Pondok Belajar: PENDIDIKAN
Showing posts with label PENDIDIKAN. Show all posts
Showing posts with label PENDIDIKAN. Show all posts

Tuesday, July 23, 2019

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Picture And Picture

A. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Picture and Picture
Metode pembelajaran picture and picture adalah suatu model  dimana gambar digunakan sebagai media pembelajaran, yaitu dengan memasang/meng urutkan gambar tersebut menjadi urutan logis. Jadi Model pembelajaran pictutre and picture ini mengandalkan gambar sebagai media dalam proses pembelajaran tersebut. Sebagai media utama, jadi para pendidik/guru harus mempersiapkan media gambar  sebelum proses pembelajaran berlangsung baik dalam potongan kartu atau bentuk carta dalam ukuran tertentu.

Menurut Suprijono (dalam huda 2014: 236), mengemukakan: “Picture And Picture merupakan strategi pembelajaran yang menggunakan gambar sebagai media pembelajaran. strategi ini mirip dengan Example Non- Example, dimana gambar yang diberikan pada siswa harus dipasangkan atau diurutkan secara logis. Gambar-gambar ini menjadi perangkat utama dalam proses pembelajaran”.

Umumnya dalam setiap proses pembelajaran seorang pendidik tidak cukup hanya menyampaikan pengetahuan-pengetahuan  saja tetapi juga harus mampu berinovasi dalam menciptakan suasana pembelajaran yang penuh dengan kreatifitas dan menyenangkan bagi peserta didik sehingga kegiatan pembelajaran akan lebih efektif dan dapat mencapai tujuan pembelajaran sebagai mana yang telah ditentukan. Jadi sebagai pendidik, mereka harus dapat menentukan dan menciptakan tahapan tahapan pembelajaran yang kreatif dengan mengadopsi/menentukan berbagai jenis model pembelajaran yang telah ada.

Pengertian dan langkah-langkah Model Pembelajaran Picture And Picture
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Picture And Picture  
Secara umum, Model pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum sedang dan sesudah proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik serta segala fasilitas yang terkait yang digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam proses belajar mengajar. Secara sederhana, Model mengajar dapat di artikan sebagai sebuah perencanaan atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum pembelajaran, mencakupi pengaturan susunan materi ajar bagi peserta didik, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. 


Model Pembelajaran picture and picture ini memiliki ciri aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Model apapun yang digunakan selalu menekankan aktif peserta didik dalam setiap proses pembelajaran. Inovatif dapat di artikan bahwa setiap proses kegiatan pembelajaran harus memberikan suasana yang baru atau berbeda dengan tujuan untuk menarik minat peserta didik dalam mengikuti proses belajar mengajar. Kreatif bermakna bahwa setiap kegiatan proses pembelajarannya harus dapat merangsang minat peserta didik mengikuti atau pun menghasilkan sesuatu yang dapat menyelesaikan suatu permasalahan tertentu dengan menggunakan metode, teknik atau cara yang dikuasai oleh peserta didik sendiri yang dimana pengalaman tersebut diperoleh dari proses kegiatan pembelajaran di kelas.

Sebagaimana namanya, model pembelajaran picture and picture ini menggunakan gambar sebagai media dalam proses pembelajaran. Gambar gambar ini berperan sebagai faktor utama dalam proses pembelajaran sehingga para pendidik harus menentukan terlebih dahulu gambar gambar yang sesuai dengan materi ajar sebelum digunakan dalam proses pembelajaran di dalam kelas. 

B. Tahapan/Langkah- langkah yang digunakan dalam proses pembelajaran model Picture And Picture
Menurut Suprijono (dalam huda 2014: 236-238) menggambarkan beberapa tahapan/langkah-langkah yang harus digunakan oleh pendidik di dalam menyajikan model picture and picture. Adapun langkah–langkah pembelajarannya model picture and pictre ini adalah sebagai berikut;

1. Penyampaian Kompetensi
Sama halnya dengan jenis medel lain, model pembelajaran picture and picture ini juga dituntut bagi pendidik untuk menjelaskan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran dari mata pelajaran tersebut. Penyampaian kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran tersebut adalah untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang gambaran materi yang harus mereka kuasai tersebut. Disamping juga menjabarkan indikator-indikator ketercapaian kompetensi yang akan digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan proses pembelajaran tersebut.

2. Presentasi Materi
Pada tahapan ini, pendidik harus melakukan serangkaian kegiatan awal yang berkesan bagi peserta didik sehingga proses kegiatan awal pembelajaran ini akan menciptakan motivasi bagi peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran. Inilah kunci awal yang harus dikuasai oleh pendidik sehingga tahapan ini menjadi pokok utama dalam menciptakan keberhasilan dalam menentukan kegiatan pembelajaran berikutnya

3. Penyajian Gambar
Pada tahap ini, guru menyajikan gambar dan mengajak siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran dengan mengamati setiap gambar yang ditujukan. Dengan gambar, pengajar akan lebih hemat energi, dan siswa juga akan lebih mudah memahami materi yang diajarkan. Dalam pengembangan selanjutnya, guru dapat memodifikasi gambar atau menggantinya dengan video atau demonstrasi kegiatan tertentu.

4. Pemasangan Gambar
Pada tahap ini, guru menunjuk/memanggil siswa secara bergantian untuk memasangkan gambar secara berurutan dan logis. Guru juga bisa melakukan inovasi, karena penunjukan secara langsung kadang kurang efektif sebab siswa cenderung merasa tertekan. Salah satu caranya adalah dengan undian, sehingga siswa merasa memang harus benar-benar siap untuk menjalankan tugas yang diberikan

5. Penjajakan
Tahap ini mengharuskan guru untuk menanyakan kepada siswa tentang alasan/dasar pemikiran dibalik urutan gambar yang disusunnya. Setelah itu, siswa bisa diajak untuk menemukan rumus,tinggi, jalan cerita, atau tuntutan kompetensi dasar berdasarkan indikator-indikator yang ingin dicapai. Guru juga bisa mengajak sebanyak mungkin siswa untuk membantu sehingga proses diskusi menjadi semakin menarik.

6. Penyajian Kompetensi
Berdasarkan komentar data penjelasan atas urutan gambar-gambar, guru bisa memulai menjelaskan lebih lanjut sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. Selama proses ini, guru harus memberikan penekanan pada ketercapaian kompetensi tersebut. Di sini, guru bisa mengulangi, menuliskan atau menjelaskan gambar-gambar tersebut agar siswa mengetahui bahwa sarana tersebut penting dalam pencapaian kompetensi dasar dan indikator-indikator yang telah ditetapkan.

7. Penutup
Pada akhir pembelajaran, guru dan siswa saling berefleksi mengenai apa yang telah dicapai dan dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat materi dan kompetensi dalam ingatan siswa.

C. Kelebihan dan kekurangan dari model Picture And Picture
Adapun kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh Model Pembelajaran picture and picture ini adalah sebagai berikut;

a. Kelebihan model pembelajaran Picture And Picture
  1. Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa.
  2. Siswa dilatih berfikir logis dan sistematis
  3. Siswa dibantu belajar berfikir berdasarkan sudut pandang suatu subjek bahasan dengan memberikan kebebasan siswa dalam praktek berfikir
  4. Motivasi siswa untuk belajar semakin dikembangkan
  5. Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas
b. Kekurangan model pembelajaran Picture And Picture

1. Memakan banyak waktu
2. Membuat sebagian siswa pasif
3. Munculnya kekhawatiran akan terjadi kekacauan di kelas
4. Kebutuhan akan dukungan fasilitas, alat, dan biaya yang cukup memadai

Monday, July 22, 2019

Model Pembelajaran Humanistik

Prinsip dasar Teori pembelajaran humanistik adalah humanistic oriented (pembelajaran yang berorientasi pada aspek kemanusiaan), dimanan teori pembelajaran ini lebih  mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia, penekanannya adalah bagaimana peserta didik diharapkan untuk mengembangkan potensi ataupun bakat yang ada pada diri masing masing peserta didik. Teori belajar ini menempatkan posisi peserta didik sebagai subyek yang bebas/ merdeka dalam memilih arah masa depannya. 

Model Pembelajaran Humanistik
Teori dan Model Pembelajaran Humanistik

Jadi Teori humanistic ini juga dapat memberikan sumbangan bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (Humanistic Education), dimana pembelajaran humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran yang nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarir menjadi fokus dalam model pembelajaran humanistis. Berdasarkan pada konsepnya, maka Pembelajaran humanistik selalu mendorong pertumbuhan/peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi fitrah (Gifted) dalam hal ini segala potensi positif yang ada pada diri manusia. Namun Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman dan tehnologi, mengakibatkan proses pembelajaran pun senantiasa ikut berubah dalam memanuhi tuntutan perubahan tersebut.

