Shalat Jamak adalah Shalat yang digabungkan, yaitu mengumpulkan dua shalat fardhu yang dilaksanakan dalam satu waktu. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu Dzuhur atau pada waktu Ashar. Shalat Maghrib dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib atau pada waktu Isya’.Sedangkan Subuh tetap
pada waktunya dan tidak boleh digabungkan dengan shalat lain. Shalat Jama' ini
boleh dilaksankan karena bebrapa alasan (halangan) berikut ini :
Menjamak Shalat |
a. Dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat
b. Apabila turun hujan lebat
c. Karena sakit dan takut
d. Jarak yang ditempuh cukup jauh, yakni kurang lebihnya 81 km (begitulah yang disepakati oleh sebagian Imam Madzhab sebagaimana disebutkan dalam kitab AL-Fikih, Ala al Madzhabhib al Arba’ah, sebagaimana pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali).
Tetapi sebagian ulama
lagi berpendapat bahwa jarak perjalanan (musafir) itu
sekurang-kurangnya dua hari perjalanan kaki atau dua
marhalah, yaitu 16 (enam belas) Farsah, sama
dengan 138 (seratus tiga puluh delapan) km.
Menjama’ shalat boleh
dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya, baik musafir atau bukan dan tidak
boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan
saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah
1/316-317).
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa qashar shalat hanya disebabkan oleh safar (bepergian)
dan tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak safar. Adapun jama’ shalat
disebabkan adanya keperluan dan uzur. Apabila seseorang membutuhkannya (adanya
suatu keperluan) maka dibolehkan baginya melakukan jama’ shalat dalam suatu
perjalanan jarak jauh maupun dekat, demikian pula jama’ shalat juga disebabkan
hujan atau sejenisnya, juga bagi seorang yang sedang sakit atau sejenisnya atau
sebab-sebab lainnya karena tujuan dari itu semua adalah mengangkat kesulitan
yang dihadapi umatnya.” (Majmu’ al Fatawa juz XXII hal 293).
(Baca Ketentuan Shalat Jumat Bagi Musafir)
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).
Berkata Imam Nawawi
Rahimahullah : ”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim
boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan sebagai
kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis
Sunnah wal Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu Abbas
Radhiallahu Anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam
menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah
tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan).
Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas beliau menjawab : ”Bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim
dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).
Shalat Jama' Dapat
Dilaksanakan dengan 2 (dua) Cara :
1. Jama' Taqdim (Jama' yang
didahulukan) yaitu menjama' 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada waktu
shalat yang pertama. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar
dilaksanakan pada waktu Dzuhur atau shalat Maghrib dan Isya’
dilaksanakan pada waktu Maghrib.
Syarat Sah Jama'
Taqdim :
a. Berniat
menjama' shalat kedua pada shalat pertama
b. Mendahulukan
shalat pertama, baru disusul shalat kedua
c. Berurutan,
artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali duduk,
iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting
d. Niat jama' yang dibarengkan dengan Takbiratul Ihram shalat yang pertama, misalnya Dhuhur.
d. Niat jama' yang dibarengkan dengan Takbiratul Ihram shalat yang pertama, misalnya Dhuhur.
2. Jama' Ta’khir (Jamak yang diakhirkan), yaitu menjamak 2 (dua) shalat dan melaksanakannya pada waktu shalat yang kedua. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Ashar atau shalat Maghrib dan shalat Isya’ dilaksanakan pada waktu shalat Isya’.
Syarat Sah Jama' Ta’khir :
a. Niat
(melafazhkan pada shalat pertama) yaitu : ”Aku ta’khirkan shalat Dzuhurku
diwaktu Ashar.”
b. Berurutan,
artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain, kecuali duduk,
iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting
No comments:
Post a Comment
terimakasih telah berkomentar