Pondok Belajar

Friday, March 10, 2017

Pengertian, Materi dan Metode Pembelajaran Aqidah Akhlaq

Pengertian, Materi dan Metode Pembelajaran Akidah Akhlak.
Pembelajaran dalam pendidikan berasal dari kata instruction yang berarti pengajaran. (Echols, 1992: 325). Gagne dan Briggs dalam Sudjana (2000: 13) memberi pengertian pembelajaran dengan instruction is a set of events which effort learners in such a way that warning fasilitated. Menurut Zayadi (2005: 8) pembelajaran adalah sebagai kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat peserta didik belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Selain itu menurut Mulyasa (2006: 100) bahwa proses pembelajaran pada hakekatnya merupakan interaksi para peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku yang baik. Interaksi tersebut umunya banyak diketahui oleh faktor internal seseorang yang dipengaruhi oleh diri mereka sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari lingkungan baik dalam lingkungan pembelajaran ataupun lingkungan peserta didik, ini adalah tugas seorang guru yang utama dalam pembelajaran, tugas seorang guru yang utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku peserta didik.
Pengertian, Materi dan Metode Pembelajaran Aqidah Akhlaq
Pengertian, Materi dan Metode Pembelajaran Aqidah Akhlaq

Berdasarkan konsep pembelajaran tersebut, kegiatan pembelajaran bermuara pada dua kegiatan pokok sebagai berikut:

a. Bagaimana orang melakukan tindakan perubahan tingkah laku melalui kegiatan belajar.
b. Bagaimana orang melakukan tindakan penyampaian ilmu pengetahuan melalui kegiatan pembelajaran.
Makna pembelajaran merupakan kondisi eksternal kegiatan belajar, yang antara lain dilakukan oleh guru dalam mengondisikan seseorang untuk belajar. Secara umum belajar merupakan kegiatan yang melibatkan terjadinya perubahan tingkah laku, maka dari itu makna/pengertian pembelajaran adalah merupakan suatu prose kegiatan yang dilakukan oleh pendidik dengan sedemikian rupa sehingga tingkah laku peserta didik berubah kearah yang lebih baik/positif. (Darsono, 2001 : 24).

(Baca Pentingnya Memahami Konsep Aqidah Dalam Islam)
(Baca Iman Kepada Qada dan Qadar Allah)

Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi. Interaksi tersebut yaitu antara peserta didik dengan lingkungan belajar, yang diatur oleh guru untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. 
Menurut Djamarah (2002: 38-35) bahwa aktivitas belajar peserta didik adalah 1) mendengarkan; 2) menulis atau mencatat; 3) meraba, membau dan mengecap; 4) memandang; 5) membaca; 6) mengamati tabel, 7) membuat ikhtisar atau ringkasan dan menggarisbawahi; diagram-diagram dan bagan-bagan; 8) mengingat;  9) menyusun paper atau kertas kerja; 10) berpikir; 11) latihan atau praktek.

Kegiatan peserta didik  yang dikemukakan oleh dua tokoh tersebut dalam proses pembelajaran bahasa, pada intinya meliputi kegiatan mendengarkan, membaca, menulis dan berbicara. Empat kegiatan tersebut dalam pelaksanaannya berupa kegiatan yang berhubungan dengan sikap, keterampilan, pemahaman dan pengetahuan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Apabila dalam proses tersebut hanya mencakup satu atau dua aspek kegiatan, maka pembelajaran bahasa dapat dikatakan kurang berhasil, sebaliknya apabila empat aspek tersebut dikuasai, berarti peserta didik telah berhasil dalam kegiatan belajarnya. 

Kita pahami bahwa proses pembelajaran akan berlangsung efektif ketika peserta didik (siswa) diberi kesempatan untuk terlibat aktif dan mempraktekkan materi pembelajaran yang telah diterimanya di kelas. Belajar melakukan lebih efektif daripada dengan mendengar atau melihat. Guru hendaknya lebih memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dengan melakukan (learning by doing).

1. Materi Pembelajaran 
Materi pembelajaran merupakan sesuatu yang disajikan guru untuk diolah dan kemudian dipaham, dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan (Ibrahim, 2003: 100). Dalam pemilihan materi pembelajaran, ada beberapa kriteria yang dikembangkan dalam sistem pembelajaran dan yang mendasari strategi belajar mengajar, yaitu: 1) materi supaya sejalan dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan, 2) materi pembelajaran supaya terjabar, 3) relevan dengan kebutuhan peserta didik, 4) kesesuaian dengan kondisi masyarakat, 5) materi pelajaran mengandung segi-segi etik, 6) materi pembelajaran tersusun dalam ruang lingkup dan urutas yang sistematis serta logis, 7) materi pembelajaran bersumber yang baku, pribadi guru, dan masyarakat (Harjanto, 2006 : 222-224).

2. Metode
Metode berasal dari bahasa Greek-Yunani, yaitu metha (melalui atau melewati), dan hodods (jalan atau cara). Pengertian kata tersebut secara sederhana merupakan jalan yang ditempuh oleh seorang pendidk/guru dalam menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. (Thoifuri, 2008 : 56). Metode dalam interaksi pembelajaran adalah cara yang tepat dan cepat melaksanakan sesuatu. Cara cepat dan tepat inilah, maka urutan kerja dalam suatu metode harus diperhitungkan benar-benar secara ilmiah.

Ketika dalam proses pembelajaran, Muhadjir (2000: 140) membedakan antara istilah metode, pendekatan, dan teknik. Dia menjalsakan bahwa Pendekatan berarti cara menganalisis, memperlakukan, dan mengevaluasi sesuatu oyek. Misalnya dalam proses pembelajaran, dimanan peserta didik dilihat dari sudut interaksi sosialnya, akan ada jenis pendekatan individual dan pendekatan kelompok. Namun/Sedangkan istilah metode dan teknik dapat dianalogikan sebagai sebiuah jalan atau kendaraan yang digunakan seseorang untuk mencapai tempat tujuan. Misalnya, seseorang akan pergi ke kota A, maka jalan yang dipilih untuk dilewati dianalogkan dengan metode, sedangkan kendaraan dianalogkan dengan teknik.

Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai, maka guru dalam memilih metode perlu memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: 1) Tujuan yang hendak dicapai, 2) Kemapuan guru, 3) Peserta didik, 4) Situasi dan kondisi pembelajaran di mana berlangsung, 5) Fasilitas, 6) waktu yang tersedia, 7) kebaikan dan kekurangan meode. (Utsman, 2002:33). 

Menurut Mulyanto dalam Abdul Kholim (2005:37) metode-metode pembelajaran bahasa Arab adalah: 1) metode dwibahasa (dual-language method). 2) metode membaca (reading method), 3) metode psikologi (psichological method), 4) metode ponetik (phonetic), 5) metode alamiah (natural method), 6) Metode gramatika-terjemah (grammar-translation method), 7) metode terjemah (translation method), 8) metode gramatika (grammar method),  9) metode gabungan (electic method), 10) metode pembatasan bahasa 11) metode unit (unit method), (language control method), 12) metode mim-mem (mimiery –memorization method), 13) metode praktek-teori (practice-theory method), 14) metode cognate (cognate method), 15) metode langsung (direct method),

Kesemuaan Metode–metode tersebut berkumpul hanya pada dua kutub, yaitu:

a) Metode-metode yang melekat pada unsur metode langsung (dirrect method).
b) Metode-metode yang langkahnya berkisar pada prinsip metode tidak langsung (indirect method). (Malibary, 1976: 103).
Kegiatan pembelajaran bahasa Arab hendaknya menggunkan metode yang bervariasi dan tepat, karena pada dasarnya tidak ada metode yang paling ideal dan tepat, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri. Hal ini sangat bergantung pada tujuan yang hnedak dicapai, guru, ketersediaan fasilitas, dan kondisi peserta didik.

