Pondok Belajar

Tuesday, March 14, 2017

Pengertian Amanat dan Peristiwa Cerita (Alur atau Plot) dalam Sebuah Cerita

Pengertian Amanat
Amanat merupakan maksud atau tujuan yang hendak disampaikan pengarang melalui karyanya, biasanya secara tersirat atau tersurat. Suroto (1990:89) mengatakan sebagai berikut:

Amanat dan Peristiwa Cerita (Alur atau Plot) dalam Sebuah Cerita
Amanat dan Peristiwa Cerita dalam Sebuah Cerita

“Biasanya untuk menyampaikan sebuah tema, penulis/pengarang tidak akan berhenti pada pokok persoalannya saja, akan tetapi disertakan pula cara pemecahannya atau solusi/jalan keluar untuk menghadapi persoalan yang ada. Hal ini sangat bergantung pada pandangan dan pemikiran pengarang. Pemecahan persoalan biasanya berisi pandangan pengarang tentang bagaimana sikap kita kalau kita menghadapi sebuahpersoalan tersebut. Maka hal yang demikian itulah yang dapat disebutkansebhagai  amanat atau pesan dalam sebuah cerita”
Kita tahu bahawa, Amanat pada umumnya terungkap melalui percakapan atau dialog tokoh dengan barisan pendampingnya, seperti tokoh lingkungan alam, bawahan, dan monolog berupa konfrontasi dengan jiwanya sendiri. Tokoh yang digambarkan berwatak humanis akan menyampaikan pesan-pesan perdamaian dan saling kasih mengasihi sesama manusia. Tokoh koruptor biasanya digambarkan akan kalah, karena tidak bisa melawan kenyataan hidup yang dilandasi hukum dan adat kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. 

Melalui karya sastra, seorang pengarang menumpahkan isi hatinya dengan maksud tertentu. Pengarang menyisipkan berbagai amanat dengan tujuan menyadarkan manusia dari kelupaan, mengingat kembali aturan yang berlaku, mengajak manusia untuk berpikir dan berzikir. Yang terpenting, pengarang menginginkan pembaca dapat menghayati amanat dalam karya sastra tersebut serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan pengarang mengemukakan masalah kehidupan dan sikap-sikap serta ajaran yang patut diteladani oleh pembaca supaya pembaca dapat mengikuti dan membedakan nilai ajaran yang patut diikuti dan nilai ajaran yang seharusnya dibuang. Dengan demikian, suatu karya sastra dapat dikategorikan bermanfaat atau bahkan sangat bermanfaat bagi dirinya sebagai pembaca. Di sinilah terbukti bahwa karya sastra itu memberikan kesadaran kepada pembacanya tentang kebenaran-kebenaran hidup ini. Karena dari karya sastra itu, dapat diperoleh pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang manusia, dunia, dan kehidupan. Pembaca juga mendapat penghayalan yang mendalam terhadap apa yang selama ini telah diketahuinya.

Pengertian Peristiwa Cerita (Alur atau Plot)
Pengertian alur dalam cerpen atau dalam karya fiksi pada umumnya adalah jalan cerita yang dibentuk oleh urutan/tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh pelaku cerita dalam suatu cerita tersebut. Nurgiyantoro (2005:111) menyebutkan bahwa secara tradisional/masa dulu, orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita, sedangkan dalam teori-teori yang berkembang kemudian dikenal adanya istilah struktur susunan, naratif, susunan, dan juga sujet. Jenis penyamaannya begitu saja antara jalan cerita  dengan plot, bahkan ada juga yang  mendefinisikan plot sebagai jalan cerita, itu sebenarnya kurang cocok/tepat. Benar Plot memang mengandung unsur-unsur jalan sebuah cerita atau tepatnya urutan peristiwa demi peristiwa yang susul-menyusul, namun lebih dari sekedar jalan cerita atau rangkaian peristiwa dalam cerita tersebut.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Nurgiyantoro, Sumardjo (2004:15) mendeskripsikan bahwa plot dengan jalan cerita memang tak dapat dipisahkan, tetapi harus dibedakan. Jalan cerita memuat peristiwa. Tetapi sesuatu peristiwa ada karena ada sebabnya, ada alasannya. Yang menggerakan peristiwa cerita tersebut adalah plot. Suatu peristiwa baru dapat disebut cerita kalau di dalamnya ada perkembangan kejadian. Suatu peristiwa berkembang kalau ada yang menyebabkan terjadinya perkembangan, dalam hal ini konflik.

Intisari dari plot memang konflik. Tetapi suatu konflik dalam cerpen tak bisa dipaparkan begitu saja. Harus ada dasarnya. Maka itu, plot dikupas menjadi elemen-elemen berikut: (1) pengenalan, (2) timbulnya konflik, (3) konflik memuncak, (4) klimaks, dan (5) pemecahan soal.
Unsur-unsur tersebut merupakan unsur plot yang berpusat pada konflik. Dengan adanya plot tersebut seperti di atas, pembaca dibawa dalam suatu keadaan yang menegangkan, timbul suatu suspanse dalam cerita. Suspanse inilah yang menarik pembaca untuk terus mengikuti cerita.
Menurut Sumardjo (2004:16), konflik digambarkan sebagai pertarungan antara protagonis dengan antagonis. Protagonis adalah pelaku utama cerita, sedangkan antagonis adalah faktor pelawannya atau tokoh lawan protagonis. Antagonis tak perlu berupa manusia atau makhluk hidup lain, tetapi bisa situasi tertentu, alam, Tuhan, kaidah norma, kaidah sosial, dirinya sendiri, dan sebagainya. Dengan demikian, kunci untuk plot suatu cerita adalah menanyakan apa konfliknya. Konflik cerita baru bisa ditemukan setelah pembaca mengikuti jalan ceritanya, yaitu aksi fisik yang dipakai pengarang menyatakan plotnya. 
Dalam cerita fiksi atau cerpen, urutan tahapan peristiwa dapat beraneka ragam. Montage dan Henshaw (dalam Aminuddin, 2000:84), misalnya, menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita dapat tersusun dalam tahapan exposition, yakni tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinyasuatu  peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita tersebut; tahap inciting force, yakni tahap ketika timbul kehendak, kekuatan, maupun perilaku yang bertentangan dari pelaku; rising action, yakni situasi panas karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai berkonflik; crisis, situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh pengarangnya; climax, merupakan sebuah situasi klimax/puncak ketika konflik berada dalam kadar yang ter tinggi hingga para pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya sendiri-sendiri; falling action, merupakan kadar konflik sudah menurun sehingga msalah/ketegangan dalam cerita tersebut sudah mulai mereda sampai menuju conclusion atau penyelesaian akhir cerita tersebut.
Selanjutnya, Nurgiyantoro (2005:142) menyatakan bahwa plot prosa fiksi, secara umum terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:

(1) Tahap Awal
Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap ini biasanya berisi informasi awal tentang tokoh dan latar cerita. Dalam hal ini pengarang menunjukkan dan memperkenalkan, seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadian, dan pengenalan tokoh cerita. Selain itu, pada tahap ini konflik sedikit demi sedikit mulai dimunculkan.