Disamping itu, Teori humanistik ini tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Titik inilah yang menjadi patokan dasar jika peserta didik dalam proses belajarnya diharapkan untuk berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya, dengan demikian maka Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya sendiri, bukan dari sudut pandang pengamatannya.
Berdasarkan referensi yang ada, Teori Humanistik mulai diperkenalkan pada akhir tahun 1950-an oleh para ahli psikologi, seperti Abraham Maslow, Carl Rogers dan Calrk Moustakas. Pada saat itu, Mereka membangun  sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang self(diri), aktualisasi diri kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat dan sejenisnya.[4] Dalam perkembangannya, jadi Carl Rogers merupakan salah satu tokoh aliran humanistik yang cukup berjasa dalam mengembangkan psikologi humanistic dalam dunia pendidikan. Carl Rogers mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Implementasi teori humanistik dalam proses pembelajaran lebih difokuskan pada kemampuan pendidik dalam membangun hubungan emosional dengan peserta didik dalam suatu wadah belajar.

Adapun yang menjadi tujuan utama para pendidik adalah untuk membantu si peserta didik dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya, melalui proses mengenal diri mereka masng-masing sebagai manusia yang unik, disamping menumbuhkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka sendiri. 

Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian dalam proses pembelajaran humanistik, yaitu;:
1. Proses pemerolehan informasi baru,
2. Personalia informasi ini pada individu.

Implikasi Teori Belajar Humanistik Guru Sebagai Fasilitator

Dalam psikologi humanistik, Pendidik berperan sebagai fasilitator dimana mereka dituntut untuk mampu mengaplikasikan konsep humanistic yang berpatokan pada konsep memanusiakan manusia dan memperkenalkan peserta didik terhadap potensi yang dimilikinya beserta pemahaman terhadap lingkungannya. 

Dibawah ini disajika bentuk dan sikap yang harus dimiliki oleh guru/fasilitator yang baik 

  • Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
  • Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
  • Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
  • Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
  • Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
  • Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
  • Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
  • Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
  • Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
  • Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk mengenali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.

Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa

Penerapan Teori Humanistik dalam pembelajaran, lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran dimana ikut memberikan warna terhadap metode-metode yang diterapkan. Adapun peran pendidik dalam pembelajaran humanistik adalah sebagai fasilitator bagi para para peserta didiknya, dimana Pendidik ikut memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik. Disamping juga ikut memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta dalam memperoleh tujuan pembelajaran yang inin dicapai.
Sedangkan peran Peserta didik  adalah sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri, dimana peserta didik diharapkan untuk memahami potensi yang dimilikinya kearah yang bersifat positif (menemukan bakat pada peserta didik sendiri).

Teori Humanistik lebih menekankan tujuan pembelajaran kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :

  • Merumuskan tujuan belajar yang jelas
  • Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
  • Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri
  • Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
  • Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
  • Pendidik menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
  • Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
  • Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa


Namun harus dipahami jika proses pembelajaran berazaskan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran tertentu yang lebih bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. 
Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.

Pembelajaran humanistik berakar pada filsafat humanisme dan psikologi humanistik. Pada tataran praktis, pembelajaran humanistik adalah aktivitas belajar mengajar yang menggunakan prinsip-prinsip psikologi humanistik. Prinsip utama pembelajaran ini terutama berpijak pada asumsi bahwa belajar berasal dari dan oleh si belajar sendiri. Fenomena objektif di luar diri si belajar lebih merupakan tempat dan sarana bagi upaya belajar.


Monday, May 07, 2018

Luapan Jiwa Helaian Kertas Putih

Senja menghampiri hamparan bumi
Penatian Kesuksesan
Semakin mengekang jiwa
Teringan kesalahan demi keasalahan yang telah dilakukan

Wahai sang pencerah kehidupan
Kami yang terlahir dengan kertas putih 
Tak mengerti dan tak tahu menahu 
Tentang hak dan kebatilan
Kau bantu kami menyusuri lika liku kehidupan di bumi yang fana ini
Menuju kesuksesan dunia dan di akhirat

Luapan Jiwa Helaian Kertas Putih
Luapan Jiwa Helaian Kertas Putih

Oh patriot tanpa tanda jasa
Kami sangat menydari jika mungkin tak hanya sekali 
Kata kata yang tak pernah kau harapkan terlontar begitu saja  
Karena kebodohan kami dalam menyingkapi usaha dan jerih payah mu 
Sikap dan tingkah lakumi kami yang terkadang menorehkan
Luka yang mendalam dalam hati sanubari mu
Tapi kau memaafkannya dengan begitu mudah 
Kertas putih mu ini semakin terguncang oleh 
Hitam putih kehidupan, kerajinan dan kedisiplinan
Yang engkau tanamkan seakan akan menjadi penuntun kehidupan 
Dalam menata langkah langkah kami 
Untuk membina jati diri kami

Termat besar jasa mu dalam hidup kami
Tak terbayarkan dengan harta 
Waluapun berbongkah bongkoh emas, berlian
Yang kami sodorkan untuk membayar jasa mu
Karena itu semua tak sepadan dengan pengabdiaan muyang  begitu agung 

Oh guru kami 
Hanya ridhamu yang terharapkan 
Hanya doa yang menjadi tonggak kesuksesan
Semoga engkau selau ingat akan diri kami 
Kami ingin berlutut meminta kemaafan kepada mu 
Lewat frasa frasa ini untuk meraih ridha dan kemaafan mu
Sehingga dengan keridhaan mu kami mendapatkan 
Keridhaan dari yang maha pencipta alam dan semesta. 

Friday, April 27, 2018

Model Interaksi Sosial (Inovasi Kurikulum Pendidikan)

Model Interaksi Sosial (Model S-I)
Yang ketiga adalah Model Interaksi Sosial. Secara umum, dalam Model Interaksi Sosial, keputusan untuk membuat keputusan. Keputusan yang tertunda mendorong pencarian pengetahuan dan penerapan pengetahuan selanjutnya. Masalahnya diidentifikasi oleh penguna dan proses inovasi diprakarsai oleh mereka.


Model Interaksi Sosial (Inovasi Kurikulum Pendidikan)
Model Interaksi Sosial (Inovasi Kurikulum Pendidikan)

Menurut  MacDonald dan Walker dikutip dalam Ratnavadivel, (1995:69). "The receiver (an individual or group) initiates the process of change by identifying an area of concern or sensing a need for change. Once the problem area is identified, the receiver undertakes to alter the situation either trough his own efforts, or by recruiting suitable outside assistance. Whereas the receiver in the S-I and RD&D model is passive, the receiver in the P-S model is actively involved in finding an innovation to solve his own problem. Specifically what the new input will be is determined largely by the receiver himself; the relationship between sender and receiver is one of collaboration it is here called the “client system”. The client system may range in size from an individual person to an entire nation."

(Baca Model-Model Inovasi Kurikulum Pendidikan)

Seperti pada model-model lain atau penyederhanaan realitas, model Social Interaction (S-I) ini juga didasarkan pada sejumlah asumsi. Salah satu asumsi dasarnya adalah bahwa setiap orang merupakan anggota satu jaringan sosial atau lebih. Seorang guru PLB mungkin termasuk anggota jaringan yang berupa kelompok guru atau kelompok personel lainnya. Kemungkinan besar dia juga termasuk sejumlah jaringan sosial lainnya, misalnya tim olahraga, klub motor, Komunitas Majelis Taklim atau kelompok memancing. Kebanyakan dari kita adalah anggota berbagai jaringan yang mempunyai kesamaan minat dan terdapat hubungan saling percaya di antara para anggotanya karena mereka saling mengenal, mengetahui apa yang dapat dilakukan oleh tiap individu dan tahu seberapa besar mereka dapat diandalkan.

