Pondok Belajar

Wednesday, March 15, 2017

Langkah-langkah Belajar Menulis Puisi

Sutedjo dan Kasnadi (2008: 50) mengungkapkan langkah-langkah praktis menulis puisi dengan mempertimbangkan berbagai unsur pembangun yang ada. Semakin kreatif pembelajar dalam menapaki langkah-langkah tersebut, tentunya semakin cepat dan mudah pula untuk mampu menuliskannya. Adapun langkah langkah praktis menulis puisi secara umum adalah sebagai berikut.

Langkah-langkah Belajar Menulis Puisi
Belajar Menulis Puisi
a) Pemilihan aliran
Dikenal banyak sekali aliran dalam sastra Indonesia, misalnya: realisme, naturalisme ekspresionisme, idealisme, romantismedan sebagainya. Jika penyair bertindak sebagai “juru potret” kehidupan, maka penyair tersebut masuk ke dalam aliran realismetetapi jika penyair memilih mengekspresikan kejiwaan dan pikirannya, maka penyair tersebut tergolong penyair dengan aliran ekspresionisme.
b) Pemilihan tema
Seorang penyair sering kali mengangkat tema dalam ekspresi kepenyairannya. Tema dalam kepenulisan puisi menunjukkan masalah apa yang diangkat dalam puisi. Tema yang sering diangkat menjadi sebuah puisi, misalnya: politik, sosial, adat, keagamaan, keluarga, nasionalisme, cinta dan remaja, idola, dan sebagainya.

c) Penentuan jenis puisi
Puisi terdiri dari berbagai jenis, misalnya: puisi kamar, puisi pamfletis, puisi hymne, puisi ode, dan sebagainya. Oleh karena itu, penyair perlu memperhatikan jenis puisi yang cocok dengannya.

d) Pencarian ide (ilham)
Pengalaman para penyair dalam memperoleh ide (ilham) ini beragam. Misalnya: melalui perenungan, membaca puisi karya orang lain, mengamati realitas sosial, menonton film, membaca berita, mengamati lingkungan sekitar, pengalaman pribadi, dan sebagainya.

e) Mengeramkan ide (inkubasi)
Ibarat telur, ide (ilham) butuh ditetaskan. Oleh karena itu sebelum ditetaskan maka ide tersebut perlu melalui proses inkubasi atau pengeraman. Tahap ini merupakan tahap persiapan untuk mewujudkan ide atau gagasan yang telah dikandung, melintas-lintas, atau ide-ide yang selalu membayangi. Inkubasi akan dapat “menetaskan” karya dengan kematangan umur yang dapat dibanggakan.

f) Pemilihan diksi (kata) yang padat dan khas
Kata-kata dalam puisi ibarat roh mutiara yang akan memantulkan cahaya estetis yang penting untuk dipahami. Oleh karena itu, kata-kata yang digunakan dalam sebuah puisi tentunya bukan kata-kata biasa, tetapi kata-kata khas, padat, dan bermakna. Untuk itu, kata-kata dalam puisi biasanya bersifat konotatif (gramatik), kias, bahkan simbolik.

g) Pemilihan permainan bunyi
Salah satu sarana untuk mewujudkan citraan (imagery) penyair adalah penggunaan bahasa puitis dengan mengandalkan permainan bunyi. Aspek
bunyi ini seringkali mendominasi penulisan puisi. Pengunaan bunyi juga dapat memberikan gambaran citraan terhadap pembaca.

h) Pembuatan larik yang menarik
Larik yang menarik dalam puisi biasanya banyak menggunakan permainan bunyi, baik rima maupun pilihan kata. Biasanya permainan bunyi ini dimaksudkan untuk menciptakan nada dan suasana dalam puisi sehingga akan tampak sikap penyair di dalam puisi yang ditulisnya.

i) Pemilihan pengucapan
Cara pengucapan adalah ciri khas seorang penyair. Gaya pengucapan ini berkaitan juga dengan penggunaan gaya bahasa seseorang maupun penggunaan imaji (citraan) pilihan.