(2) Tahap Tengah
Tahap tengah disebut juga dengan tahap pertikaian. Dalam tahap ini pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Pada tahap inilah inti cerita disajikan, tokoh-tokoh memainkan perannya masing-masing, fungsional /peristiwa-peristiwa penting dikisahkan, konflik berkembang semakin parah/meruncing, menegangkan/deg-degan, dan mencapai puncak/klimaks dan pada umumnya tema pokok, makna pokok cerita diungkapkan pula. Pada bagian inilah pembaca memperoleh ”cerita”, memperoleh sesuatu dari kegiatan pembacaannya tersebut.

(3) Tahap Akhir
Tahap akhir cerita disebut juga dengan tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Tahap ini berisi bagaimana kesudahan cerita atau menyaran bagaimanakah akhir sebuah cerita: kebahagiaan (happy ending) atau kesedihan (sad ending). 

Saturday, March 11, 2017

Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema dalam Penulisan

Tema adalah ide sebuah cerita. Bila seorang pengarang mengemukakan hasil karyanya, sudah tentu ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Sesuatu yang menjadi pokok persoalan atau sesuatu yang menjadi pemikirannya itulah yang disebut dengan tema. Tema tidak disampaikan begitu saja akan tetapi disampaikan melalui sebuah jalinan cerita. Kita hanya akan menemukan tema sebuah cerita setelah kita membaca dan menafsirkannya. Tema berbeda dengan pokok cerita. Boleh dikatakan tema adalah pokok pikiran atau pokok persoalan yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui jalinan cerita yang dibuatnya.
Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema Penulisan
Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema Penulisan 
Cerita atau jalinan cerita yang disusun oleh pengarang tentu mempunyai pokok cerita. Tidak mungkin ada cerita tanpa pokok cerita. Kalau sampai terjadi yang demikian itu, jalan cerita tersebut tidak terarah dan tidak tersusun rapi atau bahkan mungkin ceritanya membingungkan karena tidak jelas apa yang diceritakan. Pokok cerita adalah sesuatu yang diceritakan oleh pengarang. Ini berbeda dengan tema. Tema terletak di balik pokok cerita tersebut. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa tema adalah pokok pikiran atau pokok persoalan di balik pokok cerita.

Menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro, 2005:68) menyebutkan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menompang sebuah karya sastra dan mengandung di dalam teks sebagai struktur yang semantis dan yang menyangkut kesamaan-kesamaan atau perbedaan-perbedaan yang ada. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal lebih bersifat ”mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik, situasi tertentu, termasuk beberapa unsur intrinsik lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu.

Dengan demikian menentukan tema sebuah karya fiksi (cerpen) haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walaupun sulit ditentukan secara pasti, ia bukanlah makna yang ”disembunyikan”, walaupun belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Kita tahu bahwa tema merupakan sebuah makna pokok dari sebuah fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan yang disebabkan kearena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca dari sebuah cerita. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan ”tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya. Karena itu, seperti dikemukakan Nurgiyantoro (2005:70) tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan umum cerita yang dipergunakan untuk mengembangkan sebuah cerita yang dibuat. Dalam kata lain, cerita tentunya akan ‘setia’ mengikuti gagasan dasar yang bersifat umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga kejadian peristiwa konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain diusahakan mencerminkan metode diskusi yang ril. Sering sekali untuk mengatasi hal ini, guru terpaksa menempuh langkah yang keliru. Nurgiyantoro (2005:84) menyebutkan bahwa cara yang ditempuh guru selama ini yaitu menentukan sendiri atau mendikte tema dari karya sastra yang dibicarakan. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan timbullah ekses yang tidak baik seperti tumbuhnya sikap apatis, kurang kreatif, tidak dapat berfikir dan menganalisis secara kritis, dan lain-lain.
Sebenarnya, untuk memudahkan menganalisis dan menentukan tema karya sastra, khususnya cerpen, menurut Nurgiyantoro (2005:85) dapat dengan memahami cerita itu, mencari kejelasan ide perwatakan, peristiwa-peristiwa konflik, dan latar. Jika hal tersebut sudah terpahami, maka langkah selanjutnya ditempuh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti (1) Apa motivasinya, permasalahan yang dihadapi? (2) Bagaimana perwatakan pelakunya? (3) Bagaimanakah sikap dan pandangannya terhadap permasalahan itu? (4) Apa (dan bagaimana cara) yang dipikir, dirasakan, dan dilakukan? (5) Bagaimanakah keputusan yang diambil?
Semua pertanyaan tersebut diajukan untuk memudahkan menarik atau menentukan tema dari sebuah cerita. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan sebelum membaca sebuah cerita (cerpen).

Tema dalam karya sastra banyak sekali ragamnya, misalnya tema perjuangan, kemasyarakatan, kemanusiaan, ketuhanan, kejiwaan, kesenian, dan sebagainya. Tema-tema umum itu cukup luas sehingga para sastrawan mempersempit permasalahan tersebut menjadi lebih jelas. Nurgiyantoro (2005:77) menggolongkan tema ke dalam beberapa kategori yang berbeda, bergantung pada dari segi mana hal itu dilakukan. Jenis Penggolongan tema yang akan dikemukakan berikut disajikan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya.

(1) Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional merupakan tema yang sudah sering diungkapkan, bahkan berulang-ulang. Artinya, tema tersebut telah lama dipergunakan dan terdapat hampir dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama, sehingga daya tariknya terasa berkurang. Hal-hal yang dipandang sebagai tema bersifat tradisional seperti kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, tindak kejahatan walau ditutup-tutupi akan ketahuan atau terbongkar juga, tindak kebenaran dan kejahatan akan menerima pembalasannya, cinta sejati menuntut pengorbanan, dan lain-lain sebagianya. 