Strategi ini juga didasarkan atas asumsi bahwa kedudukan dalam jaringan sosial itu sangat penting. Dalam kelompok mana pun, selalu ada pemimpin formal ataupun informal dengan sejumlah pengikutnya. Setelah dua hingga tiga minggu, seorang guru prasekolah akan dapat mengidentifikasi siapa yang berperan sebagai pemimpin kelompok anak atau kelas. Mereka adalah anak atau murid yang mempunyai wibawa tertinggi, perilaku yang berpengaruh, memiliki daya untuk memberlakukan syarat-syarat atau menentukan aturan-aturan. Fenomena sosial yang sama dapat diamati di semua tempat kerja, misalnya di kantor psikologi pendidikan di sekolah. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pemimpin formal belum tentu orang yang paling menarik dari sudut pandang inovasi. Pemimpin dapat juga hanya salah seorang dari kalangan sesama pegawai. Melalui kekuatan verbalnya, karisma, kebandelan, humor, pengalaman atau caranya mengeluh, asisten TK dapat juga menjadi orang yang paling berpengaruh terhadap orang-orang lain dan terhadap lembaganya.

Tempat dan posisi seseorang di dalam jaringannya (misalnya pemimpin, mitra kerja, dll.) merupakan indikasi yang baik tentang apakah dia akan dapat memasukkan ide-ide baru ke dalam jaringannya dan berpartisipasi dalam difusi. Setidaknya semakin sentral posisi seseorang, semakin besar kesempatan orang itu untuk mempengaruhi.Beberapa peneliti telah mencoba mengklasifikasikan orang-orang menurut sikapnya terhadap inovasi, seperti “inovator”, “pengikut”, dan “orang yang lamban”. Ada juga yang mengatakan bahwa “pelopor selalu mempunyai kesempatan untuk menang dan tidak mempunyai kemungkinan untuk kalah, sedangkan pengikut selalu memiliki kemungkinan untuk kalah dan tidak mempunyai kesempatan untuk menang”. Calon pengikut, selama masa mereka merenungkan apakah akan berpartisipasi atau tidak, akan menemukan sesuatu yang lebih diyakininya. Alasan mengapa model S-I sejauh tertentu difokuskan pada bagaimana berbagai peran dikembangkan, dipelihara dan saling mempengaruhi, adalah bahwa model ini dipandang sebagai dapat menentukan siapa yang menjadi tertarik atau yang pertama membeli produk inovatif itu. Jika kita dapat mempengaruhi pimpinan dan orang-orang kunci, maka peluang untuk difusi di dalam sistem itu lebih besar daripada jika kita mulai dengan mempengaruhi beberapa orang yang lewat. Ini merupakan asumsi dasar yang ketiga dari model S-I, yaitu bahwa kontak informal itu penting jika kita menginginkan ide-ide inovatif itu mengakibatkan perubahan dalam praktek-praktek yang ada. Informasi dan komunikasi sangat penting. Kita tidak hanya terpengaruh oleh informasi yang kita terima dalam bentuk memo dan laporan dari bagian dan kantor sekolah, tetapi juga oleh informasi dari orang-orang yang kita percaya, kita kenal baik dan memiliki kontak rutin. 


Lingkaran besar ini menggambarkan jaringan sosial yang berbeda: sekolah lanjutan atas, sebuah tim olah raga dan sebuah dewan kota. Tiap sistem terdiri dari individu-individu yang ditandai dengan 0. panah menunjukkan arus informasi. 

Misalnya, guru di sekolah lanjutan atas telah melakukan proyek pengajaran selama enam bulan. Siswa dan guru dibagi menjadi tim-tim menurut kelas dan mata pelajaran. Tema umum proyek itu adalah: pekerjaan di daerah X. Siswa dan guru memandang hasilnya baik dan metode mengajarnya sangat menarik sehingga mereka ingin melanjutkannya hingga akhir tahun ajaran. Enam bulan terakhir digunakan untuk merencanakan proyek kecil di bawah arahan sekolah. Mereka melakukan ini berdasarkan ide-ide dan data yang dikumpulkan tentang keinginan-keinginan untuk masa depan dan kebutuhan akan pekerjaan di kalangan remaja di masyarakat. Permohonan sumber daya tambahan diajukan kepada dewan kota.

Satu guru di sekolah tersebut adalah anggota klub olahraga Y. Begitu juga salah seorang anggota dewan kota. Guru menggambarkan secara antusias pengalaman dan rencana sekolah ketika berlatih di klub tersebut dan anggota dewan kota itu mendengarkannya. Dia merasa bahwa proyek pengembangan sekolah itu menarik dan mengilhaminya. Permohonan sumber daya tambahan itu dikabulkan karena “olahragawan” dari dewan kota itu telah memahami ide itu dan berhasil meyakinkan para anggota dewan lainnya. Infomasi dan komunikasi informal dalam kasus ini merupakan faktor penentu terhadap realisasi ide inovatif. Tanpa sumber daya tambahan proyek tersebut dapat terhenti. 

Asumsi keempat yang mendasari model S-I adalah bahwa identifikasi kelompok itu penting untuk keberhasilan suatu inovasi. Kebanyakan orang memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tertentu berdasarkan minat, nilai-nilai, kekuasaan, posisi dan keinginan untuk berprestasi. Jika seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan suatu kelompok, maka dia akan lebih mudah menerima dan menindaklanjuti ide inovatif yang mungkin dikembangkan oleh kelompok itu. Tekanan kelompok merupakan fenomena yang dikenal, baik dalam hal pembinaan kepemilikan maupun difusi inovasi. Dalam hubungannya dengan pemikiran baru dan perubahan perilaku, bukan hanya individu yang menjadi sasaran, tetapi juga kelompok. Terlebih lagi, sejumlah pendekatan komersial didasarkan atas pengetahuan mengenai potensi identifikasi kelompok untuk membuat perubahan. Asumsi terakhir yang akan kita telaah adalah bahwa difusi inovasi mengikuti kurva S. 

Kemajuannya lambat pada fase awal, tetapi diikuti dengan fase difusi yang sangat cepat. Kurvanya terus meningkat selama beberapa lama, tetapi pada kecepatan yang lebih lambat. Selama fase inilah orang yang lamban bergabung dengan inovasi. Kurva difusi kemudian secara bertahap menjadi datar. Kurva S dapat dilihat pada gambar 5. pada umumnya kita dapat mengatakan bahwa model S-I didasarkan atas informasi yang memiliki daya untuk memperbaharui diri, dan bahwa “individu adalah ujung tombak dalam proses inovasi – meskipun tidak demikian - sehingga sistem sosial individu itu menjadi tidak penting”. Strategi ini juga menuntut agar pengetahuan baru, yang ditransfer melalui kontak pribadi, disebarluaskan untuk menguji dan mengevaluasi ide inovatif itu. Namun, kita tidak tahu pasti sejauh manakah kontak itu harus didominasi oleh kedekatan hubungan di kalangan individu-individu. Penelitian di Amerika menemukan bahwa sekolah-sekolah sangat jarang mengikuti sekolah perintis yang tetangganya. Di pihak lain, sekolah yang menciptakan ide baru itu sering dikunjungi oleh guru-guru dari negara bagian lain. Fenomena ini disebut efek mercu suar. Anehnya adalah bahwa mereka yang jauh yang lebih sering memulai proyek serupa di sekolahnya, bukan mereka yang bertetangga dengan perintis inovasi. Penjelasan yang diberikan terkait dengan hakikat psikologi dan komunikasi. Sekolah tetangga merasa bahwa mereka hanya dapat memperoleh sedikit prestise karena sekolah perintis telah mendapatkan semua perhatian. Jika sekolah tetangga harus memulai proyek yang serupa, mereka takut dianggap sebagai “peniru”. Penjelasan lainnya adalah bahwa orang yang tinggal jauh dari “tempat kejadian”, harus berjalan jauh sehingga dapat membawa pulang lebih banyak ide. 

Satu faktor yang sudah disebutkan adalah bahwa difusi sering kali tidak dilaksanakan di dalam sistem selain dari sistem yang memerlukan perbaikan dalam prakteknya. Untuk meraih keberhasilan dalam difusi inovasi, penting untuk merencanakan fase difusi ini juga. Secara sederhana, tampaknya kita dapat mengendalikan difusi dengan mengendalikan siapa menemui siapa. 

Mereka yang memutuskan untuk ambil bagian dalam proses perubahan, sangat membutuhkan informasi. Inovator harus berusaha memenuhi kebutuhan ini. Mereka juga sangat membutuhkan informasi pada tahap awal setelah mereka memutuskan untuk membeli ide tersebut. Ini terkait dengan kenyataan bahwa perubahan menciptakan ketidakpastian dan rasa tidak aman bagi kebanyakan orang. Ini juga berhubungan dengan apa yang sudah disebutkan di atas, yaitu bahwa kalkulasi biaya/keuntungan yang dilakukan oleh “pembeli” (mereka yang bergabung dengan inovasi) sebelum mereka memutuskan apakah ide tersebut baik atau buruk. Perhitungan keuntungan/biaya ini juga terkait dengan kenyataan bahwa inovasi jarang menguntungkan semua pihak. Akan selalu ada orang yang mempersepsi inovasi secara lebih positif daripada orang lain. Inovasi sesungguhnya tidak akan menarik bagi mereka yang lamban, karena orang-orang ini tidak akan mengalami keuntungan ataupun kerugian. 