Pengertian dan Tahap-tahap Apresiasi

A. Pengertian Apresiasi
Kata apresiasi dalam bahasa Indonesia berasal dari kata appreciation yang berarti penghargaan. Tepatnya penghargaan yang didasarkan pada pemahaman. Kata appreciation/penghargaann Secara gramatikal dimaknai sebagai sebuah proses atau hal untuk memberi harga atau menghargai sesuatu. Dalam rangka pemberian harga terhadap suatu objek, misalnya suatu karya seni, secara pasti tentu akan melibatkan hal-hal untuk mengobservasi, meneliti dan menimbang mutu, yaitu menilai kelebihan dan kekurangan dari objek tersebut, barulah sampai pada kesimpulan sebagai hasil pemberian harga tersebut. S. Effendi dalam Suroto (1990:158) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan apresiasi terhadap karya sastra ialah sebuah upaya atau proses memahami, menikmati, dan menghargai suatu karya sastra secara kritis, yang memunculkan tumbuh penghargaan, pengertian, dan kepekaan pikiran kritis dan kepekaan pikiran yang baik terhadap sastra yang dihasilkan.

Pengertian dan Tahap-tahap Apresiasi Karya Sastra
Pengertian dan Tahap-tahap Apresiasi Karya Sastra

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan keakraban dengan teks sastra yang diapresiasikannya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh, serta melaksanakan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan kebutuhan rohaninya. Hal ini diperlukan karena sastra merupakan salah satu karya seni yang berusaha menampilkan nilai keindahan dalam bentuk aktual dan imajinatif (imagination) sehingga akan mampu memberikan hiburan dan kepuasan rohaniah kepada para pembaca.
Kemampuan apresiasi bagi siswa sangat penting, karena dengan adanya kemampuan apresiasi pada dirinya, ia akan memperoleh pengetahuan atau pengalaman, memperoleh kecakapan dalam menilai secara objektif nilai-nilai estetika, moral maupun mental dari karya sastra yang dinikmatinya. Pengalaman dan pengetahuan yang ditemuinya dari setiap karya sastra tersebut akan menimbulkan suatu pemikiran yang mendalam, dan hal ini menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan dalam diri manusia itu. Dengan demikian, kemampuan apresiasi ini sangat perlu dibina dan dikembangkan pada diri siswa.

Dalam pengajaran sastra Indonesia di SMA, bentuk apresiasi sastra bisa bermacam-macam. Macam bentuk tersebut disesuaikan dengan tingkat usia siswa dan jenjang kelas. Apresiasi untuk kelas satu tentu tidak sama dengan apresiasi untuk kelas dua. Hal ini disebabkan tingkat pemahaman dan tingkat pemikiran biasanya sejalan dengan pertambahan usia. Di samping itu, semakin banyak pengalaman seseorang tentunya akan semakin baik penghayatannya seseorang terhadap karya sastra tersebut. Hal yang demikian itu kiranya cukup wajar karena sastra tak lain dan tak bukan berbicara tentang hidup dan kehidupan manusia.

Untuk dapat mencapai hasil yang maksimal dalam kegiatan apresiasi karya sastra, kita harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang sastra dengan berbagai aspeknya, terutama mengenai unsur intrinsiknya.

B. Tahap-tahap Apresiasi
Apresiasi mempunyai tahap-tahap yang harus ditempuh guna mencapai taraf yang lebih baik. Tahap-tahap tersebut merupakan pedoman yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai kemampuan apresiasi yang diharapkan, dan pencapaian ini diharapkan untuk tercapainya tujuan pengajaran sastra yang diharapkan.
Untuk sampai pada tahap menetapkan penghargaan (kesimpulan) terhadap suatu karya seni (sastra), ada beberapa tahap-tahap tertentu yang harus dilewati lebih dahulu. Tahap- tahap yang dimaksudkan tersebut menurut Dra. Maidar G. Arsyad dalam Suroto (1990:157), sebagai berikut:

Tahap I : tahap ini adalah tahap penikmatan. Pada tahap ini penikmat melakukan tindakan untuk melihat, membaca, menonton atau mendengarkan suatu karya seni (sastra) tersebut. Misalnya membaca novel, roman atau puisi. Atau mungkin mendengarkan pembacaan sajak (puisi), atau menonton pertunjukan drama.

Tahap II : tahap ini adalah tahap penghargaan. Pada tahap ini penikmat melakukan tindakan manfaat, melihat kebaikan, atau nilai karya seni (sastra) itu. Mungkin setelah sekali membaca atau mendengar karya sastra lalu penikmat merasakan adanya manfaat, apakah itu memberi hiburan, menyenangkan, memberi kepuasan, atau pun memperluas pandangan dan wawasan hidupnya. Kalau penikmat merasakan manfaatnya sangat mungkin ia akan melangkah kepada tahap berikutnya.

Tahap III : adalah tahap pemahaman. Di sini penikmat melakukan tindakan menganalisis, meneliti, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya serta berusaha menyimpulkan kembali. Tahap ini berarti penikmat tidak lagi sekedar pasif untuk menikmati suatu karya sastra, tetapi mereka juga melakukan pemeraian pada setiap komponen yang telah membentuk karya sastra tersebut. Akhirnya ia akan sampai pada sebuah kesimpulan apakah karya sastra tersebut baik atau tidak, bermanfaat bagi pembaca atau tidak, sekedar sebagai hiburan atau lebih dari itu dan lain-lain.

Tahap IV : adalah tahap penghayatan. Pada tahap ini penikmat/pembaca akan menganalisi lebih lanjut karya sastra tersebut, mencari makna atau hakikat dari suatu karya sastra beserta argumentasinya; membuat penafsiran dan menyusun argumen berdasarkan analisis yang telah dibuat. Pada tahap ini penikmat berusaha menjelaskan mengapa alur novel begitu atau begini, atau mengapa sebuah puisi menggunakan bentuk seperti tanda tanya, atau mengapa sebuah puisi menggunakan kata-kata seperti itu dan lain-lain. Alasan-alasan yang dikemukakannya tentu disertai bukti agar argumen yang dikemukakannya dapat diterima secara akal.

Tahap V : tahap terakhir ini adalah tahap implikasi atau penerapan. Dimana pembaca yang telah membacakan atau menikmati suatu karya sastra sangat mungkin untuk menimbul ide baru pada pembaca karya tersebut.

Tahap-tahap tersebut merupakan suatu proses yang harus dilalui dalam mencapai suatu tingkat apresiasi yang sebenarnya. Tingkat pemahaman, tingkat penghayatan, dan tingkat implikasi merupakan tahapan yang harus dilalui dalam suatu proses apresiasi terhadap karya sastra.
Tingkat penikmatan merupakan tingkat pertama bagi seseorang yang hanya baru mengenal suatu karya sastra. Tingkat pemahaman ini berada pada tahap menonton, atau merasa senang saat mengenal suatu karya sastra. Pada tahap ini tidak dituntut seseorang untuk dapat terus memberikan penilaian, karena sudah barang tentu ia tidak dapat menilainya. Hal ini yang menyebabkan timbulnya salah penafsiran terhadap suatu karya sastra apabila diminta penilaiannya.

Pada tingkat penghargaan seseorang atau katakanlah siswa, mulai memberikan reaksi, misalnya reaksi ini timbul dalam bentuk rasa kagum serta terpengaruh akan hasil cipta sastra yang dinikmatinya. Rasa kagum ini menjelma menjadi suatu rasa ingin memiliki terhadap produk sastra tersebut, sehingga timbul rangsangan untuk ingin menikmatinya lagi. Hal ini akan membawa dirinya pada tingkat pemahaman, yaitu tingkat mencari pengertian.