Walaupun tema tradisional dalam penyajiannya bervariasi, sedikit banyaknya berkaitan dengan masalah kebenaran dan kejahatan. Oleh karena itu, tema-tema tradisional merupakan tema yang banyak digemari orang, karena sering terkait dengan aktivitas kehidupan sehari-hari, norma-norma yang diyakini, dan banyak pula terkait dengan pandangan (falsafah) hidup. Hal ini terkait dengan kecenderungan orang secara umum, yaitu mencintai kebenaran dan memusuhi kejahatan. Hal ini dapat ditemui dalam cerita-cerita Melayu lama seperti hikayat, cerita detektif populer, cerita silat, dan lain-lain. Cerita-cerita tersebut pada umumnya mempertentangkan hal yang baik dengan hal yang buruk. Demikian juga dengan cerpen-cerpen yang dominan nilai-nilai sastra. Cerpen-cerpen jenis ini banyak mengangkat tema tradisional.
Sebaliknya tema nontradisional yaitu tema yang tidak lazim. Satu sisi, kehadiran cerpen yang mengangkat tema nontradisional kurang diminati karena mempersoalkan hal-hal yang asing atau jarang berkaitan dengan aktivitas kehidupan. Tidak jarang pula, dalam cerpen yang mengangkat tema seperti ini bercerita tentang kejadian-kejadian yang berakhir dengan peristiwa atau hal yang tidak diharapkan, seperti tokoh protagonis dikalahkan oleh tokoh antagonis. Kebaikan dikalahkan oleh kejahatan, dan lain-lain. Dengan kata lain, cerpen yang mengangkat tema nontradisional memang terasa banyak mengangkat persoalan yang tidak diinginkan pembaca terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi terkesan lebih objektif karena sering terjadi. Misalnya, koruptor ulung sering terlepas dari tuntutan jaksa penuntut karena ia mampu menyuap hakim. Orang miskin kalah dalam perkara karena tidak mampu membayar pengacara ulung. Pejabat yang tidak terampil atau tidak jujur mendapat kedudukan yang lebih tinggi sementara pejabat yang jujur tidak mendapat kesempatan untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih layak, bahkan sering dilukiskan mendapat perlakuan yang tidak wajar dari atasannya, dan lain-lain.

(2) Tingkatan tema menurut  Shipley

Shipley (dalam Nurgiyantoro, 2005:80) membagi tema atas lima tingkatan, yaitu:

(a) Tema tingkat fisik
Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyarankan dan ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan. Dengan kata lain, tema tingkat ini lebih menekankan pada mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. Penekanan dalam cerpen tingkat ini terjadi pada latar.

(b) Tema tingkat organik
Tema tingkat ini lebih cenderung mempersoalkan seksualitas dengan berbagai masalahnya. Misalnya, penyelewengan atau pengkhianatan, bahkan memungkinkan dipersoalkan kelainan-kelainan, penyimpangan perilaku seksualitas.

(c) Tema tingkat sosial

Jenis Tema tingkat sosial banyak membicarakan masalah kehidupan bermasyarakat. Cerpen yang menggunakan tema tingkat sosial ini memandang kehidupan sebagai tempat terjadinya aksi-interaksi manusia dengan sesama dan dengan lingkungannya yang mengandung banyak sekali konflik, permasalahan, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian dari tema tersebut. Masalah-masalah sosial itu antara lain masalah pendidikan, ekonomi, kebudayaan, politik, pengorbanan, perjuangan, cinta, dan lain-lain sebagainya.

(d) Tema tingkat egoik

Dalam karya yang mengangkat tema tingkat egoik terlihat manusia digambarkan selain sebagai makhluk sosial juga dipandang sebagai makhluk individu. Artinya, manusia selalu menuntut adanya haknya sebagai individu. Masalah individualitas ini antara lain masalah egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap lain yang dimiliki manusia.

(e) Tema tingkat divine
Masalah yang menonjol dalam cerpen yang mengangkat tema tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiusitas, atau berbagai masalah lain yang bersifat filosofis seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

(3) Tema utama dan tema tambahan

Nurgiyantoro (2005:82-83) menyebutkan tema utama (tema mayor) yaitu makna pokok atau utama cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar dari cerita. Untuk menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih, menilai, dan mempertimbangkan, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh sebuah karya tertentu.
Selanjutnya, tema tambahan atau tema minor yaitu makna tambahan yang mendukung makna utama. Makna atau tema tambahan bersifat tersirat pada sebagian besar cerita, atau dapat juga disebut sebagai makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu saja. Dengan demikian, banyak sedikitnya tema minor tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan atau makna pelengkap yang mendukung keberadaan tema utama. Penafsiran terhadap tema makna tambahan haruslah dibatasi pada makna-makna yang menonjol saja, punya bukti, dan dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, penafsiran terhadap sebuah makna tertentu pada sebuah karya itu bukan dilakukan secara ngaur.

Friday, March 10, 2017

Pengertian, Materi dan Metode Pembelajaran Aqidah Akhlaq

Pengertian, Materi dan Metode Pembelajaran Akidah Akhlak.
Pembelajaran dalam pendidikan berasal dari kata instruction yang berarti pengajaran. (Echols, 1992: 325). Gagne dan Briggs dalam Sudjana (2000: 13) memberi pengertian pembelajaran dengan instruction is a set of events which effort learners in such a way that warning fasilitated. Menurut Zayadi (2005: 8) pembelajaran adalah sebagai kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat peserta didik belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Selain itu menurut Mulyasa (2006: 100) bahwa proses pembelajaran pada hakekatnya merupakan interaksi para peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku yang baik. Interaksi tersebut umunya banyak diketahui oleh faktor internal seseorang yang dipengaruhi oleh diri mereka sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari lingkungan baik dalam lingkungan pembelajaran ataupun lingkungan peserta didik, ini adalah tugas seorang guru yang utama dalam pembelajaran, tugas seorang guru yang utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku peserta didik.
Pengertian, Materi dan Metode Pembelajaran Aqidah Akhlaq
Pengertian, Materi dan Metode Pembelajaran Aqidah Akhlaq

Berdasarkan konsep pembelajaran tersebut, kegiatan pembelajaran bermuara pada dua kegiatan pokok sebagai berikut:

a. Bagaimana orang melakukan tindakan perubahan tingkah laku melalui kegiatan belajar.
b. Bagaimana orang melakukan tindakan penyampaian ilmu pengetahuan melalui kegiatan pembelajaran.
Makna pembelajaran merupakan kondisi eksternal kegiatan belajar, yang antara lain dilakukan oleh guru dalam mengondisikan seseorang untuk belajar. Secara umum belajar merupakan kegiatan yang melibatkan terjadinya perubahan tingkah laku, maka dari itu makna/pengertian pembelajaran adalah merupakan suatu prose kegiatan yang dilakukan oleh pendidik dengan sedemikian rupa sehingga tingkah laku peserta didik berubah kearah yang lebih baik/positif. (Darsono, 2001 : 24).

(Baca Pentingnya Memahami Konsep Aqidah Dalam Islam)
(Baca Iman Kepada Qada dan Qadar Allah)

Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi. Interaksi tersebut yaitu antara peserta didik dengan lingkungan belajar, yang diatur oleh guru untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. 
Menurut Djamarah (2002: 38-35) bahwa aktivitas belajar peserta didik adalah 1) mendengarkan; 2) menulis atau mencatat; 3) meraba, membau dan mengecap; 4) memandang; 5) membaca; 6) mengamati tabel, 7) membuat ikhtisar atau ringkasan dan menggarisbawahi; diagram-diagram dan bagan-bagan; 8) mengingat;  9) menyusun paper atau kertas kerja; 10) berpikir; 11) latihan atau praktek.