Semua yang berpartisipasi dalam proses inovasi memiliki kebutuhan untuk mengetahui tujuannya, sasaran dan perencanaan atau strategi yang akan dipergunakan. Demikian pula, informasi tentang keterlibatan orang lain, aspek waktu, penggunaan sumber-sumber dan energi, merupakan faktor penting bagi pandangan mereka terhadap inovasi, baik positif ataupun negatif. Hal-hal yang harus dilakukan atau diubah oleh mereka sendiri dan hal-hal yang mungkin merugikan bagi mereka dalam situasi baru nanti harus juga diperjelas. 

Masalah yang mungkin terjadi dalam model ini adalah apakah para guru dapat memperoleh kemampuan yang cukup untuk melakukan itu, karena kurangnya informasi yang tersedia bagi para guru dapat mengurangi kebergunaan/manfaat dari model ini.  Jadi model ini masih membutuhkan pelatihan berkelanjutan dari agensi/perencana untuk mendidik guru sebagai dari proses evaluasi keefektifan dalam penerapan  model ini.

Tuesday, April 24, 2018

Inovasi Kurikulum Pendidikan Model Pemecahan Masalah

Model Pemecahan Masalah (Model P-S)
Menurut Havelock seperti dikutip pada Ratnavadivel, (1995) "An innovation is presented or brought to attention of a potential receiver population. The receiver and the receiver needs are determined exclusively by the sender. The receiver is supposed to react to the new information, and the nature of his reaction determines whether or not subsequent stages will occur. If awareness is followed by an expression of interest, he is launched on a series of stage which terminate with the acceptance or rejection of the innovation. The diffusion of innovation depends greatly upon the channels of communication within the receiver group, since information is transmitted primarily through the social interaction of the group members.

Inovasi Kurikulum Pendidikan Model Pemecahan Masalah
Inovasi Kurikulum Pendidikan Model Pemecahan Masalah
Model interaksi sosial berfokus pada hubungan manusia dan mempengaruhi strategi pada setiap tahap proses diseminasi dan adopsi. Model Interaksi sosial menempatkan tekanan besar pada interaksi sosial antara anggota kelompok yang mengadopsi, dan itu berfokus pada difusi ide dan aliran pesan dari orang ke orang daripada pemasaran produk. Model ini juga membatasi kebutuhan konsumen, karena ditentukan oleh perencana pusat / lembaga. Model SI telah dikritik sebagai model top-down karena kebutuhan penerima diidentifikasi oleh perencana pusat dan bukan guru sebagai penerima inovasi di tingkat sekolah atau dalam kasus pelatihan guru, pelatih / instruktur akan menjadi posisi yang lebih baik untuk mengidentifikasi kebutuhan penerima dalam hal efektivitas implementasi kurikulum di tingkat sekolah.
Kebalikan dari model R-D-D, model P-S (problem solving) didasarkan pada sistem konsumen (atau pengguna). Ini berarti bahwa konsumen (pembeli produk) memasuki proses pengembangan inovasi (produk) pada tahap sedini mungkin.
Dengan demikian, konsumen menjadi peserta dalam proses pengembangan ini. Di dalam buku ini kita menggunakan istilah “membeli”, baik ketika mempertimbangkan produk konkrit atau komersial maupun dalam pengertian kiasan ketika mempertimbangkan ide-ide, pengetahuan, proyek PLB dan teknik pengajaran, dll.

Sebagaimana halnya strategi inovasi sebelumnya, strategi ini juga didasarkan atas sejumlah asumsi. Model P-S didasarkan atas pandangan bahwa semua inovasi bermula dari kebutuhan yang dirasakan. Penggunalah yang menentukan kebutuhannya, bukan para ahli, politisi atau peneliti (fase 1 dalam model). Kebutuhan yang dirasakan itu biasanya tidak tepat dan tidak spesifik, tetapi lebih berupa perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak benar. Agar dapat melakukan sesuatu terhadap hal yang belum jelas itu, maka hal itu harus diperjelas. Oleh karena itu, fase berikutnya (fase 2) adalah diagnosis masalah. Berdasarkan atas persepsi kebutuhan akan perubahan yang belum jelas itu, kita mencoba mendefinisikan dan mendeskripsikan masalahnya. Langkah berikutnya dalam proses perubahan itu adalah mencari pengalaman, ide-ide, informasi dan pengetahuan yang relevan dengan permasalahan (fase 3). Berdasarkan diagnosis dan pencarian itu, kita harus memperoleh solusi yang dapat diimplementasikan.

Saturday, April 07, 2018

Model-Model Inovasi Kurikulum Pendidikan

Inovasi Kurikulum Pendidikan, pada bagian ini akan membahas berbagai cara mengembangkan inovasi. Berbagai model akan disajikan dan dibahas di sini. Beberapa tips untuk memperlancar kemajuan akan diberikan.

Havelock (1978), Havelock classified three classifications of change models and utilization process. His classification comprises a “Research, Development and Diffusion” model, a “Social Interaction” model, and a “Problem Solving” model

Model-Model inovasi Kurikulum Pendidikan
Model-Model inovasi Kurikulum Pendidikan

Pendapatan Ronald Havelock ini akan dipergunakan sebagai referensi utama untuk pendekatan terhadap pendidikan. Adapun maksud dari kata model/strategi inovasi kurikulum adalah pendekatan-pendekatan atau metode-metode yang digunakan untuk mengimplementasikan sebuah ide yang inovatif. Istilah strategi dan metode digunakan secara sinonim. Menjelang diselenggarakannya sebuah konferensi besar untuk membahas berbagai inovasi, Havelock diminta untuk meneliti berbagai inovasi yang pernah diimplementasikan untuk melihat apakah dia dapat menemukan pola-pola pemilihan strategi. Dia juga meneliti apakah ada yang digunakan lebih sering daripada yang lainnya. Havelock meneliti sejumlah besar laporan dan menemukan bahwa terdapat tiga pendekatan yang digunakan berulang kali, dalam format yang cenderung sama:

a) Model R-D-D (Research – Development – Diffusion = Penelitian – Pengembangan – Difusi)
b) Model P-S (Problem Solving = Pemecahan Masalah)
c) Model S-I (Social Interaction = Interaksi Sosial).

Dalam pembahasan ini hanya akan dibahas model RD and D saja dan model lain akan dibahas pada postingan lainnya. 

a) Model Penelitian – Pengembangan – Difusi
R-D-D adalah singkatan dari istilah Research – Development – Diffusion (Penelitian – Pengembangan dan Difusi [penyebarluasan]). Istilah ini sering cendrung lebih disingkat dengan menggunakan singkatan R-D-D.

R-D-D. Ini merupakan strategi inovasi yang paling sering digunakan di seluruh dunia dalam bidang apapun, baik itu pendidikan, pekerjaan sekolah, produksi industri, perdagangan, pertanian dll.
Havelock seperti dalam Morrish, (1976: 119), telah menentukan model dan karakteristik dari model RD & D ini.
(i), Model RD & D mengasumsikan bahwa pengembangan dan difusi harus menjadi proses yang rasional, bahwa harus ada urutan kegiatan yang rasional yang didasari  dari  hasil penelitian ke proses pengembangan dan pengemasan sebelum proses diseminasi berlangsung. (ii). model ini menyiratkan bahwa harus ada perencanaan dalam skala yang sangat besar. Semua kegiatan pengembangan penelitian ini harus dikoordinasikan dan terjalin hubungan logis di antara mereka. (III), harus ada pembagian kerja dan pemisahan aturan dan fungsi secara hati-hati. (iv), ada asumsi yang lebih atau kurang jelas ditentukan oleh konsumen, diharapkan supaya konsumen yang fasif bersedia menerima inovasi jika disampaikan pada saluran yang tepat, dengan cara yang benar, dan pada waktu yang tepat.