Apabila siswa telah memiliki dorongan untuk mempelajari dengan cara mencari sebab akibat dan bersifat studi, pada tahap inilah siswa mulai memahami suatu karya sastra, sehingga dalam dirinya timbul suatu dorongan lain dalam bentuk mencari sebab akibat, serta mencari pengertiannya. Dengan tindakan ini siswa barulah menuju ke tahap selanjutnya, yaitu tahap penghayatan. Pada tingkat penghayatan ini siswa mulai membuat analisis lanjut mengungkapkan nilai pandangan terhadap suatu hasil karya sastra. Siswa akan mencari sejumlah pemikiran atau berupa perbandingan sejauh dapat terjangkau oleh daya pemikirannya sendiri.

Thursday, March 09, 2017

Pengertian Cerpen dan Struktur Penulisannya

Pengertian Cerpen dan Struktur Penulisannya

A. Cerpen (Cerita pendek) 
Cerita Pendek dalam Bahasa Inggris dinamakan short story, merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus di sebut karya fiksi (Hayalan). Kita tahu bahwa Cerpen merupakan cerita rekaan yang relatif pendek (short essay). Tetapi, ada berapa ukuran cerpen dalam ukuran panjang karena panjang dan pendek tersebut memang tidak ada aturannya yang pasti. Tak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe dalam Nurgiyantoro (2005:10) menyebutkan bahwa cerpen merupakan sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam saja. Di samping itu, cerpen hanya mempunyai efek tunggal, karakter, plot, dan setting yang terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks. 
Pengertian Cerpen dan Struktur Penulisannya
Cerpen dan Struktur Penulisannya

Cerita pendek adalah cerita yang pendek, namun tidak setiap cerita yang pendek dapat digolongkan ke dalam cerpen. Sudah umu dipahami, Cerita pendek adalah cerita yang pendek dan di dalamnya terdapat unsur pergolakan jiwa pada diri pelakunya, dimana secara keseluruhan cerita tersebut bisa menyentuh hati nurani pembaca dan dapat dikategorikan sebagai buah dari sastra cerpen itu sendiri. Dengan sajian cerita yang realtif pendek tersebut, seorang penulis cerpen (cerpenis) harus mampu  merebut hati pembaca ceritanya, sehingga pembaca seperti diteror dan akan terus bertanya-tanya dengan sendirnya. Ketegangan yang diciptakan oleh cerpenis sengaja menggelitik perhatian pembaca melalui teknik-teknik yang dipilih dalam menyampaikan misi yang diembannya.
Sesuai dengan perannya bahwa sebuah karya harus indah dan mengandung makna dan manfaat, dulce et utile, cerpen selalu hadir dengan bentuk yang apik. Tidak berarti cerpen harus berbahasa indah dengan kata yang berbunga-bunga, akan tetapi pemilihan bentuk kalimat yang tepat dan bersifat enerjik. Inilah salah satu Keindahandari  segi bahasa itu membuat cerpen tampak hidup dan seperti berjiwa dan berdaya tarik tinggi.

Sementara dari segi isi, cerpen yang menggambarkan satu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang atau beberapa pelakunya memuat misi tertentu yang bersifat sugestif sehingga ketika cerpen selesai dibaca, pembaca akan merenung. Perenungan yang dilakukan itu tidak lain adalah memikirkan, mencari, atau menyimpulkan apa yang diketengahkan oleh penulis. Jadi, dari tulisan itu hati pembaca akan terketuk dan terbuka cakrawala pandangannya atau malah menemukan sesuatu. Itulah manfaat karya sastra, yaitu tulisan yang dapat menyumbang andil bagi kehidupan.

Atas dasar pemikiran yang dikemukakan di atas, tidak mengherankan bila cerita pendek selalu bermunculan setiap hari. Tidak berbeda dengan bentuk media lain yang dapat diperankan sebagai medan curahan hati, kritik, dan cemooh, cerpen pun dapat diperankan sebagai senjata untuk menentang siapa pun. Karya cerpen terasa lebih elastis untuk melontarkan berbagai gagasan yang didukung oleh unsur intrinsik, seperti perwatakan dan setting. Dalam perwatakan dapat digambarkan tingkah laku seseorang untuk diteladani atau dilawan. Perlawanan tersebut biasanya memang jadi tema pilihan yang digarap dalam liku-liku cerita. Seperti sebuah tuntutan yang disuarakan untuk suatu perbaikan, cerpen pun menggarap masalah yang aktual dan mendesak. Dalam hal ini, cerpen dijadikan wahana medan kritik yang bersifat memberontak.

Sifat cerpen sangat akomodatif terhadap kemungkinan masuknya unsur imajinatif penulis sehingga berbagai hal bisa dimasukkan dalam tulisan, termasuk untuk menghapus jejak dan menyelamatkan diri penulis. Sejak cerpen-cerpen zaman Jepang, kondisi seperti ini pun sudah populer dan dikenal sebagai cerpen simbolik. Cerpen itu adalah interpretasi pengarang terhadap kehidupan yang dituangkannya dalam bentuk cerpen. Kehidupan yang digambarkan dalam cerpen bukan kehidupan otentik, tetapi kehidupan menurut saringan pandangan pengarang. Kejadian dalam cerpen adalah pengalaman subyektif pengarang. Makin besar kepribadian pengarang makin terpercaya dengan apa yang diungkapkannya. Kehidupan yang dipaparkan dalam cerpen adalah kehidupan dalam bentuk intinya, yang penuh arti.

Dengan demikian, cerpen adalah salah satu bentuk karya sastra yang diciptakan dari aneka pengalaman batin, pikiran, dan perasaan pengarang dalam kehidupan sehari-hari. Pikiran merupakan sesuatu yang terkendali dan lebih tenang, sedangkan perasaan lebih bergejolak, lebih sukar dikontrol, lebih agresif bila dibandingkan dengan pikiran. Di sisi lain, pengalaman lahiriah dapat mendorong seseorang untuk mencipta karya sastra. Pengalaman lahiriah memiliki sifat yang teramati. Fenomena fisik yang berhubungan dengan hal-hal yang dapat dilihat, didengar, dan dirasakan oleh seseorang dari yang teramati, sedangkan kekuasaan hukum yang melingkupi berupa pengetahuan, ekonomi, politik, moral, dan agama yang tak teramati dan memberi pengaruh cukup besar ke dalam karya sastra. Berdasarkan pengalaman lahir dan batin inilah seseorang menguraikan dan menghidupkan secara narasi, hingga terbentuklah sebuah karya sastra.

B. Struktur Cerpen 
Keutuhan atau kelengkapan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsur yang membentuknya. Nurgiyantoro (1995:10) menyebutkan bahwa unsur-unsur pembangun (cerita) terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Seperti Sumardjo (1986:37) menyampaikan bahwa  unsur-unsur pembentuk cerpen terdiri , tema cerita, peristiwa cerita (alur atau plot), tokoh cerita (karakter), suasana cerita (mood and atmosfer cerita), sudut pandangan pencerita (point of view), latar cerita (setting), dan gaya (style) pengarangnya sendiri.
Dari kedua pendapat di atas dapatlah kita lihat bahwa Nurgiyantoro melihat dari struktur fisik dan struktur batin cerpen, sedangkan Sumardjo lebih menitikberatkan pada struktur fisiknya saja. Namun demikian, bukanlah berarti Sumardjo mengingkari unsur batin (unsur ekstrinsik) sebuah cerpen.

Unsur-unsur intrinsik merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah karya sastra. Dalam unsur intrinsik tergambar bagaimana sebuah karya sastra cerpen memberikan arah atau jalan pikiran pengarang. Suatu cerita enak dibaca apabila cerita tersebut mampu memberikan perasaan pikiran, perasaan pengarang yang semuanya itu dilukiskan dalam unsur-unsur intrinsik. Dengan demikian, kita dapat memahami maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya itu.