Kegiatan peserta didik  yang dikemukakan oleh dua tokoh tersebut dalam proses pembelajaran bahasa, pada intinya meliputi kegiatan mendengarkan, membaca, menulis dan berbicara. Empat kegiatan tersebut dalam pelaksanaannya berupa kegiatan yang berhubungan dengan sikap, keterampilan, pemahaman dan pengetahuan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Apabila dalam proses tersebut hanya mencakup satu atau dua aspek kegiatan, maka pembelajaran bahasa dapat dikatakan kurang berhasil, sebaliknya apabila empat aspek tersebut dikuasai, berarti peserta didik telah berhasil dalam kegiatan belajarnya. 

Kita pahami bahwa proses pembelajaran akan berlangsung efektif ketika peserta didik (siswa) diberi kesempatan untuk terlibat aktif dan mempraktekkan materi pembelajaran yang telah diterimanya di kelas. Belajar melakukan lebih efektif daripada dengan mendengar atau melihat. Guru hendaknya lebih memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dengan melakukan (learning by doing).

1. Materi Pembelajaran 
Materi pembelajaran merupakan sesuatu yang disajikan guru untuk diolah dan kemudian dipaham, dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan (Ibrahim, 2003: 100). Dalam pemilihan materi pembelajaran, ada beberapa kriteria yang dikembangkan dalam sistem pembelajaran dan yang mendasari strategi belajar mengajar, yaitu: 1) materi supaya sejalan dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan, 2) materi pembelajaran supaya terjabar, 3) relevan dengan kebutuhan peserta didik, 4) kesesuaian dengan kondisi masyarakat, 5) materi pelajaran mengandung segi-segi etik, 6) materi pembelajaran tersusun dalam ruang lingkup dan urutas yang sistematis serta logis, 7) materi pembelajaran bersumber yang baku, pribadi guru, dan masyarakat (Harjanto, 2006 : 222-224).

2. Metode
Metode berasal dari bahasa Greek-Yunani, yaitu metha (melalui atau melewati), dan hodods (jalan atau cara). Pengertian kata tersebut secara sederhana merupakan jalan yang ditempuh oleh seorang pendidk/guru dalam menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. (Thoifuri, 2008 : 56). Metode dalam interaksi pembelajaran adalah cara yang tepat dan cepat melaksanakan sesuatu. Cara cepat dan tepat inilah, maka urutan kerja dalam suatu metode harus diperhitungkan benar-benar secara ilmiah.

Ketika dalam proses pembelajaran, Muhadjir (2000: 140) membedakan antara istilah metode, pendekatan, dan teknik. Dia menjalsakan bahwa Pendekatan berarti cara menganalisis, memperlakukan, dan mengevaluasi sesuatu oyek. Misalnya dalam proses pembelajaran, dimanan peserta didik dilihat dari sudut interaksi sosialnya, akan ada jenis pendekatan individual dan pendekatan kelompok. Namun/Sedangkan istilah metode dan teknik dapat dianalogikan sebagai sebiuah jalan atau kendaraan yang digunakan seseorang untuk mencapai tempat tujuan. Misalnya, seseorang akan pergi ke kota A, maka jalan yang dipilih untuk dilewati dianalogkan dengan metode, sedangkan kendaraan dianalogkan dengan teknik.

Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai, maka guru dalam memilih metode perlu memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: 1) Tujuan yang hendak dicapai, 2) Kemapuan guru, 3) Peserta didik, 4) Situasi dan kondisi pembelajaran di mana berlangsung, 5) Fasilitas, 6) waktu yang tersedia, 7) kebaikan dan kekurangan meode. (Utsman, 2002:33). 

Menurut Mulyanto dalam Abdul Kholim (2005:37) metode-metode pembelajaran bahasa Arab adalah: 1) metode dwibahasa (dual-language method). 2) metode membaca (reading method), 3) metode psikologi (psichological method), 4) metode ponetik (phonetic), 5) metode alamiah (natural method), 6) Metode gramatika-terjemah (grammar-translation method), 7) metode terjemah (translation method), 8) metode gramatika (grammar method),  9) metode gabungan (electic method), 10) metode pembatasan bahasa 11) metode unit (unit method), (language control method), 12) metode mim-mem (mimiery –memorization method), 13) metode praktek-teori (practice-theory method), 14) metode cognate (cognate method), 15) metode langsung (direct method),

Kesemuaan Metode–metode tersebut berkumpul hanya pada dua kutub, yaitu:

a) Metode-metode yang melekat pada unsur metode langsung (dirrect method).
b) Metode-metode yang langkahnya berkisar pada prinsip metode tidak langsung (indirect method). (Malibary, 1976: 103).
Kegiatan pembelajaran bahasa Arab hendaknya menggunkan metode yang bervariasi dan tepat, karena pada dasarnya tidak ada metode yang paling ideal dan tepat, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri. Hal ini sangat bergantung pada tujuan yang hnedak dicapai, guru, ketersediaan fasilitas, dan kondisi peserta didik.

Pengertian dan Tahap-tahap Apresiasi

A. Pengertian Apresiasi
Kata apresiasi dalam bahasa Indonesia berasal dari kata appreciation yang berarti penghargaan. Tepatnya penghargaan yang didasarkan pada pemahaman. Kata appreciation/penghargaann Secara gramatikal dimaknai sebagai sebuah proses atau hal untuk memberi harga atau menghargai sesuatu. Dalam rangka pemberian harga terhadap suatu objek, misalnya suatu karya seni, secara pasti tentu akan melibatkan hal-hal untuk mengobservasi, meneliti dan menimbang mutu, yaitu menilai kelebihan dan kekurangan dari objek tersebut, barulah sampai pada kesimpulan sebagai hasil pemberian harga tersebut. S. Effendi dalam Suroto (1990:158) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan apresiasi terhadap karya sastra ialah sebuah upaya atau proses memahami, menikmati, dan menghargai suatu karya sastra secara kritis, yang memunculkan tumbuh penghargaan, pengertian, dan kepekaan pikiran kritis dan kepekaan pikiran yang baik terhadap sastra yang dihasilkan.