Model RD & D ini adalah model linear. Ini dimulai dengan produk penelitian dan kemasannya daripada pengguna akhir dan kebutuhan mereka. Model RD & D mengasumsikan bahwa perubahan kurikulum adalah urutan yang teratur dan terencana di mana para ahli membantu dalam mengidentifikasi masalah, mencari solusi dan kemudian melakukan difusi untuk mendistribusikan inovasi dan menerapkannya dalam sistem target. Model ini tidak mengakomodasi minat dan keinginan masing-masing guru atau karakteristik sekolah tertentu di mana inovasi dapat digunakan. Penerima / guru, hanya menerima inovasi dan berpengalaman tentang pengembangan model kurikulum ini. Menurut Kelly (2004: 108), 

ia menganggap bahwa pengembang dalam model RD & D hanya mengidentifikasi masalah dan penerima yang pada dasarnya bersifat pasif dari inovasi dikembangkan untuk menyelesaikan masalah itu. Penerima tetap pasif karena inisiatif diambil oleh para peneliti, pengembang dan penyebar. Ini adalah produk yang mewujudkan solusi, daripada hipotesis atau ide di balik produk tersebut, yang sedang diuji. Perhatian utama adalah mendapatkan produk "benar" dan memasarkannya (Stenhouse 1975, seperti dalam Ratnavadivel, 67: 1995)
untuk lebih jelasnya dalam memahami pola model inovasi RD and D ini kita bisa mengunakan lima asumsi berikut: 
(RD and D model), jenis Model ini berazaskan atas sejumlah asumsi yang penting untuk dipahami agar dapat mengevaluasinya secara kritis. Kita akan menelaah lima dari asumsi-asumsi ini.

Asumsi pertama adalah bahwa proses inovasi memiliki urutan yang rasional. Ini berarti bahwa inovasi dipandang sebagai mengikuti urutan logis dengan fase-fase yang didefinisikan secara jelas, sebagaimana ditunjukkan pada kotak-kotak dalam gambar 1. Jadi, urutan terjadinya hal-hal ini bukan suatu kebetulan. Menurut model ini, semua inovasi diawali dengan penelitian dasar dan dilanjutkan dengan penelitian terapan. Penelitian dasar bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan baru (tuntutan akan orisinalitasnya), tanpa mempedulikan nilai hasilnya. Penelitian lanjutan dilakukan berdasarkan hasil-hasil ini, tetapi sekarang dengan memperhatikan penerapan hasil-hasil penelitian itu. Jadi, penelitian ini mungkin akan memberikan hasil yang dapat mengarah pada praktek-praktek baru atau mempengaruhi praktek-praktek lama. Supaya lebih jelas tentangmodel R-D-D ini, berikut ini kita akan menggunakan contoh konkrit tentang penemuan produk farmasi, penisilin.

Contoh: Penisilin
Dalam kaitannya dengan eksperimen biokimia, sejenis jamur yang memiliki kemampuan untuk membunuh bakteri telah ditemukan. Penelitian dimulai, dan seperti yang sudah sangat diketahui, penisilin dikembangkan dan digunakan untuk menyembuhkan infeksi, baik pada hewan maupun manusia. Ketika hasil telah diperoleh dan dapat dipergunakan, fase pengembangan pun dimulai. Di sini orang mencoba menemukan cara yang efektif untuk mengembangkan dan memproduksi bahan itu secara masal. Penelitian dilakukan untuk menemukan kondisi di mana bahan itu dapat efektif, dan bahan tersebut diujicobakan pada hewan dan manusia. Setelah periode percobaan berakhir, diputuskanlah bahwa efeknya dapat didefinisikan secara cukup baik dan produksi dapat segera dimulai. Kini tujuannya adalah menjual zat tersebut. Salah satu kelompok sasaran kuncinya adalah para dokter. Maka proses difusi komersial pun dimulai dan zat penisilin itu kini telah didistribusikan secara luas. Praktek lama untuk perawatan infeksi pun secara bertahap berubah.

Asumsi kedua telah diilustrasikan secara implisit di atas, yaitu aspek perencanaan jangka panjang. Contoh penisilin itu menunjukan bahwa inovasi sering kali merupakan proses yang panjang. Aspek waktunya sering lebih panjang daripada yang direncanakan semula. Penggunaan produk itu untuk jangka waktu lama sering menunjukkan efek samping yang tidak diprediksi. Dalam kasus penisilin, masalah muncul berupa penolakan, imunitas dan alergi. Maka muncullah kebutuhan untuk mengembangkan jenis antibiotik yang baru. Ini memperpanjang proses inovasi. Sumber ekonomi tambahan juga diperlukan untuk penelitian lebih lanjut dan untuk pengembangan produk baru. Metode penaikan modal mengakibatkan penisilin dijual dengan harga tinggi. Keuntungannya disalurkan kembali ke penelitian. Menjual produk dengan harga yang sangat tinggi agar memperoleh dana yang dapat dialokasikan untuk penelitian dan uji coba merupakan praktek yang lazim dalam dunia bisnis. Dapat dijelaskan bahwa tingginya harga produk itu adalah akibat dari dimasukkannya biaya penelitian ke dalam harga jual. 

Asumsi ketiga adalah bahwa spesialisasi pekerjaan dan koordinasi juga merupakan bagian dari model R-D-D. Ini berarti bahwa setiap langkah dalam proses inovasi harus dijalankan oleh ahli atau kelompok ahli. Setiap orang diberi bidang pekerjaan dan tanggung jawab khusus. Tidak ada satu ahli yang terlibat dalam keseluruhan proses perubahan. Para peneliti merupakan spesialis yang terlatih dalam sikap maupun metodenya dalam bidang ini. Profesional lainnya masuk ke dalam fase eksperimentasi dan uji coba. Fase ini sering disebut fase implementasi, yaitu fase ketika ide-ide diubah menjadi realitas. Implementasi eksperimental ini merupakan prasyarat penting untuk difusi (penyebarluasan) yang dilakukan dalam fase berikutnya. Dengan difusi itu, maka praktek baru yang lebih baik pun menjadi terlembagakan. Dengan mengambil contoh dari industri farmasi, hanya mendapatkan pengesahan dari otoritas kesehatan saja atas obat itu tidak cukup. Kita juga harus memastikan bahwa produk tersebut digunakan. Secara sederhana, pekerjaan para ahli selama fase difusi ini adalah meyakinkan para dokter tentang nilai pengobatan dari produk tersebut. Untuk membangkitkan minat terhadap produk atau ide inovasi, pemberian informasi kepada calon pengguna mengenai pengaruh positifnya merupakan metode yang banyak digunakan. Untuk alasan ini, relatif umum untuk mengundang dokter-dokter ke konferensi-konferensi di mana perusahaan farmasi mempresentasikan produk barunya.

Asumsi keempat adalah pengguna pasif dan rasional. Di dalam strategi R-D-D, kita mempersepsi para pengguna produk yang baru dikembangkan atau ditingkatkan itu sebagai pihak yang tidak berpengaruh langsung terhadap proses inovasi. Para peneliti dan ahli-ahli lainnya memperhatikan hal ini. Dengan kata lain, para ahli tahu apa yang paling dibutuhkan oleh konsumen. 

Asumsi terakhir yang akan disebutkan adalah bahwa investasi yang besar diperlukan sebelum difusi atau penyebarluasan dilakukan. Jelas bahwa diperlukan banyak sumber daya profesional serta akses ke sumber ekonomi untuk penelitian, eksperimen, pengembangan dan promosi jenis inovasi ini. Jadi, model ini telah menunjukkan sangat dapat diterapkan dalam bidang komersial.