Unsur intrinsik adalah unsur dalam sastra yang ikut serta membangun karya sastra itu sendiri. Karena sifat dan hakikat bentuk cerpen tidak sama dengan bentuk puisi maupun bentuk drama, jadi unsur dalam yang membentuknya pun berbeda. Karya sastra bentuk cerpen pada dasarnya dibangun oleh unsur-unsur tema, amanat, peristiwa cerita (alur atau plot), penokohan, latar (setting), sudut pandang (point of view), dan gaya bahasa. Unsur itulah yang termasuk dalam unsur intrinsiknya. Unsur-unsur tersebut akan dibicarakan satu persatu dalam sejain yang lain.

Cara Yang Tepat Memerankan Drama Dalam Pembelajaran

Cara Yang Tepat Memerankan Drama Dalam Pembelajaran. Sebuah naskah drama sebaiknya dapat dipentaskan meskipun  ada juga naskah drama yang tidak dapat dipentaskan. Menurut Endaswara (2005:197-204) dalam mementaskan naskah drama ada tiga tahapan yang harus dilakukan yaitu:

(1) Tahapan Penyajian yang Diharapkan

Pada tahap ini yang terpenting adalah  tim yang akan mementaskan drama harus mengetahui terlebih dahulu tujuan dari pementasan tersebut baru kemudian menyusun draft kegiatan dari awal hingga pementasan. Menurut Hoa Nio (dalam Endaswara, 2005:199) mengemukakan bahwa ada dua tahapan besar yaitu:
Cara Yang Tepat Memerankan Drama Dalam Pembelajaran
Cara Yang Tepat Memerankan Drama Dalam Pembelajaran
(a) Persiapan, mengumpulkan naskah drama sesuai dengan minat, kemampuan, rangsangan dan tingkat kesukaran bahasa;
(b) Kegiatan dalam kelas yang meliputi: (1) penjelajahan (perkenalan) dengan drama dengan membuat pertanyaan sehari-hari yang terkait dengan drama yang akan diapresiasi, dan disertai diskusi kecil tentang “apa yang akan diharapkan” subjek didik dari kehidupan tokoh dalam drama tersebut, membaca dalam hati, menonton pertunjukan baik teman sendiri maupun pertunjukan profesional, (2) interpretasi pertanyaan diskusi dengan pertanyaan menggali (subjek didik diminta membandingkan pendapatnya sendiri dengan apa yang dibaca dalam drama, pertanyaan terkait dengan tema, plot, pelaku, watak dan menganalisis akhir cerita drama), 
(c) rekreasi (pembagian peran, pagelaran, evaluasi, latihan ulangan dan pagelaran), 
(d) teknik pembinaan apresiasi drama.
Selanjutnya, berbeda dengan Moody (dalam Endaswara, 2005:200) mengemukakan bahwa:

(1) pelacakan pendahuluan, mengemukakan pusaran kemenarikan drama yang akan disajikan, alasan-alasan drama itu disajikan; 
(2) penentuan sikap praktis, menjelaskan keistimewaan drama, kekuatan drama yang akan disajikan; 
(3) intoduksi, mengenalkan struktur drama, menanyakan bila subjek didik telah mengenalnya; 
(4) penyajian, berapa pementasan, membaca naskah, ekspresi drama; 
(5) diskusi, membicarakan pementasan, kenikmatan, kekurangan, kelebihan dan lain-lain; 
(6) pengukuhan, melaporkan pementasan, menulis dialog, membuat adegan, mencari cerpen atau novel yang dapat diubah dengan bentuk drama; 
(7) diskusi lanjutan, diskusi mendalam sampai ke tingkat sosio psikologis, filsafat, religius dan memperagakan; 
(8) praktek percobaan, bermain peran, menirukan adegan; 
(9) latihan pengucapan dialog, latihan dinamik suara, vokal berat-sedang-ringan; 
(10) akting dan 
(11) pementasan drama.

Susunan draft sebuah pementasan dapat disesuaikan berdasarkan kesepakatam tim yang terlibat dalam pementasan itu dan kebutuhan yang diperlukan oleh anggota tim. Jika ada hal-hal yang dianggap tidak perlu dapat dihilangkan. 

(2) Tahap  Memahami Anatomi Drama

Di samping naskah dan aktor drama sebuah pementasan akan terkait dengan sutradara. Dia adalah figur penentu dalam pementasan. Menurut Endraswara (2005:202) seorang sutradara seharusnya memiliki berbagai hal antara lain: 

(a) Daya imajinasi: kemampuan menghidupkan tokoh (manusia imajiner) menjadi berpribadi, berkarakter dan berpandangan hidup; 
(b) Kepekaan: menafsirkan secara wajar terhadap naskah;
(c) Vitalitas: memotivasi pelaku semaksimal mungkin;
(d) Kreativitas: memiliki trik-trik unik, menarik, spontanitas dan 
(e) Sutradara sebaiknya tidak menjadi pelaku agar semakin leluasa menggarap pementasan.

Tata panggung dalam pementasan drama yang digunakan baik di kelas maupun di luar kelas dapat berbentuk melingkar, setengah melingkar,  jembatan dan segi empat. Tata panggung tidak harus mewah dapat juga dengan memanfaatkan sesuatu  yang berada di sekitar subjek didik yang penting mampu mendukung pementasan secara keseluruhan.
Unsur lain yang penting dalam drama adalah kostum. Kostum sering dilupakan oleh subjek didik. Apalagi, drama tersebut merupakan pementasan kecil di kelas padahal  kostum baru menjadi sebuah instrumen penting yang dapat membantu penonton  supaya ada ciri pribadi dari sebuah peran dan  agar jelas hubungan antar pemain. Kostum seharusnya mampu mereter kisahan cerita yang melukiskan waktu dan ruang.
Selain yang disebutkkan di atas masih ada unsur lain dalam mementaskan sebuah drama secara utuh seperti: tata rias, pencahayaan dan musik. Kesemua unsur ini tidak dipakai dalam pementasan kelas namun dapat dipakai dalam pementasan sekolah  di akhir tahun. 

(3) Tahap Ekspresi Dalam Pengajaran Drama

Sebelum berlatih ekspresi drama yang akan dipentaskan di depan kelas, di sekolah atau di gedung pertemuan perlu memahami tentang sutradara, pemain (aktor), penonton, panggung dan cerita (naskah). Beberapa unsur ini akan sangat menentukan keberhasilan ekspresi drama tanpa memahami unsur-unsur pendukung ini  pengajaran drama secara ekspresif akan kesulitan.
Untuk melatih ekspresi  maka diperlukan seorang sutradara agar dapat mereter kemampuan aktor. Sutradara tidak harus seorang pengajar bahkan subjek didik pun ada baiknya dilatih menjadi sutradara.  Ia akan menentukan warna pementasan karena melalui tangannya naskah yang mentah akan diolah.  Dia juga yang akan menjadi  penentu (decission) dalam pementasan.  Setiap pemain harus tunduk kepada sutradara. Jika ada pemain yang merasa super (primadona) sering mengintervensi sutradara sehingga pementasan akan gaduh dengan sendirinya. Baru kemudian melakukan  latihan ekspresi. Latihan-latihan yang perlu dilakukan dalam pengajaran ekspresi drama menurut Endraswara (2005:204) adalah sebagai berikut: 

(a) Latihan fisik (ucapan, pernafasan, vokal);
(b) Latihan psikis (penjiwaan);
(c) Penyesuaian naskah (mempelajari naskah sesuai dengan tugasnya);
(d) Latihan pemanggungan: bloking, gerak, akting dan
(e) Latihan memberi pesan : agar drama tidak sekedar “cerita” pemain perlu memberi bobot lewat dialog, lewat kata-kata (monolog)