Pengertian dan Tahap-tahap Apresiasi Karya Sastra
Pengertian dan Tahap-tahap Apresiasi Karya Sastra

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan keakraban dengan teks sastra yang diapresiasikannya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh, serta melaksanakan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan kebutuhan rohaninya. Hal ini diperlukan karena sastra merupakan salah satu karya seni yang berusaha menampilkan nilai keindahan dalam bentuk aktual dan imajinatif (imagination) sehingga akan mampu memberikan hiburan dan kepuasan rohaniah kepada para pembaca.
Kemampuan apresiasi bagi siswa sangat penting, karena dengan adanya kemampuan apresiasi pada dirinya, ia akan memperoleh pengetahuan atau pengalaman, memperoleh kecakapan dalam menilai secara objektif nilai-nilai estetika, moral maupun mental dari karya sastra yang dinikmatinya. Pengalaman dan pengetahuan yang ditemuinya dari setiap karya sastra tersebut akan menimbulkan suatu pemikiran yang mendalam, dan hal ini menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan dalam diri manusia itu. Dengan demikian, kemampuan apresiasi ini sangat perlu dibina dan dikembangkan pada diri siswa.

Dalam pengajaran sastra Indonesia di SMA, bentuk apresiasi sastra bisa bermacam-macam. Macam bentuk tersebut disesuaikan dengan tingkat usia siswa dan jenjang kelas. Apresiasi untuk kelas satu tentu tidak sama dengan apresiasi untuk kelas dua. Hal ini disebabkan tingkat pemahaman dan tingkat pemikiran biasanya sejalan dengan pertambahan usia. Di samping itu, semakin banyak pengalaman seseorang tentunya akan semakin baik penghayatannya seseorang terhadap karya sastra tersebut. Hal yang demikian itu kiranya cukup wajar karena sastra tak lain dan tak bukan berbicara tentang hidup dan kehidupan manusia.

Untuk dapat mencapai hasil yang maksimal dalam kegiatan apresiasi karya sastra, kita harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang sastra dengan berbagai aspeknya, terutama mengenai unsur intrinsiknya.

B. Tahap-tahap Apresiasi
Apresiasi mempunyai tahap-tahap yang harus ditempuh guna mencapai taraf yang lebih baik. Tahap-tahap tersebut merupakan pedoman yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai kemampuan apresiasi yang diharapkan, dan pencapaian ini diharapkan untuk tercapainya tujuan pengajaran sastra yang diharapkan.
Untuk sampai pada tahap menetapkan penghargaan (kesimpulan) terhadap suatu karya seni (sastra), ada beberapa tahap-tahap tertentu yang harus dilewati lebih dahulu. Tahap- tahap yang dimaksudkan tersebut menurut Dra. Maidar G. Arsyad dalam Suroto (1990:157), sebagai berikut:

Tahap I : tahap ini adalah tahap penikmatan. Pada tahap ini penikmat melakukan tindakan untuk melihat, membaca, menonton atau mendengarkan suatu karya seni (sastra) tersebut. Misalnya membaca novel, roman atau puisi. Atau mungkin mendengarkan pembacaan sajak (puisi), atau menonton pertunjukan drama.

Tahap II : tahap ini adalah tahap penghargaan. Pada tahap ini penikmat melakukan tindakan manfaat, melihat kebaikan, atau nilai karya seni (sastra) itu. Mungkin setelah sekali membaca atau mendengar karya sastra lalu penikmat merasakan adanya manfaat, apakah itu memberi hiburan, menyenangkan, memberi kepuasan, atau pun memperluas pandangan dan wawasan hidupnya. Kalau penikmat merasakan manfaatnya sangat mungkin ia akan melangkah kepada tahap berikutnya.

Tahap III : adalah tahap pemahaman. Di sini penikmat melakukan tindakan menganalisis, meneliti, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya serta berusaha menyimpulkan kembali. Tahap ini berarti penikmat tidak lagi sekedar pasif untuk menikmati suatu karya sastra, tetapi mereka juga melakukan pemeraian pada setiap komponen yang telah membentuk karya sastra tersebut. Akhirnya ia akan sampai pada sebuah kesimpulan apakah karya sastra tersebut baik atau tidak, bermanfaat bagi pembaca atau tidak, sekedar sebagai hiburan atau lebih dari itu dan lain-lain.

Tahap IV : adalah tahap penghayatan. Pada tahap ini penikmat/pembaca akan menganalisi lebih lanjut karya sastra tersebut, mencari makna atau hakikat dari suatu karya sastra beserta argumentasinya; membuat penafsiran dan menyusun argumen berdasarkan analisis yang telah dibuat. Pada tahap ini penikmat berusaha menjelaskan mengapa alur novel begitu atau begini, atau mengapa sebuah puisi menggunakan bentuk seperti tanda tanya, atau mengapa sebuah puisi menggunakan kata-kata seperti itu dan lain-lain. Alasan-alasan yang dikemukakannya tentu disertai bukti agar argumen yang dikemukakannya dapat diterima secara akal.

Tahap V : tahap terakhir ini adalah tahap implikasi atau penerapan. Dimana pembaca yang telah membacakan atau menikmati suatu karya sastra sangat mungkin untuk menimbul ide baru pada pembaca karya tersebut.

Tahap-tahap tersebut merupakan suatu proses yang harus dilalui dalam mencapai suatu tingkat apresiasi yang sebenarnya. Tingkat pemahaman, tingkat penghayatan, dan tingkat implikasi merupakan tahapan yang harus dilalui dalam suatu proses apresiasi terhadap karya sastra.
Tingkat penikmatan merupakan tingkat pertama bagi seseorang yang hanya baru mengenal suatu karya sastra. Tingkat pemahaman ini berada pada tahap menonton, atau merasa senang saat mengenal suatu karya sastra. Pada tahap ini tidak dituntut seseorang untuk dapat terus memberikan penilaian, karena sudah barang tentu ia tidak dapat menilainya. Hal ini yang menyebabkan timbulnya salah penafsiran terhadap suatu karya sastra apabila diminta penilaiannya.

Pada tingkat penghargaan seseorang atau katakanlah siswa, mulai memberikan reaksi, misalnya reaksi ini timbul dalam bentuk rasa kagum serta terpengaruh akan hasil cipta sastra yang dinikmatinya. Rasa kagum ini menjelma menjadi suatu rasa ingin memiliki terhadap produk sastra tersebut, sehingga timbul rangsangan untuk ingin menikmatinya lagi. Hal ini akan membawa dirinya pada tingkat pemahaman, yaitu tingkat mencari pengertian.

Apabila siswa telah memiliki dorongan untuk mempelajari dengan cara mencari sebab akibat dan bersifat studi, pada tahap inilah siswa mulai memahami suatu karya sastra, sehingga dalam dirinya timbul suatu dorongan lain dalam bentuk mencari sebab akibat, serta mencari pengertiannya. Dengan tindakan ini siswa barulah menuju ke tahap selanjutnya, yaitu tahap penghayatan. Pada tingkat penghayatan ini siswa mulai membuat analisis lanjut mengungkapkan nilai pandangan terhadap suatu hasil karya sastra. Siswa akan mencari sejumlah pemikiran atau berupa perbandingan sejauh dapat terjangkau oleh daya pemikirannya sendiri.