Tuesday, March 27, 2018

Langkah Langkah Penyusunan Materi Pembelajaran

Pada pembahasan sebelumnya, telah dibahas mengenai Konsep dan Prinsip Penyusunan Materi Pembelajaran, maka sekarang dilanjutkan dengan Langkah Langkah yang harus digunakan oleh pendidikan didalam menyusun sebuah materi pembelajaran. Adapun  langkah langkah yang harus dilakukan oleh seorang pendidik dalam menyusun sebuah materi ajar adalah sebagai berikut: 

Langkah-Langkah Penyususunan Materi Pembelajaran
Langkah-Langkah Penyususunan Materi Pembelajaran 

a) Identifikasi standar kompetensi dan kompetensi dasar 
Menentukan materi pembelajaran merupakan acuan/tahapan awal dari langkah langkah dalam penentuan materi ajar dan harus dilakukan terlebih dahulu yang mengacu pada aspek-aspek kebutuhan kompetensi yang harus dipelajari atau dikuasai oleh peserta didik. Aspek aspek lebutuhan tersebut perlu di jadikan acuan karena setiap standar kompetensi dan kompetensi dasar memiliki materi ajar yang berbeda-beda baik dari segi materi ataupun dalam penggunaan methode ataupun model syang dilakukan dalam aktifikatas belajar mengajar di dalam kelas. Dari segi penyiapan materi ajar, kita harus mengelompokkan terlebih dahulu apakah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik tergolong dalam ranah kognitif, psikomotor ataukah afektif. Adapun konsep dari Ranah Kognitif adalah konsep kompetensi yang mencajupi aspek pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan penilaian. Ranah sedangkan konsep psikomotorik (Psikomotor) adalah ranah kompetensi yang mencakupi, kegiatan/aktivitas, gerak awal, semirutin, dan rutin. Selain itu konsep Ranah Afektif adalah ranah yang mencakupi konsep pemberian respons, apresiasi, penilaian, dan internalisasi dan hubungan interpersonal. 

b) Identifikasi Jenis-Jenis Materi Pembelajaran 
langkah kedua dalam langkah langkah dalam penentuan materi ajar, Identifikasi jenis jenis materi ajar dilakukan berkaitan dengan kesesuaian materi pembelajaran dengan tingkatan aktivitas/ranah pembelajaran tersebut. Adapun materi yang digunakan untuk ranah kognitif adalah meteri pembelajaran yang menekankan aspek perilaku intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan dalam berpikir. 


Maka atas dasar acuan tersebut adapun jenis materi yang harus digunakan pada ranah kognitif adalah berupa fakta, konsep, prinsip, dan prosedur. Jenis materi fakta adalah jenis materi yang mengambarakan nama-nama objek, nama tempat, nama orang, lambang, peristiwa sejarah, nama bagian atau komponen suatu benda, informasi tertentu dan lain sebagainya yang masih bersifat nyata dan informatif. Jenis materi konsep adalah jenis materi seperti pengertian, definisi, hakekat, inti dan komposis. Sedangkan jenis materi jenis prinsip adalah jenis materi ajar yang berupa konsep, dalil, rumus, postulat adagium, paradigma, teorema. Materi ajar dari prosedur meliputi tahapan tahapan/langkah-langkah dalam melakukan sesuatu, misalnya cara mengolah pupuk organik

Adapun jenis materi ajar yang digunakan untuk ranah psikomotor adalah berdasarkan materi ajar yang menakankan pada pembentukan perilaku yang meliputi aspek keterampilan motorik. Dengan demikian, jenis materi yang sesuai untuk ranah psikomotor terdiri dari gerakan awal, semirutin, dan rutin, pengunaan media peraga dan lain sebagainya selama konsep terbut membentuk aspek skill ataupun keahlian peserta didik. Terakhir adalah penentuan jenis meteri ajar untuk ranah afektif. Adapun jenis materi untuk ranah afektif mencakupi perilaku yang menekankan pada aspek perilaku, perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Atas dasar konsep tersebut, maka jenis materi yang cocok digunakan pada ranah afektif meliputi rasa dan penghayatan, seperti pemberian respon, penerimaan, internalisasi, dan penilaian sikap. 

Untuk itu, maka seorang pendidik dituntut untuk dapat menjabarkan materi ajar yang akan di ajarkan di dalam kelas dengan melakukan identifikasi secara tepat agar sesuai dengan kompetensi pencapaian yang telah ditentukan. Dengan mengunakan materi ajar yang tepat dan sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi, maka  pendidik dapat mengapilikasi meteri ajar tersebut dengan menggunakan methode ajar, pendekatan dan staregi yang sesuai ketika melaksananakn proses kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Kita tahu bahwasanya setiap materi ajar yang direncakana memliki strategi, metode, media, dan sistem evaluasi yang berbeda-beda ketika di applikasikan didalam proses pembelajaran. Sebagai contoh untuk materi pembelajaran procedural text dalam pembelajaran bahas inggris pendidik dapat menggunakan model demontrasi dalam penyampaian meteri ajar tersebut. 

c)  Menetukan jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar 
Adapun cara yang sangat praktis yang dapat kita gunakan sebagai acuan dalam menentukan jenis materi pembelajaran yaitu dengan dengan cara membuat pertanyaan pertanyaan yang berkaitan dengan kompetensi dasar yang ditentukan dalam kerangka kurikulum. Maka dengan mengacu pada pertanyaan pertanyaan yang berkaiatan kompetensi dasar tersebut, pendidik dapat menyimpulkan sendiri jenis materi yang akan digunakan dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Disamping itu pendidik dapat juga menentukan jenis materi tersebut apakah bersifat fakta, konsep, prinsip, prosedur, aspek spikomotor (Spikomotorik) ataupun jenis affekti (sikap)  

Berikut adalah urutan pertanyaan panduan yang memudahkan pendidik dalam mengidentifikasi jenis materi pembelajaran: 

i) Apakah jenis capaian standar kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik tersebut berupa mengingat nama suatu objek, simbol atau suatu peristiwa? Kalau saja jawabannya ya, maka materi ajar yang digunakan berlkaitan erat dengan informasi fakta/factual. Contoh: Nama nama nama ibukota yang ada di Indonesia.

ii) Apakah jenis capaian standar kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik tersebut berupa kemampuan mereka untuk menyatakan suatu definisi, menuliskan ciri khas sesuatu, mengklasifikasikan atau mengelompokkan beberapa contoh objek sesuai dengan suatu definisi? Jika saja jawabannya ya berarti materi yang harus diajarkan adalah “konsep”. Contoh : Seorang guru Bahasa inggris menerangkan materi tentang generic structure of recount text, kemudian peserta didik diminta untuk menentukan urutan urutan struktur genre dari sebuah decriptive teks, dan lain sebagainya. 

iii)  Apakah jenis capaian kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik tersebut berupa menjelaskan atau melakukan langkah-langkah atau prosedur secara urut atau membuat sesuatu? jika saja jawabannya ya, maka materi yang harus diajarkan adalah “prosedur”. Contoh : guru bahasa inggris menjelaskan procedural tetx menyajikan mie instant. 

iV) Akankah jenis capaian kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik tersebut berupa menentukan hubungan antara beberapa konsep, atau menerapkan hubungan antara berbagai macam konsep? jika saja jawabannya ya”, berarti materi pembelajaran yang harus diajarkan termasuk dalam kategori “prinsip”. Contoh: Guru kata Benda dengan kata sifat (noun dengan adjective(, hubungan antara kata kerja dengan kata keterangan dalam sebuah kalimat (verb dengan Adverb). 

(v) Apakah jenis capaian kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik tersebut berupa memilih berbuat atau tidak berbuat berdasar pertimbangan indah tidak indah, baik buruk, suka tidak suka ? Jika jawabannya “ya”, maka materi pembelajaran yang harus diajarkan berupa aspek perlaku (sikap) atau nilai nilai tertentu. Contoh: Budi selalu melaksanakan shalat fadhu limat waktu sehari semalam karena dia itu itu adalah kewajiban bagi setiap muslim, walaupun kebanyakan teman temannya tidak melakukan shalat sama sekali

(vi)  Apakah jenis capaian kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik tergolong dalam melakukan perbuatan/activitas secara fisik? jika saja jawabannya ya maka materi pembelajaran yang harus diajarkan adalah aspek motorik. Contoh: Dalam membahas materi menyususun kalimat dalam bahasa inggris dari kertas potingan kata kata yang dibagikan oleh guru pada setiap kelompok belajar di kelas. 

d) Memilih Sumber Bahan Ajar 
jika seorang pendidik telah meranncang sebuah materi pembelajaran, maka adapaun tahapan berikutnya adalah menentukan sumber ajar yang akan digunakan sebagai penunjang dalam melakukan proses kagiatan belajar mengajar di dalam kelas. Secar umum, pendidika dapat menentukan sumber materi ajar dengan menggunakan berbagai referensi yang ada selama sesuai dengan konsep meteri ajar yang telah dijabarkan. Adapun sumber belajar yang umum dugunakan oleh pendidik adalah buku pelajaran, majalah, jurnal, koran, internet, media audiovisual, dan sebagainya. Namun tidak tertutup kemungkinanan jika ada sebagaian dari pendidik membuat sendiri materi ajar tersebut akan tetapi itu masih jarang dilakukan mengingat terbatasnya waktu dan dtambah lagi karena dikebut oleh jam tanyang alias jam ngajar yang telalu banyak, dimana seorang pendidik harus mengajar paling kurang sebanyak 24 jam seminggu. 