Metode Membaca Naskah Drama dalam Pembelajaran

Metode Membaca Naskah Drama dalam Pembelajaran. Seorang pemain terlebih dahulu harus mengetahui langkah-langkah dan cara agar dapat membaca naskah dengan baik karena setiap dialog yang dibaca mempengaruhi persepsi dari naskah yang ada. oleh karena itu, pemain harus benar-benar dapat menyampaikan pesan yang terkandung dari naskah yang akan dipentaskan. Menurut Endaswara (2003: 204-213) menyebutkan bahwa ada beberapa langkah dalam membaca naskah drama yaitu:
Metode Membaca Naskah Drama dalam Pembelajaran
Metode Membaca Naskah Drama dalam Pembelajaran

1. Teknik Pembacaan Sastra
Dalam kegiatan membaca diperlukan pelatihan-pelatihan dasar. Yuwono (2003:14) menggambarkan bahwa pelatihan  drama tersebut mencakupi: ‘Latihan penghayatan dan pemahaman teks puisi, prosa dan drama, latihan mimik dan gerak, latihan pernafasan dan vokal.’ 
Latihan pemahaman dan penghayatan teks drama dapat dimulai dari karya sastra yang mudah dipahami sampai karya sastra yang sukar. Dalam hal ini diperlukan ketajaman imajinasi, kepekaan dan kekritisan. Pelatihan dasar untuk mempertajam imajinasi dapat berupa penghayatan terhadap gemericik air pegunungan, gelombang air laut dan suara burung berkicau. Selain itu, diperlukan juga latihan pernafasan yang dapat dilakukan untuk mengatur keras lembutnya intonasi, tinggi rendah nada dan panjang pendeknya vokal atau konsonan yang dihasilkan. Dalam  hal ini dibedakan antara pernafasan dada dan pernafasan perut. Sedangkan, latihan vokal dilakukan agar pelafalan bunyi bahasa dapat dibaca tidak pecah ( falls). Latihan mimik dan gerak sebaiknya dilakukan secara konsisten setiap hari agar penampilan di depan audiens menjadi lentur, tidak kaku dan monoton. Oleh karena itu, latihan penghayatan, pernafasan, vokal serta mimik atau gerak sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan. 

(Baca Metode Menulis Sebuah Naskah Drama)
(Baca Pembelajaran Menulis Cerpen Dengan Motode 3M)

Ardiana (dalam Endaswara 2003: 206-207) mengemukakan bahwa ada beberapa tahapan dalam pembacaan teks sastra termasuk drama yaitu sebagai berikut:

(1) Menginterpretasi tanpa suara, menghayati, dan mengiterpretasi;
(2) Membaca;
(3) Diskusi, mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan pembacaan; 
(4) Tanya jawab dan
(5) Pengajaran kooperatif. 

Lebih lanjut kegiatan dapat diteruskan ke dalam langkah-langkah praktis sebagai berikut: 
    a. Pembacaan dalam kelompok, 
    b. Perlombaan antar kelompok, 
    c. Pengenalan figur,
    d. Magang pembacaan,
    e. Wisata sastra dan
    f.  Penilaian.

2. Model Pembacaan Sastra
Endaswara, (2003:210-214) menyebutkan ada beberapa model pembacaan sastra sebagai berikut:

(1) Pembacaan individual
Kegiatan pembacaan seperti ini biasanya hanya dilakukan oleh penikmat yang ingin mencari terobosan emosional yaitu membaca sastra sebagai hiburan. Umumnya mereka masih menjadikan karya sastra sebatas pil mujarab atau obat kejiwaan.

(2) Pembacaan kreatif-estetis
Kegiatan ini dilakukan karena pembacaan sastra merupakan bagian dari kreativitas berolah sastra yang di dalamnya sarat dengan nilai seni.  Pembacaan seperti ini mau tidak mau menghendaki hembusan nurani kreativitas tersendiri dengan curahan kreativitas dan estetik serta artistik sehingga sastra akan lebih terpahami secara luas dan mendalam. Sastra akan menjadi kado yang menarik tidak hanya bagi pembacanya melainkan juga bagi audien (penikmat).
Menurut Endaswara, (2003:212) ada beberapa kompetensi yang perlu dimiliki oleh peserta didik dalam kaitannya dengan pembacaan kreatif estetis sebagai berikut: ”Kemampuan menjiwai teks sejalan dengan isinya, kemampuan bermain dengan tokoh lain sehingga mewujudkan pertunjukan menarik dan kemampuan menyelaraskan ingatan dengan pembacaan”.
Oleh karena pembacaan bersifat kolektif pengajar dapat memberikan penilaian secara menyeluruh. Pengajar harus mengikuti pembacaan dari awal sampai akhir sehingga penilaian tidak berdasarkan pada kedudukan peran utama dan tambahan yang terpenting peserta didik dapat memainkan peran masing-masing secara signifikan.

(3) Pembacaan sastra kolaboratif
Adapun Model kolaboratif ini biasanya dilakukan untuk pembacaan yang bersifat (bentuk) hiburan kendati tidak menghindari kemungkinan sebagai salah satu model sajian pembelajaran. Membaca sastra memang upaya untuk memahami teks agar lebih menarik dan komunikatif namun membaca sastra dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)sastra cenderung sebagai seni tampil (performance) dibanding memahami isi teks sebab melalui pembacaan yang estetis kemungkinan besar pemahaman teks menjadi semakin mudah dan tidak ada beban bagi pembaca.

Wednesday, March 08, 2017

Metode yang Tepat Dalam Menulis Sebuah Naskah Drama

Metode yang Tepat dalam Menulis Sebuah Naskah DramaSeorang penulis harus mengetahui tehnik-tehnik untuk menulis sebuah naskah drama sebelumnya agar naskah yang ditulis menjadi bagus untuk dipentaskan. Menulis naskah drama tidak jauh berbeda dengan menulis cerpen maupun novel tetapi lebih baik kita mengetahui terlebih dahulu pengertian naskah drama itu sendiri. Luxemburg (dalam Depdiknas, 2004:170) mendefinisikan ‘Teks drama adalah sebagai semua teks yang berbentuk dialog-dialog. Disamping itu, Ia juga menuturkan bahwa terdapat tiga pokok yang perlu ditinjau dalam sebuah drama yaitu: situasi penyajian, alur dan bahasa’. 
Metode yang Tepat Dalam Menulis Sebuah Naskah Drama
Metode Menulis Naskah Drama

Selanjutnya, penulis harus mengetahui teknik-teknik penulisan drama yaitu sebagai berikut: 

(1) Menciptakan setting (latar), (2) melakukan eksplorasi (pengamatan
dan pencatatan), (3) menulis latar, (4) menciptakan tokoh, (5) mendeskripsikan tokoh, (6) meletakkan tokoh dalam latar, (7) menciptakan tokoh berbicara, (8) penempatan semua elemen bersama-sama menjadi skenario dasar, (9) membuat skenario dasar (kasar): menyusun adegan, (10) menulis rangkaian adegan ke dalam draft dan (11) penulisan draf kedua: menulis kembali draft pertama. (Depdiknas, 2004:144) 
Oleh Waluyo (dalam Depdiknas, 2004:167-170) menyebutkan untuk menulis naskah secara lengkap dan rinci siswa harus memahami terlebih dahulu struktur drama yaitu:

(1) Plot atau kerangka cerita
Sebagaimana kita pahami, Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka/konsep dari awal hingga akhir sebuah cerita yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan (Antagonis). Konflik itu berkembang karena kontradiksi antara sifat dua tokoh yang berlawanan. Sifat dua tokoh utama yang bertentangan misalnya, kebaikan kontra kejahatan, tokoh sopan kontra tokoh yang brutal, tokoh pembela kebenaran kontra bandit, tokoh kesatria kontra penjahat dan sebagainya. Konflik itu semakin lama semakin meningkat kemudian mencapai titik klimaks. Setelah klimaks peristiwa tersebut akan menuju penyelesaian.