Thursday, March 09, 2017

Pengertian Cerpen dan Struktur Penulisannya

Pengertian Cerpen dan Struktur Penulisannya

A. Cerpen (Cerita pendek) 
Cerita Pendek dalam Bahasa Inggris dinamakan short story, merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus di sebut karya fiksi (Hayalan). Kita tahu bahwa Cerpen merupakan cerita rekaan yang relatif pendek (short essay). Tetapi, ada berapa ukuran cerpen dalam ukuran panjang karena panjang dan pendek tersebut memang tidak ada aturannya yang pasti. Tak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe dalam Nurgiyantoro (2005:10) menyebutkan bahwa cerpen merupakan sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam saja. Di samping itu, cerpen hanya mempunyai efek tunggal, karakter, plot, dan setting yang terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks. 
Pengertian Cerpen dan Struktur Penulisannya
Cerpen dan Struktur Penulisannya

Cerita pendek adalah cerita yang pendek, namun tidak setiap cerita yang pendek dapat digolongkan ke dalam cerpen. Sudah umu dipahami, Cerita pendek adalah cerita yang pendek dan di dalamnya terdapat unsur pergolakan jiwa pada diri pelakunya, dimana secara keseluruhan cerita tersebut bisa menyentuh hati nurani pembaca dan dapat dikategorikan sebagai buah dari sastra cerpen itu sendiri. Dengan sajian cerita yang realtif pendek tersebut, seorang penulis cerpen (cerpenis) harus mampu  merebut hati pembaca ceritanya, sehingga pembaca seperti diteror dan akan terus bertanya-tanya dengan sendirnya. Ketegangan yang diciptakan oleh cerpenis sengaja menggelitik perhatian pembaca melalui teknik-teknik yang dipilih dalam menyampaikan misi yang diembannya.
Sesuai dengan perannya bahwa sebuah karya harus indah dan mengandung makna dan manfaat, dulce et utile, cerpen selalu hadir dengan bentuk yang apik. Tidak berarti cerpen harus berbahasa indah dengan kata yang berbunga-bunga, akan tetapi pemilihan bentuk kalimat yang tepat dan bersifat enerjik. Inilah salah satu Keindahandari  segi bahasa itu membuat cerpen tampak hidup dan seperti berjiwa dan berdaya tarik tinggi.

Sementara dari segi isi, cerpen yang menggambarkan satu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang atau beberapa pelakunya memuat misi tertentu yang bersifat sugestif sehingga ketika cerpen selesai dibaca, pembaca akan merenung. Perenungan yang dilakukan itu tidak lain adalah memikirkan, mencari, atau menyimpulkan apa yang diketengahkan oleh penulis. Jadi, dari tulisan itu hati pembaca akan terketuk dan terbuka cakrawala pandangannya atau malah menemukan sesuatu. Itulah manfaat karya sastra, yaitu tulisan yang dapat menyumbang andil bagi kehidupan.

Atas dasar pemikiran yang dikemukakan di atas, tidak mengherankan bila cerita pendek selalu bermunculan setiap hari. Tidak berbeda dengan bentuk media lain yang dapat diperankan sebagai medan curahan hati, kritik, dan cemooh, cerpen pun dapat diperankan sebagai senjata untuk menentang siapa pun. Karya cerpen terasa lebih elastis untuk melontarkan berbagai gagasan yang didukung oleh unsur intrinsik, seperti perwatakan dan setting. Dalam perwatakan dapat digambarkan tingkah laku seseorang untuk diteladani atau dilawan. Perlawanan tersebut biasanya memang jadi tema pilihan yang digarap dalam liku-liku cerita. Seperti sebuah tuntutan yang disuarakan untuk suatu perbaikan, cerpen pun menggarap masalah yang aktual dan mendesak. Dalam hal ini, cerpen dijadikan wahana medan kritik yang bersifat memberontak.

Sifat cerpen sangat akomodatif terhadap kemungkinan masuknya unsur imajinatif penulis sehingga berbagai hal bisa dimasukkan dalam tulisan, termasuk untuk menghapus jejak dan menyelamatkan diri penulis. Sejak cerpen-cerpen zaman Jepang, kondisi seperti ini pun sudah populer dan dikenal sebagai cerpen simbolik. Cerpen itu adalah interpretasi pengarang terhadap kehidupan yang dituangkannya dalam bentuk cerpen. Kehidupan yang digambarkan dalam cerpen bukan kehidupan otentik, tetapi kehidupan menurut saringan pandangan pengarang. Kejadian dalam cerpen adalah pengalaman subyektif pengarang. Makin besar kepribadian pengarang makin terpercaya dengan apa yang diungkapkannya. Kehidupan yang dipaparkan dalam cerpen adalah kehidupan dalam bentuk intinya, yang penuh arti.

Dengan demikian, cerpen adalah salah satu bentuk karya sastra yang diciptakan dari aneka pengalaman batin, pikiran, dan perasaan pengarang dalam kehidupan sehari-hari. Pikiran merupakan sesuatu yang terkendali dan lebih tenang, sedangkan perasaan lebih bergejolak, lebih sukar dikontrol, lebih agresif bila dibandingkan dengan pikiran. Di sisi lain, pengalaman lahiriah dapat mendorong seseorang untuk mencipta karya sastra. Pengalaman lahiriah memiliki sifat yang teramati. Fenomena fisik yang berhubungan dengan hal-hal yang dapat dilihat, didengar, dan dirasakan oleh seseorang dari yang teramati, sedangkan kekuasaan hukum yang melingkupi berupa pengetahuan, ekonomi, politik, moral, dan agama yang tak teramati dan memberi pengaruh cukup besar ke dalam karya sastra. Berdasarkan pengalaman lahir dan batin inilah seseorang menguraikan dan menghidupkan secara narasi, hingga terbentuklah sebuah karya sastra.

B. Struktur Cerpen 
Keutuhan atau kelengkapan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsur yang membentuknya. Nurgiyantoro (1995:10) menyebutkan bahwa unsur-unsur pembangun (cerita) terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Seperti Sumardjo (1986:37) menyampaikan bahwa  unsur-unsur pembentuk cerpen terdiri , tema cerita, peristiwa cerita (alur atau plot), tokoh cerita (karakter), suasana cerita (mood and atmosfer cerita), sudut pandangan pencerita (point of view), latar cerita (setting), dan gaya (style) pengarangnya sendiri.
Dari kedua pendapat di atas dapatlah kita lihat bahwa Nurgiyantoro melihat dari struktur fisik dan struktur batin cerpen, sedangkan Sumardjo lebih menitikberatkan pada struktur fisiknya saja. Namun demikian, bukanlah berarti Sumardjo mengingkari unsur batin (unsur ekstrinsik) sebuah cerpen.