Thursday, March 22, 2018

Konsep, dan Prinsip Penyusunan Materi Ajar

1. Konsep Penyusunan Materi Ajar
Kemampuan dan keberhasilan guru merancang materi pembelajaran  merupakan salah satu faktor pentingdan memiliki dampak yang cukup besar terhadap keberhasilan dari sebuah pembelajaran secara keseluruhan di sekolah. Perancangan yang dimaksudkan di sini adalah perancangan ataupun penyususnan materi ajar yang akan di trasnfer kepada para peserta didik di dalam kelas. Penyusunan ataupun perancangan suatu Materi Pembelajaran pada hakekatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari Silabus sebagai tempat merencanakan/penuangan dari materi ajar yang dirancang tersebut yang meliputi perencanaan, tahapan prediksi dan proyeksi tentang apa yang akan  dilakukan pada saat Kegiatan Pembelajaran dan termasuk apa yang didiharapkan dari hasil proses pembelajaran tersebut.  

Konsep, dan Prinsip Penyusunan Materi Ajar
Konsep, dan Prinsip Penyusunan Materi Ajar

Secara umum/garis besar dapat dikemukakan bahwa Materi pembelajaran (instructional materials) adalah meliputi ranah pengetahuan(knowledge/kognitif), ranah keterampilan(skill/spikomotor), dan rahan sikap (afektif) yang harus dikuasai peserta didik dalam rangka memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan/direncanakan. Adapun rancangan Materi pembelajaran menduduki posisi central dari keseluruhan elemen kurikulum, karenamateri ajar merupakan sasaran utama yang harus dipersiapkan oleh seorang pendidik agar pada proses penerapannya proses kegiatan pembelajaran dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Adapaun perencanaan meteri ajar tersebut harus merujuk ataupun harus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang telah ditetapkan dalam kurikulum nasional. Ini berarti bahwa materi yang  materi ajar tang direncanakan harus benar benar sesuai dengan materi yang sesuai dengan kebutuhan ketuntasan dari standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam suatu pembelajaran.  
Sebaiknya dalam merancang materi ajar, materi tersebut harus direncanakan secara seoptimal mungkin terlebih dahulu yang sesuai dengan kebutuhan anak, lingkungan, fasilitas pembelajaran namun tetap harus sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar sehingga tetap sesuai dengan kompetensi capaian/ketuntasan. Adapun prinsip harus dicermati yang berkaitan erat dengan proses perencanaan materi ajar meliputi, janis,cakupan, urutan, dan perlakuan (treatment) terhadap materi ajar. 

Supaya seorang pendidik mampu merancang materi ajar yang berkwalitas, maka mereka dituntut untuk dapat memahami berbagai aspek yang berhubungan dengan proses perencanaan dan  pengembangan materi pembelajaran, baik berkaitan dengan hakikat, fungsi, prinsip, maupun prosedur pengembangan materi disamping juga melakukan kelayakan/efektivitas sebagai persiapan dalam perencanaa materi tersebut. 

Dibawah ini merupakan Jenis-jenis materi pembelajaran yang digunakan sebagai bahan ajar di kelas: 

1. Fakta; merupakan materi ajar yang bersifat kenyataan dan kebenaran, contohnya informasi informasi, nama-nama objek, pelaku/peristiwa sejarah, lambang, nama orang, nama bagian atau komponen suatu benda nama tempat, dan sebagainya.

2. Konsep; merupakan materi ajar yang bersifat  pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil dari sebuah proses pemikiran, meliputi pengertian, definisi, ciri khusus, hakikat, inti /isi dan sebagainya. 

3. Prinsip; materi ajar yang bersifat  pokok berupa ilmu pasti  dan memiliki posisi terpenting, yang meliputi rumus, dalil, teorema, adagium, postulat, paradigma, serta hubungan antarkonsep yang menggambarkan implikasi sebab dan akibat. 

4. Prosedur; merupakan materi ajar yang berupa tahapan tahapan/langkah-langkah sistematis atau berurutan dalam mengerjakan suatu aktivitas tertentu dan kronologi sistem tertentu. 

5. Afektif (Sikap atau Nilai); merupakan materi ajar yang berkaitan erat dengan proses penumbuhan sikap ataupun perilaku peserta didik, contohnya sikap kejujuran, sikap kasih sayang, rasa tolong-menolong, semangat dan minat belajar, dan bekerja dan lain lain.

2 .Dasar Prinsip-Prinsip Pengembangan Materi ajar
Secara umum, banyak sekali prinsip yang telah dijabarkan oleh para parak pendidika dalam merancang/merencanakan suatu materi ajaran dinataranya adalah kesesuaian (relevansi), keajegan (konsistensi), dan kecukupan (adequacy). 

i) Prinsip Relevansi atau kesesuaian. 
Sesuai dengan namnya relanansi ayaitu kesesuaiaan maka prinsip ini menekankan bahhwa Materi pembelajaran hendaknya direncang relevan dengan indokator pencapaian standar kompetensi dan pencapaian kompetensi dasar. Jadi jika dalam sebuah kompetesi dasar menuntut peserta didik untuk menghafal maka pendidik harus menyajikan  materi pembelajaran berupa fakta, bukan konsep atau prinsip ataupun jenis materi yang lainnya. Contoh: kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik adalah ”Menganalisis faktor penyebab tetjadinya hujan”  maka materi ajar yang direncanakan dalam proses pembelajaran tersebut harus  berupa konsep tentang pengertian Hujan, penguapan dan faktor penyebab terjadinya proses penguapan tersebut  dan lain sebagainya” (materi konsep), bukan langkah-langkah mengantisipasi dan pada saat banjir yang disebabkan oleh air hujan tersebut. 

ii) prinsip  Konsistensi atau keajegan. 
Konseitensi bermakna konsiten, yaitu berupa kesesuaian materi yang digunakan dengan kompetensi yang diharapkan. Contohnya dalam rancangan suatu materi ajar terdapat dua jenis kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik, sebaiknya materi yang direncanakan harus meliputi dua macam juga. Sebagai contoh: kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik descriptive teks dalam pelajaran Bahasa Inggris, (B. Inggris Kelas VII semester 2), maka materi yang diajarkan juga harus meliputi tahapan tahapan ataupun struktur teks dari tesk deskripsi, dan objek yang dideskripsikan juga benda benda yang ada dilingkungan siswa. 

c) Adequacy atau kecukupan. 
Pola kesukupan ini sebenarnya menekankan pada kebutuhan materi saja , dimanan materi yang direncanakan dalam proses pembeljaran harus memadai/cukup dalam membantu peserta didik untuk menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Harus dipahami jika materi yang dirancang tersebut tidak terlau berlebihanan alias berlebihan dan juga tidak boleh terlalu sedikit akan tetapi sesuaikan saja dengan kebutuhan pencapaian terget kurikulum (SK/KI dan KD) 

Disamping itu, sebaiknya dalam mengembangkan materi ajar pendidik juga harus harus mengidentifikasi dan mempertimbangkan hal-hal berikut ini: tersebut

1) Potensi peserta didik; potensi ini mencakupi potensi intelektual, emosional, spiritual, sosial, dan potensi vokasional (kejuruan). 

2)Relevansi dengan karakteristik lingkungan; relavansi ini bermakna jika materi yang di rencanakan harus disesuaikan dengan keadaan yang ada dilingkungan sisiwa. Bagi peserta didik dan sekolah terletak di daerah pengunungan, maka sebaiknya rancangan pengembangan materi pembelajaran diupayakan agar selaras dengan kondisi masyarakat yang tinggal di pegunungan . 

3) Perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spritual peserta didik; materi yang direncanakan harus mempertimbangakn aspek aspek tersebut sehingga mempermudah peserta didik dalam mengkuti proses pembelajaran di kelas.  

4) Kebermanfaatan bagi peserta didik; prinsip ini sangat menekakankan jika pengembangan materi pembelajaran harus dilihat dari azas manfaatnya sehingga proses pembelajarannya dapat terlibat langsung dengan sisiwa dan faktor ini sangat penting didalam membangun konsep pengetahuan melalui pendekatan konstextual.  