(2) Penokohan atau perwatakan
Penokohan erat hubungannya dengan perwatakan. Susunan tokoh adalah daftar tokoh-tokoh yang berperan dalam sebuah drama. Dalam susunan tokoh yang terlebih dahulu dijelaskan adalah nama, umur, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan dan keadaan kejiwaannya. Penulis cerita harus menggambarkan perwatakan tokoh-tokohnya sehingga watak tokoh itu akan menjadi nyata terbaca dalam dialog dan catatan samping. Jenis dan warna dialog akan menggambarkan watak tokoh.  
Watak para tokoh tersebut harus konsisten dari awal sampai akhir.  Watak tokoh protagonis dan tokoh antagonis harus memungkinkan keduanya menjalin pertikaian sehingga pertikaian itu memungkinkan untuk berkembang menjadi klimaks. Kedua tokoh ini haruslah tokoh-tokoh yang memiliki watak  yang kuat (berkarakter) sehingga watak yang kuat itu kontradiktif antara keduanya. Dapat juga keduanya memiliki kepentingan yang sama saling berebut sesuatu atau saling bersaing.
Sifat watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak dimensional). Adapun Penggambaran tersebut berdasarkan keadaan psikis,  sisoal dan fisik. Keadaan fisik biasanya dilukiskan pada awal baru kemudian dilaanjutkan keadaan sosial.  Pelukisan watak pemain dapat langsung pada dialog yang mewujudkan watak dan perkembangan lakon tetapi banyak juga kita jumpai dalam catatan samping (catatan teknis).

(3) Dialog atau kosakata
Ciri khas suatu drama adalah naskah yang berbentuk percakapan atau dialog. Dalam menyusun dialog penulis harus benar-benar memperhatikan pembicaraan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehari-hari mereka. adapun Pembicaraan yang ditulis oleh sipenulis naskah drama tersebut adalah pembicaraan yang akan diucapkan dan harus pantas untuk diucapkan di atas panggung wajtu pementasan. Bayangan pentas di atas panggung merupakan tiruan (mimetik) dari kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, dialog yang ditulis harus mencerminkan pembicaraan sehari-hari.

(4) Latar atau landasan tempat kejadian.
Penulisan sebuah cerita tidak dapat ditulis jika di dalam imajinasi saja/tidak ada gambaran latar dari cerita tersebut. Baik itu yang bersifat geografis, budaya atau yang sangat abstrak sekalipun. Penentuan latar harus secara cermat sebab naskah drama harus  memberikan kemungkinan untuk dipentaskan. Novakovich (dalam Depdiknas, 2004:118) menyebutkan bahwa: ‘Latar adalah sarana utama karena dari latarlah kemudian muncul tokoh dan dari tokoh kemudian munculah konflik sehingga tercipta alur cerita’.
Harus dipahami, bahwa latar seniah cerita biasanya meliputi tiga dimensi yaitu waktu, runag dan tempat. Latar tempat tidak akan dapat berdiri dengan sendirinya berhubungan dengan waktu dan ruang.  Misalnya tempat di Aceh, tahun berapa, di luar rumah atau di dalam rumah. Untuk cerita konflik antara RI dan GAM misalnya, tempatnya jelas di Aceh, pada tahun 1998-2005, tempatnya di desa, baik di dalam rumah maupun di medan gerilya. Dengan rumusan tersebut kita dapat membayangkan tempat kejadian secara nyata. Hal ini dapat diperkuat dengan kostum, tata pentas, make up dan perlengkapan lainnya jika drama ini dipentaskan.

(5) Tema atau nada dasar kejadian
Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema bersifat lugas, objektif dan khusus. Ada drama yang diantaranya bertema ketuhanan, peri kemanusiaan, cinta, patriotisme, kritik sosial, renungan hidup dan sebagainya.

(6) Amanat atau pesan pengarang
Kita paham jika Amanat yang hendak disampaikan oleh pengarang melalui dramanya harus dicari oleh pembaca atau penonton itu sendiri. Seorang pengarang drama baik secara sadar atau tidak sadar pasti menyampaikan amanat dalam karya mereka.  Pembaca yang cukup teliti akan dapat menangkap apa yang tersirat di balik yang tersurat. Amanat bersifat kias, subjektif dan umum. Untuk itu, Setiap pembaca dapat dengan berbeda-beda menafsirkan makna dari karya itu bagi dirinya, dan semuanya cenderung dibenarkan kerana tidak ada batasan salam menafsirkannya. Amanat yang hendak disampaikan oleh pengarang perlu diberikan beberapa alternatif dan di dalam menafsirkan amanat penikmat dapat bersifat akomodatif.

(7) Juknis (Petunjuk teknis)
Sebaiknya, dalam naskah drama diperlukan juga petunjuk-petunjuk teknis yang sering disebut dengan teks sampingan. Senagaimanan kita amiti dalam sebuah sandiwara radio, sandiwara televisi atau skenario film, keberadaan teks samping ini sangatlah penting dalam sebuah pementasan drama. Itu karena teks samping ini memberikan petunjuk teknis tentang suasana pentas, tokoh, waktu, musik, suara, keluar masuknya aktor atau aktris, warna suara dan perasaan, keras lemahnya dialog yang mendasari sebuah dialog dalam drama tersebut. Teks samping ini biasanya ditulis dengan tulisan berbeda dari dialog, misalnya dengan huruf miring atau huruf besar semua.

(8) Drama sebagai interpretasi kehidupan
Ulasan tentang drama sebagai interpretasi kehidupan sangat erat hubungannya dengan pandangan dasar dri si penulis drama itu sendri. Kita tahu bahwa nada dasar drama bukan nada dasar penafsir atau sutradaranya sendri. Jadi drama sebagai hasil dari tiruan kehidupan berusaha untuk memotret kehidupan secara nyata (real). Untuk itu, maka Setiap pengarang tidak sama dalam mengamati, melihat dan menginterpretasikan sisi kehidupan yang ada. Ada pengarang yang memfokuskan pada segi keadilan, segi cinta kasih, segi kebobrokan sosial, segi moral, segi didaktis, segi kepincangan dalam masyarakat, segi suka atau duka dan sebagainya. Tontonan atau naskah yang dihasilkan akan ditentukan oleh bagaimana sikap penulis dalam menginterpretasikan kehidupan ini.

Fungsi, Peranan dan aspek Bahasa Dalam Pendidikan Sekolah

Fungsi, Peranan dan aspek Bahasa Dalam Pendidikan Sekolah. Kita telah memahami bersama jika bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan emosional intelektual, dan sosial, para peserta didik dan juga merupakan sebagai sarana penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua pelajaran di sekolah. Untuk itu, pembelajaran bahasa diharapkan dapat membantu peserta didik untuk lebih mengenal budayanya ,dirinya, , dan budaya orang, untuk mengemukakan gagasan dan perasaan, ikut berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam diri peserta didik (potensi mereka).
Fungsi, Peranan dan aspek Bahasa Dalam Pendidikan Sekolah
Fungsi, Peranan dan aspek Bahasa Dalam Pendidikan Sekolah