Unsur-unsur intrinsik merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah karya sastra. Dalam unsur intrinsik tergambar bagaimana sebuah karya sastra cerpen memberikan arah atau jalan pikiran pengarang. Suatu cerita enak dibaca apabila cerita tersebut mampu memberikan perasaan pikiran, perasaan pengarang yang semuanya itu dilukiskan dalam unsur-unsur intrinsik. Dengan demikian, kita dapat memahami maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya itu.

Unsur intrinsik adalah unsur dalam sastra yang ikut serta membangun karya sastra itu sendiri. Karena sifat dan hakikat bentuk cerpen tidak sama dengan bentuk puisi maupun bentuk drama, jadi unsur dalam yang membentuknya pun berbeda. Karya sastra bentuk cerpen pada dasarnya dibangun oleh unsur-unsur tema, amanat, peristiwa cerita (alur atau plot), penokohan, latar (setting), sudut pandang (point of view), dan gaya bahasa. Unsur itulah yang termasuk dalam unsur intrinsiknya. Unsur-unsur tersebut akan dibicarakan satu persatu dalam sejain yang lain.

Cara Yang Tepat Memerankan Drama Dalam Pembelajaran

Cara Yang Tepat Memerankan Drama Dalam Pembelajaran. Sebuah naskah drama sebaiknya dapat dipentaskan meskipun  ada juga naskah drama yang tidak dapat dipentaskan. Menurut Endaswara (2005:197-204) dalam mementaskan naskah drama ada tiga tahapan yang harus dilakukan yaitu:

(1) Tahapan Penyajian yang Diharapkan

Pada tahap ini yang terpenting adalah  tim yang akan mementaskan drama harus mengetahui terlebih dahulu tujuan dari pementasan tersebut baru kemudian menyusun draft kegiatan dari awal hingga pementasan. Menurut Hoa Nio (dalam Endaswara, 2005:199) mengemukakan bahwa ada dua tahapan besar yaitu:
Cara Yang Tepat Memerankan Drama Dalam Pembelajaran
Cara Yang Tepat Memerankan Drama Dalam Pembelajaran
(a) Persiapan, mengumpulkan naskah drama sesuai dengan minat, kemampuan, rangsangan dan tingkat kesukaran bahasa;
(b) Kegiatan dalam kelas yang meliputi: (1) penjelajahan (perkenalan) dengan drama dengan membuat pertanyaan sehari-hari yang terkait dengan drama yang akan diapresiasi, dan disertai diskusi kecil tentang “apa yang akan diharapkan” subjek didik dari kehidupan tokoh dalam drama tersebut, membaca dalam hati, menonton pertunjukan baik teman sendiri maupun pertunjukan profesional, (2) interpretasi pertanyaan diskusi dengan pertanyaan menggali (subjek didik diminta membandingkan pendapatnya sendiri dengan apa yang dibaca dalam drama, pertanyaan terkait dengan tema, plot, pelaku, watak dan menganalisis akhir cerita drama), 
(c) rekreasi (pembagian peran, pagelaran, evaluasi, latihan ulangan dan pagelaran), 
(d) teknik pembinaan apresiasi drama.
Selanjutnya, berbeda dengan Moody (dalam Endaswara, 2005:200) mengemukakan bahwa:

(1) pelacakan pendahuluan, mengemukakan pusaran kemenarikan drama yang akan disajikan, alasan-alasan drama itu disajikan; 
(2) penentuan sikap praktis, menjelaskan keistimewaan drama, kekuatan drama yang akan disajikan; 
(3) intoduksi, mengenalkan struktur drama, menanyakan bila subjek didik telah mengenalnya; 
(4) penyajian, berapa pementasan, membaca naskah, ekspresi drama; 
(5) diskusi, membicarakan pementasan, kenikmatan, kekurangan, kelebihan dan lain-lain; 
(6) pengukuhan, melaporkan pementasan, menulis dialog, membuat adegan, mencari cerpen atau novel yang dapat diubah dengan bentuk drama; 
(7) diskusi lanjutan, diskusi mendalam sampai ke tingkat sosio psikologis, filsafat, religius dan memperagakan; 
(8) praktek percobaan, bermain peran, menirukan adegan; 
(9) latihan pengucapan dialog, latihan dinamik suara, vokal berat-sedang-ringan; 
(10) akting dan 
(11) pementasan drama.

Susunan draft sebuah pementasan dapat disesuaikan berdasarkan kesepakatam tim yang terlibat dalam pementasan itu dan kebutuhan yang diperlukan oleh anggota tim. Jika ada hal-hal yang dianggap tidak perlu dapat dihilangkan. 

(2) Tahap  Memahami Anatomi Drama

Di samping naskah dan aktor drama sebuah pementasan akan terkait dengan sutradara. Dia adalah figur penentu dalam pementasan. Menurut Endraswara (2005:202) seorang sutradara seharusnya memiliki berbagai hal antara lain: 

(a) Daya imajinasi: kemampuan menghidupkan tokoh (manusia imajiner) menjadi berpribadi, berkarakter dan berpandangan hidup; 
(b) Kepekaan: menafsirkan secara wajar terhadap naskah;
(c) Vitalitas: memotivasi pelaku semaksimal mungkin;
(d) Kreativitas: memiliki trik-trik unik, menarik, spontanitas dan 
(e) Sutradara sebaiknya tidak menjadi pelaku agar semakin leluasa menggarap pementasan.

Tata panggung dalam pementasan drama yang digunakan baik di kelas maupun di luar kelas dapat berbentuk melingkar, setengah melingkar,  jembatan dan segi empat. Tata panggung tidak harus mewah dapat juga dengan memanfaatkan sesuatu  yang berada di sekitar subjek didik yang penting mampu mendukung pementasan secara keseluruhan.
Unsur lain yang penting dalam drama adalah kostum. Kostum sering dilupakan oleh subjek didik. Apalagi, drama tersebut merupakan pementasan kecil di kelas padahal  kostum baru menjadi sebuah instrumen penting yang dapat membantu penonton  supaya ada ciri pribadi dari sebuah peran dan  agar jelas hubungan antar pemain. Kostum seharusnya mampu mereter kisahan cerita yang melukiskan waktu dan ruang.
Selain yang disebutkkan di atas masih ada unsur lain dalam mementaskan sebuah drama secara utuh seperti: tata rias, pencahayaan dan musik. Kesemua unsur ini tidak dipakai dalam pementasan kelas namun dapat dipakai dalam pementasan sekolah  di akhir tahun. 