5) Memiliki Struktur keilmuan; mengembangkan materi pembelajaran sosiologi harus didasarkan pada struktur keilmuan sosiologi. Contohnya : mengembangkan konsep Imigrasi kepada peserta didik, jangan dimaknai secara geografis (imigrasi artinya perpindahan penduduk dari suatu negera ke negara lain); tetapi sebaiknya imigrasi adalah memperkenalkan perubahan pola berpikir, bersikap, dan bertindak dari pola kehidupan masyarakat luar negara yang modern, disertai pemahaman tentang budaya luar negara (cross culture understanding) 

6) prinsip Aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran; mengembangkan materi pembelajaran hendaknya selalu mempertimbangkan potensi peserta didik, tingkat perkembangan peserta didik, kebermanfaatan bagi peserta didik, alokasi waktu,dan perkembangan peradaban dunia 

7) pronsip Relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan mereka; 

8) Alokasi waktu.

Thursday, March 15, 2018

Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning

Penerapan otonomi daerah membawa pengaruh bagi manajemen pendidikan di Indonesia. Salah satu pengaruh tersebut adalah diberlakukannya otonomi sekolah, di mana tiap-tiap sekolah memiliki wewenang untuk mengelola dan meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dalam lingkup kelas, maka guru mempunyai peran yang strategis untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Guru merupakan personil sekolah yang memiliki kesempatan bertatap muka lebih banyak dengan siswanya. Dengan demikian, peran dan tanggung jawab guru sesuai dengan kebijakan otonomi sekolah antara lain adalah menguasai dan mengembangkan materi pembelajaran, merencanakan dan mempersiapkan pembelajaran, serta mengontrol dan mengevaluasi kegiatan siswa.

Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning

Kemampuan guru dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas sangat menentukan keberhasilan pendidikan secara keseluruhan. Kualitas pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan guru, terutama dalam memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik secara efektif dan efisien. Berdasarkan hasil dari pengamatan para pegiat dunia pendidikan, mereka menemukan fakta bahwasanya sejauh ini pendidikan kita masih terlalau banyak di dominasi oleh pandangan, jika pengetahuan adalah sebagi perangkat fakta-fakta yang harus dihapal oleh peserta didik.

(Baca Contextual Teaching and learning CTL)
(Baca Konsep Penilaian Berbasis Kelas )

Kegiatan pembelajaran di dalam kelas masih terfokus/berpusat pada guru sebagai sumber utama dalam mengakases pengetahuan, model ceramah masih merupakan pilihan yang paliang bagus untuk digunakan dalam strategi pemebelajaran di dalam kelas. Disamping itu mereka juga menemukan jika dijumpai pendidik masih terbiasa melaksanakan kegiatan pembelajarannnya dengan metode konvensional dimana siswa kurang dilibatkan secara aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar. Kejadian ini menyebabkan jik peserta didik/siswa lebih cenderung besikap pasif dan hanya sebagai pendengar saja tanpa diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapat mereka sama sekalai. Semua permasalahan di atas merupakan pemicu timbulnya Proses belajar mengajar yang terkesan kaku, kurang fleksibel dan guru cenderung kurang demokratis. Siswa ibarat kertas putih bersih yang siap diisi dengan ilmu pengetahuan. Pencapaian dan keberhasilan pendidikan berdasarkan hasil akhir pembelajaran dengan mengabaikan proses.

Adanya kenyataan seperti di atas, maka diperlukan suatu inovasi strategi belajar yang diharapkan lebih efektif dan efisien sebagai alternatif yaitu pembelajaran kontekstual. Sebagaimana yang telah kita pahami jika pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) sering disingkat dengan CTL merupakan model  pembelajaran digunakan untuk membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa (real) disamping untuk meransang siswa untuk dapat dapat mengaitkan hubungan antara pengetahuan yang diperoleh /milikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai bagian anggota keluarga dan masyarakat ditempat mereka. Dengan penggunaan konsep tersebut, maka hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi peserta didik sendiri, dismaping juga proses pelaksanaan kegiatan pembelajaran didalam kelas berlangsung secara alami dalam bentuk kegiatan dimanan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke peserta didik sebagaimana model sebelumnya yang masih juga sering digunakan oleh pendidik. Konsep CTL lebeh menekakan pentingnya Strategi pembelajaran dibandingkan dengan hasil pembelajaran tersebut. Dalam konteks tersebut, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mancapainya. Disamping itu peserta didik juga menyadari bahwa yang mereka pelajari berguna bagi kehidupannya suatu saat kelak. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Maka dengan sendirinya peserta diidk akan mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya, dengan dengan dipandu oleh pendidik/guru yang berperan sebagai pengarah dan pembimbing mereka.

Salah satu strategi pembelajaran yang merupakan perangkat pembelajaran berasosiasi dengan KTSP dan K13 adalah strategi pembelajaran berbasis CTL (Contextual Teaching and Learning) dengan tujuh komponen pembelajaran yang meliputi constructivism (konstruktivisme); inquiry (menemukan); uestioning (bertanya ); learning community (masyarakat belajar); modelling (pemodelan); reflection (refleksi); dan authentic assessment (penilaian yang sebenarnya). Strategi pembelajaran menuntut pendidik agar dapat menjadikan siswa untuk mampu menghubungkan isi materi pelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan tersebut dengan aplikasinya dalam kehidupan nyata.

Jika kita tinjau dari konsepnya, Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep pembelajaran yang digunakan membantu pendidik/guru dalam mengaitkan antara materi yang diajarkannya didalam kelas dengan situasi dunia nyata siswa disamping juga mendorong siswa untuk dapat mengaitkan pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: kontruktivisme (Contrucivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment)(Depdiknas, 2003: 3).

Karakteristik Pembelajaran Kontekstual Menurut Nurhadi (2002: 20) ada beberapa karakter pembelajaran berbasis kontekstual, yaitu:
a. Terciptanya kerjasama (cooperation), sharing dengan teman dan saling menunjang;
b. Peserta didik aktif,  inovatif dan kritis, belajar dengan bergairah, menyenangkan dan
tidak membosankan, serta pendidik juga lebih kreatif;
c. Konsep/Pola pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber;
d. Terdapatnya berbagai macam kreativitas peserta didik baik kelas dan lorong-lorong sekolah, dan
e. pelaporan yang diberikan kepada orang tua tua bukan sekedar rapor kenaikan kelas melainkan meliputi hasil karya siswa tersebut,
laporan praktikum, dan karangan siswa.

Perbedaan CTL dengan Pembelajaran Konvensional
Ada perbedaan pokok antara pembelajaran CTL dan pembelajaran konvensional. Dibawah ini dijelaskan perbedaan kedua model tersebut dilihat dari Konteks tertentu.

a. Dalam pembelajaran CTL, peserta didik memiliki peranan sebagai subjek belajar, artinya siswa berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran. Pola ini sangat berbanding terbalik dengan proses pembelajaran konvensional, dimanan siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.

b. Dalam pembelajaran CTL, siswa belajar melalui kegiatan kelompok seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima dan memberi. ini sangat berbanding terbalik dengan proses pembelajaran konvensional dimanan siswa lebih banyak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran.

c. Dalam pembelajaran CTL, peserta didik diharapkan memiliki kemampuan yang dasari pada pengalaman; sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan diperoleh melaluilatihan-latihan.

d. Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri, misalnya individu tidak melakukan perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa perilaku itu merugikan dan tidak bermanfaat; sedangkan dalam pembelajaran konvensional, sikap ataupun perilaku peserta didik didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, sebagai contoh, peserta didik yang cendrung rasa takut pada didir siswa disebabkan karena takut hukuman atau sekedar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru.

e. Proses pembelajaran dalam konsep CTL, pengetahuan yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya. Adapun proses pembelajaran konvensional, Kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final, sehingga lebih terkesan jika oleh pengetahuan hanya bersifat menerima saja dan tidak perlu untuk di buktikan kebenaran tersebut.

f. Proses kegiatan pembelajaran CTL menekakan siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing; sedangkan dalam pembelajaran konvensional guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.

g. Proses pembelajaran dalam konsep CTL, kegitan pembelajaran dapat dilukan di mana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan; sedangkan dalam pembelajaran konvensional pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas saja.

h. Keberhasilan pembelajaran dalam konsep CTL dilakuakn dengan berbagai tahapan/cara, contohnya dengan tahapan evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan lain sebagainya. Ini disebakan karena karena tujuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek perkembangan siswa; sedangkan dalam pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran biasanya hanya diukur dari tes.

Dari gambaran penjabaran pokok perbedaan antara Model pembelajaran bebabasis CTL dan Konvensianal, maka dapat kita simpulkan jika konsep pembelajaran berbasis CTL memang memiliki karakteristik tersendiri baik dilihat dari asumsi maupun proses pelaksanaan dan pengelolaannya (Sanjaya, 2006: 260).