dalam bidang komersial.

No comments:

Post a Comment

terimakasih telah berkomentar