(3) Tahap Ekspresi Dalam Pengajaran Drama

Sebelum berlatih ekspresi drama yang akan dipentaskan di depan kelas, di sekolah atau di gedung pertemuan perlu memahami tentang sutradara, pemain (aktor), penonton, panggung dan cerita (naskah). Beberapa unsur ini akan sangat menentukan keberhasilan ekspresi drama tanpa memahami unsur-unsur pendukung ini  pengajaran drama secara ekspresif akan kesulitan.
Untuk melatih ekspresi  maka diperlukan seorang sutradara agar dapat mereter kemampuan aktor. Sutradara tidak harus seorang pengajar bahkan subjek didik pun ada baiknya dilatih menjadi sutradara.  Ia akan menentukan warna pementasan karena melalui tangannya naskah yang mentah akan diolah.  Dia juga yang akan menjadi  penentu (decission) dalam pementasan.  Setiap pemain harus tunduk kepada sutradara. Jika ada pemain yang merasa super (primadona) sering mengintervensi sutradara sehingga pementasan akan gaduh dengan sendirinya. Baru kemudian melakukan  latihan ekspresi. Latihan-latihan yang perlu dilakukan dalam pengajaran ekspresi drama menurut Endraswara (2005:204) adalah sebagai berikut: 

(a) Latihan fisik (ucapan, pernafasan, vokal);
(b) Latihan psikis (penjiwaan);
(c) Penyesuaian naskah (mempelajari naskah sesuai dengan tugasnya);
(d) Latihan pemanggungan: bloking, gerak, akting dan
(e) Latihan memberi pesan : agar drama tidak sekedar “cerita” pemain perlu memberi bobot lewat dialog, lewat kata-kata (monolog)

Metode Membaca Naskah Drama dalam Pembelajaran

Metode Membaca Naskah Drama dalam Pembelajaran. Seorang pemain terlebih dahulu harus mengetahui langkah-langkah dan cara agar dapat membaca naskah dengan baik karena setiap dialog yang dibaca mempengaruhi persepsi dari naskah yang ada. oleh karena itu, pemain harus benar-benar dapat menyampaikan pesan yang terkandung dari naskah yang akan dipentaskan. Menurut Endaswara (2003: 204-213) menyebutkan bahwa ada beberapa langkah dalam membaca naskah drama yaitu:
Metode Membaca Naskah Drama dalam Pembelajaran
Metode Membaca Naskah Drama dalam Pembelajaran

1. Teknik Pembacaan Sastra
Dalam kegiatan membaca diperlukan pelatihan-pelatihan dasar. Yuwono (2003:14) menggambarkan bahwa pelatihan  drama tersebut mencakupi: ‘Latihan penghayatan dan pemahaman teks puisi, prosa dan drama, latihan mimik dan gerak, latihan pernafasan dan vokal.’ 
Latihan pemahaman dan penghayatan teks drama dapat dimulai dari karya sastra yang mudah dipahami sampai karya sastra yang sukar. Dalam hal ini diperlukan ketajaman imajinasi, kepekaan dan kekritisan. Pelatihan dasar untuk mempertajam imajinasi dapat berupa penghayatan terhadap gemericik air pegunungan, gelombang air laut dan suara burung berkicau. Selain itu, diperlukan juga latihan pernafasan yang dapat dilakukan untuk mengatur keras lembutnya intonasi, tinggi rendah nada dan panjang pendeknya vokal atau konsonan yang dihasilkan. Dalam  hal ini dibedakan antara pernafasan dada dan pernafasan perut. Sedangkan, latihan vokal dilakukan agar pelafalan bunyi bahasa dapat dibaca tidak pecah ( falls). Latihan mimik dan gerak sebaiknya dilakukan secara konsisten setiap hari agar penampilan di depan audiens menjadi lentur, tidak kaku dan monoton. Oleh karena itu, latihan penghayatan, pernafasan, vokal serta mimik atau gerak sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan. 

(Baca Metode Menulis Sebuah Naskah Drama)
(Baca Pembelajaran Menulis Cerpen Dengan Motode 3M)

Ardiana (dalam Endaswara 2003: 206-207) mengemukakan bahwa ada beberapa tahapan dalam pembacaan teks sastra termasuk drama yaitu sebagai berikut:

(1) Menginterpretasi tanpa suara, menghayati, dan mengiterpretasi;
(2) Membaca;
(3) Diskusi, mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan pembacaan; 
(4) Tanya jawab dan
(5) Pengajaran kooperatif. 

Lebih lanjut kegiatan dapat diteruskan ke dalam langkah-langkah praktis sebagai berikut: 
    a. Pembacaan dalam kelompok, 
    b. Perlombaan antar kelompok, 
    c. Pengenalan figur,
    d. Magang pembacaan,
    e. Wisata sastra dan
    f.  Penilaian.

2. Model Pembacaan Sastra
Endaswara, (2003:210-214) menyebutkan ada beberapa model pembacaan sastra sebagai berikut:

(1) Pembacaan individual
Kegiatan pembacaan seperti ini biasanya hanya dilakukan oleh penikmat yang ingin mencari terobosan emosional yaitu membaca sastra sebagai hiburan. Umumnya mereka masih menjadikan karya sastra sebatas pil mujarab atau obat kejiwaan.

(2) Pembacaan kreatif-estetis
Kegiatan ini dilakukan karena pembacaan sastra merupakan bagian dari kreativitas berolah sastra yang di dalamnya sarat dengan nilai seni.  Pembacaan seperti ini mau tidak mau menghendaki hembusan nurani kreativitas tersendiri dengan curahan kreativitas dan estetik serta artistik sehingga sastra akan lebih terpahami secara luas dan mendalam. Sastra akan menjadi kado yang menarik tidak hanya bagi pembacanya melainkan juga bagi audien (penikmat).
Menurut Endaswara, (2003:212) ada beberapa kompetensi yang perlu dimiliki oleh peserta didik dalam kaitannya dengan pembacaan kreatif estetis sebagai berikut: ”Kemampuan menjiwai teks sejalan dengan isinya, kemampuan bermain dengan tokoh lain sehingga mewujudkan pertunjukan menarik dan kemampuan menyelaraskan ingatan dengan pembacaan”.
Oleh karena pembacaan bersifat kolektif pengajar dapat memberikan penilaian secara menyeluruh. Pengajar harus mengikuti pembacaan dari awal sampai akhir sehingga penilaian tidak berdasarkan pada kedudukan peran utama dan tambahan yang terpenting peserta didik dapat memainkan peran masing-masing secara signifikan.

(3) Pembacaan sastra kolaboratif
Adapun Model kolaboratif ini biasanya dilakukan untuk pembacaan yang bersifat (bentuk) hiburan kendati tidak menghindari kemungkinan sebagai salah satu model sajian pembelajaran. Membaca sastra memang upaya untuk memahami teks agar lebih menarik dan komunikatif namun membaca sastra dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)sastra cenderung sebagai seni tampil (performance) dibanding memahami isi teks sebab melalui pembacaan yang estetis kemungkinan besar pemahaman teks menjadi semakin mudah dan tidak ada beban bagi pembaca.