Tujuan Pembelajaran bahasa Indonesia yaitu untuk mengarahkan peserta didik dalam meningkatkan kemampuan mereka untuk dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar (lisan maupun tulis), disamping untuk menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesusastraan di Indonesia.
Sebenarnya, kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan kemampuan berpikir peserta didik. Karena bahasa seseorang dapat mencerminkan pikirannya. Sebab semakin terampil seeseorang dalam berbahasa, maka semakin cerah dan jelas pula jalan pikirannya dalam berpikir. Untuk itu, Keterampilan berbahasa ini hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktik dan dengan melakukan banyak latihan baik sendiri ataupun berkelompok. Melatih keterampilan menulis berarti juga melatih keterampilan berpikir.
Bahasa merupakan alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pikiran, gagasan, dan perasaan dapat disampaikan melalui bahasa lisan dan bahasa tulis. Penyampaian perasaan, pikiran, dan gagasan memerlukan seperangkat pengetahuan, sehingga apa yang disampaikan dapat dipahami oleh pembaca atau pendengar dengan baik. Pengetahuan itu juga membantu komunikator untuk menata bahasa secara logis dan sistematis.
Penataan perasaan, pikiran, dan gagasan secara logis dan sistematis secara kongkret dapat dimanifestasikan dalam bentuk bahasa tulis. Penyampaian bahasa secara tertulis selain melalui kalimat, juga dapat ditata dalam bentuk paragraf-paragraf. Mustakim (1994:113) menyatakan, ‘Secara kongkrit, isi paragraf hanya terdapat pada ragam bahasa tulis, karena jalinan kalimat yang membentuk sebuah paragraf hanya dapat diidentifikasi dalam bentuk tertulis.’
Disamping itu, menulis juga merupakan salah satu aspek bahasa yang bersifat produktif bafi perseta didik. Karena melalui melalui menulis, seseorang akan lebih kreatif. Seorang penulis selain harus mampu mengekspresikan ide, gagasan, dan pikirannya juga harus mengetahui bagaimana cara menghubungkan berbagai fakta, membandingkan, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, seorang penulis harus mampu mengekspresikan ide, pengalaman, dan perasaannya dalam bentuk tulisan, sehingga apa yang diketahui, dialami, dan dirasakan dapat disampaikan dengan baik. Modal menulis selain pengetahuan tentang teori, membutuhkan pemikiran yang maksimal. Kesungguhan berpikir seorang penulis akan tercermin dalam tulisannya. Hal ini juga dikemukakan oleh Akhadiah (1994:143) sebagai berikut.

Kita tahu bahwa Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan kemampuan berpikir seseorang. Bahasa seseorang mencerminkan pikiran dan pengetahuannya. Jika Semakin terampil seseorang dalam berpikir, maka semakin cerah dan jelas pula jalan pikirannya. Kemampuan ini dapat diperoleh dengan latihan intensif dan bimbingan yang sistematis.

Pengetahuan dan kemampuan berpikir yang dimiliki oleh seseorang juga belum menjamin untuk mampu menulis secara baik dan sistematis. Banyak orang yang mempunyai gagasan yang cemerlang, tetapi merasa susah menyampaikannya kepada orang lain. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam mengurutkan ide-ide atau gagasan-gagasan secara logis dan sistematis dalam satu kesatuan bahasa.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) jenjang SMP/MTs, pembelajaran bahasa Indonesia ditekankan pada aspek keterampilan. Penekanan ini dimaksudkan agar siswa mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Siswa diharapkan terampil berbahasa, baik reseptif maupun produktif. Keterampilan reseptif mencakup keterampilan menyimak dan membaca. Keterampilan produktif mencakup keterampilan menulis dengan berbicara.

Agar siswa terampil berbahasa secara reseptif dan produktif, dalam pembelajaran guru hendaknya dapat memberikan kesempatan lebih banyak kepada siswa berlatih menggunakan bahasa. Artinya pembelajaran tidak semata-mata diarahkan pada pembekalan pengetahuan tentang bahasa. Pengetahuan tentang bahasa tidak akan banyak manfaatnya jika tidak digunakan dalam kenyataan berbahasa baik kegiatan berbahasa yang bersifat reseptif maupun kegiatan berbahasa yang bersifat produktif.

Dalam pembelajaran menulis paragraf narasi, siswa diarahkan untuk dapat menceritakan suatu objek secara tepat. Tulisan yang dijalin dalam paragraf narasi dapat mengarahkan pembaca seakan-akan mengetahui objek yang digambarkan itu secara nyata. Jika pemahaman pembaca sudah sampai pada taraf yang demikian, ini berarti tulisan yang dijalin dalam paragraf narasi sudah mencapai tujuannya. Dengan kata lain sudah terjalin komunikasi yang baik antara penulis dan pembaca.

Pembelajaran menulis narasi sederhana sudah dimulai sejak Sekolah Dasar. Pembelajaran ini dipertajam lagi di SMP. Tentang menulis deskripsi di SD terlihat pada Kompetensi Dasar tentang penulisan sebuah paragraf dengan menceritakan sebuah benda berdasarkan gambar. Kompetensi Dasar di SMP tentang menulis sebuah paragraf narasi dengan gagasan utama terdapat di awal paragraf. Atas dasar inilah penelitian ini dilakukan. Dengan demikian, hasil penelitian ini akan dapat memberikan gambaran tentang proses dan hasil pembelajaran menulis paragraf narasi, khususnya pada jenjang SMP/MTs.

Terkait dengan keterangan menulis sebagai keterangan berbahasa yang bersifat produktif, dalam silabus pelajaran bahasa Indonesia jenjang SMP/MTs, terdapat sejumlah Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pembelajaran menulis, yaitu:

1. Menulis gagasan dengan menggunakan pola urutan waktu dan tempat dalam bentuk paragraf naratif.
2. Dapat Menulis hasil observasi dalam bentuk paragraf deskriptif
3. Dapat Menulis gagasan secara logis dan sistematis dalam bentuk ragam paragraf ekspositif
4. Menulis gagasan untuk mendukung suatu pendapat dalam bentuk paragraf argumentatif
5. Dapat Menulis gagasan untuk meyakinkan atau mengajak pembaca bersikap atau melakukan sesuatu dalam bentuk paragraf persuasi
6. Menulis hasil wawancara ke dalam beberapa paragraf dengan menggunakan ejaan yang tepat
7. Menemukan perbedaan paragraf induktif dan deduktif melalui kegiatan membaca intensif
8. Menentukan kalimat kesimpulan (ide pokok) dari berbagai pola paragraf induksi, deduksi dengan membaca intensif
9. Menulis karangan berdasarkan topik tertentu dengan pola pengembangan deduktif dan induktif

Mengingat salah satu tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku dewasa ini, yaitu pembelajaran lebih mengarah pada hal-hal yang dekat dengan lingkungan anak, penulis mengarahkan penelitian ini pada pemahaman siswa terhadap budaya lokal.

Tuesday, March 07, 2017

Penerapan Model Pembelajaran Sanggar Sastra dalam Mengapresiasi Puisi

Contoh PTK (Penerapan Model Pembelajaran Sanggar Sastra dalam Mengapresiasi Puisi pada Siswa  kelas IX SMP Negeri 2 Pasie Raja)

Latar Belakang Masalah
Ruang lingkup pengajaran bahasa Indonesia pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sesuai dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) meliputi aspek penguasaan kebahasaan, kemampuan memahami, kemampuan mengapresiasi, dan kemampuan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bila ditinjau dari aspek pembelajaran tersebut, pengajaran bahasa Indonesia di SMP mencakup masalah kebahasaan dan sastra.
Penerapan Model Pembelajaran Sanggar Sastra dalam Mengapresiasi Puisi pada Siswa  kelas IX SMP Negeri 2 Pasie Raja
Contoh Penelitian Tindakan Kelas

Tujuan pengajaran bahasa Indonesia di SMP bukan hanya membekali para siswa dengan berbagai keterampilan berbahasa semata, melainkan juga dengan berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman sastra. Dalam hal pengajaran sastra, siswa diharapkan mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian dan memperluas wawasan kehidupan.
Pendidikan dan pengajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan haruslah menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dalam bidang tertentu sesuai dengan jenjang pendidikannya. Pengajaran bahasa Indonesia haruslah memperhatikan hakikat bahasa dan sastra sebagai sebuah sarana komunikasi dan pendekatan pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pada satu sisi bahasa Indonesia merupakan sarana komunikasi dan sastra merupakan salah satu hasil budaya yang menggunakan bahasa sebagai sarana utama dalam berkreativitas. Kita tahu bahasa dan sastra Indonesia seharusnya diajarkan kepada siswa dengan menggunakan pendekatan tertentu yang sesuai dengan hakikat dan fungsi yang tepat.

Dasar pijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam bidang sastra cukup tegas. Bidang sastra adalah bagian dari pendidikan humaniora yang berpedoman pada tujuan KTSP. Setiap langkah yang menyangkut metode pengajaran sastra akan diarahkan pada keberhasilan pengajaran KTSP sastra. Oleh sebab itu, pengajaran sastra pun dituntut sesuai dengan tujuan KTSP. Oleh karena sastra adalah seni yang banyak memainkan  aspek subyektif, tentu pemahaman setiap individu menjadi syarat penting dalam pengembangan KTSP sastra.

Sastra merupakan suatu bentuk sistem tanda karya seni yang menggunakan media bahasa. Sastra tersebut hadir untuk dibaca dan dinikmati serta selanjutnya dimanfaatkan, antara lain untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Ini berarti bahwa pembelajaran sastra seharusnya ditekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan salah satu bentuk karya seni yang dapat diapresiasikan/dipentaskan kepada klayak ramai.

Pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari empat aspek yaitu; mendengar (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis. Materi pembelajaran sastra dalam keempat aspek tersebut meliputi memahami dan mengapresiasikan ragam sastra, mendiskusikan ragam karya sastra, membaca, dan mengapresiasikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, dan drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif serta dapat menulis kritik dan esai berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca. 

Salah satu ragam karya sastra adalah puisi. Puisi adalah ragam sastra yang unik dan mengandung nilai estetika yang tinggi. Melalui puisi, penyair dapat menuangkan semua perasaan dan keinginaannya melalui kata-kata puitis sehingga pembaca memperoleh gambaran tentang kehidupan penyairnya.

Pengajaran puisi pada siswa SMP terdiri atas lima kompetensi dasar yaitu, mendengarkan puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman kemudian mengungkapkan unsur-unsur puisi, membacakan puisi, menulis puisi, membacakan dan menanggapi puisi, dan membacakan puisi karya sendiri. Kelima kompetensi dasar tersebut diajarkan dari kelas VII sampai kelas IX pada semester I dan sebagian lagi pada semester II.

Pembelajaran puisi tidak hanya terbatas pada teori tentang puisi, sekurang-kurangnya membutuhkan penghayatan dan kecintaan terhadap puisi. Selain itu dalam mempelajari dan mengapresiasi puisi dibutuhkan bakat dan pemahaman akan puisi. Oleh sebab itulah, pengajar harus menanamkan kecintaan dan pemahaman apresiasi puisi kepada siswa melalui berbagai metode dan model pembelajaran yang sesuai dengan KTSP.
Selama ini pengajaran puisi di sekolah masih belum maksimal. Kekurangan pengajaran tersebut sebagian besar menyangkut masalah strategi pembelajaran. Padahal pembelajaran sastra mutakhir dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai model pembelajaran. Endraswara (2003:85-195) mengatakan ada lima model yang mungkin digunakan dalam pembelajaran dan pengajaran sastra yang berbasis KTSP, yaitu: model sanggar sastra, model worksop sastra dan bengkel sastra, model laboratorium sastra, model pragmatik sastra, dan model Literature Based Thematic.
Pengajaran sastra yang diharapkan adalah terciptanya pengalaman sastra. Pengalaman bersastra lebih berharga dibanding pengetahuan bersastra. Untuk itu, pengajaran KTSP sastra berusaha menanamkan pengalaman nyata dan bukan sekedar memberi pengetahuan sastra semata. Sistem dan strategi pengajaran yang efektif dan efisien selalu diupayakan dan dilakukan oleh guru dengan beberapa model pengajaran yang sesuai dengan KTSP sastra. Model-model sebagaimana yang disebut oleh Endraswara di atas, lebih lanjut akan diuraikan dalam bab II skipsi ini.

Sehubungan dengan model-model tersebut, peneliti telah memilih dan menerapkan salah satu model pembelajaran dan pengajaran sastra yang dikemukakan oleh Endraswara. Model yang dimaksud adalah model sanggar sastra. Model sanggar sastra merupakan pilihan (model) pengajaran KTSP sastra yang cocok menjadi jalur alternatif pengajaran sastra di sekolah agar siswa mendapat pengalaman bersastra secara mendalam. Melalui sanggar sastra, siswa juga akan diajak mengelola organisasi bernama sanggar sastra.

Sanggar sastra merupakan sebuah wadah aktivitas sastra. Aktivitas  sastra yang dilakukan sangat beragam, seperti menciptakan karya sastra, menampilkan karya sastra, mengapresiasi karya sastra, dan lain-lain. Aktivitas sanggar sastra di sekolah lebih sebagai pendukung kegiatan ekstrakurikuler yang “manasuka” sifatnya. Produk atau karya sanggar sastra di sekolah dapat berupa buletin tidak rutin, majalah musiman, atau pun majalah dinding sederhana, dan pentas berskala kecil, tetapi tetap berisi sastra.
Penggunaan model sanggar sastra ini, disamping meningkatkan bakat dan kemampuan siswa dalam mengapresiasi puisi juga bertujuan sebagai uji-coba ketepatgunaan model sanggar sastra dalam pembelajaran puisi. Oleh karena itulah, penulis menerapkan model sanggar sastra ini di SMP Negeri 2 Pasie Raja. Pemilihan SMP Negeri 2 Pasie Rajasebagai tempat penelitian karena di SMP tersebut belum menerapkan model sanggar sastra dalam pengajaran KTSP sastra, selain itu penulis juga merupakan salah seorang guru pengajar bidang studi bahasa Indonesia di SMP tersebut. Adapun judul lengkap penelitian ini adalah “Penerapan Model Pembelajaran Sanggar Sastra dalam Mengapresiasi Puisi pada Siswa  kelas IX SMP Negeri 2 Pasie Raja”. 

1. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah, apakah dengan menerapkan model pembelajaran sanggar sastra dalam mengapresiasi puisi pada siswa kelas IX SMP Negeri 2 Pasie Raja, hasil pembelajarannya akan lebih meningkat.
Secara lebih rinci masalah tersebut adalah sebagai berikut.   

a. Bagaimana proses dan hasil pembelajaran apresiasi puisi pada siswa kelas IX SMP Negeri 2 Pasie Rajadengan model sanggar sastra?
b. Bagaimana proses dan hasil pembelajaran apresiasi puisi pada siswa kelas IX SMP Negeri 2 Pasie Rajayang tidak menggunakan model sanggar sastra?
c. Apakah terdapat perbedaan antara hasil belajar siswa yang menerapkan model sanggar sastra dengan hasil belajar siswa yang tidak menerapkan model sanggar sastra dalam mengapresiasi puisi pada siswa kelas IX SMP Negeri 2 Pasie Raja?

2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.

a. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses dan hasil pembelajaran apresiasi puisi pada siswa kelas IX SMP Negeri 2 Pasie Raja dengan model sanggar sastra.
b. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses dan hasil pembelajaran apresiasi puisi pada siswa kelas IX SMP Negeri 2 Pasie Raja yang tidak menggunakan model sanggar sastra.
c. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan antara proses dan hasil belajar siswa yang menerapkan model sanggar sastra dengan hasil belajar siswa yang tidak menerapkan model sanggar sastra dalam mengapresiasi puisi pada siswa kelas XI SMP Negeri 2 Pasie Raja

3. Manfaat penelitian
Berpedoman pada latar belakang dan tujuan yang ingin dicapai, maka manfaat dari penelitian adalah sebagai berikut.

1) Karya ilmiah ini dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan penulis tentang penerapan model sanggar sastra dalam pembelajaran sastra khususnya puisi.
2) Laporan penelitian ini merupakan bahan masukan bagi sekolah dan guru mata pelajaran bahasa Indonesia dalam mengaplikasikan model sanggar sastra dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa dan pelaksanaan pembelajaran sastra yang lebih baik.
Siswa lebih termotivasi meningkatkan prestasi belajar khususnya di bidang puisi dengan menggunakan model sanggar sastra.