j) Pemanfaatan gaya bahasa
Salah satu sarana untuk mewujudkan estetika bahasa puisi adalah gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan sarana yang banyak digunakan penyair untuk mengungkapkan pengalaman kejiwaannya ke dalam sebuah karya puisi. Gaya bahasa ini meliputi: majas perbandingan, majas pertentangan, dan majas pertautan.

k) Pemilihan tipografi
Tipografi atau sering disebut dengan tata bentuk puisi ini merupakan aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam menulis dan memahami puisi. Oleh karena itu, pilihan tipografi tertentu akan membantu mengekspresikan isi dan maksud pesan penyair yang ingin disampaikan kepada pembaca.

l) Pemuatan aspek psikologis (kejiwaan)
Aspek psikologis ini berkaitan erat dengan kesatuan pengucapan seorang penyair. Di samping dipengaruhi oleh kejiwaan penyair terhadap suatu persoalan, puisi yang mengandung aspek psikologis ini akan melahirkan tone (nada) dalam puisi. Nada, secara umum berkaitan dengan sikap penyair terhadap pembaca berkaitan dengan feeling (sikap) yang dituangkan terhadap persoalan (masalah).

m) Pemuatan aspek sosiologis (sosial kemasyarakatan)
Aspek sosiologis dalam puisi seringkali menjadi “kekuatan” puisi yang menarik untuk dicermati. Aspek sosiologis ini berkaitan dengan kesatuan pengucapan seorang penyair. Pengucapan dan aspek sosiologis puisi seringkali melahirkan puisi-puisi yang berbobot dan berkualitas.

n) Pemilihan judul yang menarik.
Pemilihan judul yang menarik menjadi hal yang harus dipikirkan dalam menulis puisi. Sebuah judul yang baik harus mencerminkan isi puisi di satu sisi dan di sisi lain penting untuk mempertimbangkan aspek kemenarikan seperti indah, padat, dan bernas

Teknik-Teknik Kreatif dalam Menulis Puisi

Menurut Sutedjo dan Kasnadi (2008: 115) teknik-teknik kreatif menulis puisi berkaitan dengan keberanian, pemahaman puisi, igeneuitas (keluwesan), penguasaan style, dan kemampuan empati. Apapun teknik-teknik kreatif menulis puisi adalah sebagai berikut:
Teknik-teknik Kreatif dalam Menulis Puisi
Teknik-teknik Kreatif dalam Menulis Puisi 

a) Teknik Peta Pasang Kata
Teknik ini berpusat pada keberanian dalam memasang-masangkan kata secara bebas tetapi imajinatif. Di sinilah, memungkinkan munculnya kata-kata baru yang imajinatif pula. Hal ini, kemudian menjadi hal yang secara potensial dapat dikembangkan menjadi larik yang menarik, sebelum kemudian menjadi kelompok larik yang membangun bait yang menarik pula.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam memanfaatkan teknik ini dapat dilakukan sebagai berikut.

(1) Memilih kata (diksi) sentral yang menggerakkan (inspiratif).
(2) Memasangkan kata inspiratif tersebut dengan kata lain secara acak dan bebas
(3) Mengembangkan pasangan kata tersebut menjadi larik yang menarik. .
(4) Mengklasifikasikan ke dalam satu pokok gagasan (subject matter)
(5) Menata utuh ke dalam keutuhan puisi.
(6) Menentukan judul yang menarik.
b) Teknik Melengkapi Puisi
Teknik ini secara sederhana menyarankan kepada penulis puisi pemula agar mampu mengisi bagian-bagian kosong (yang dikosongkan) dalam sebuah puisi. Teknik ini merupakan latihan mendasar mengawali puisi, mengisi isi puisi, dan mengakhiri puisi sehingga menjadi menarik.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam teknik ini adalah sebagai berikut.

(1) Menghilangkan sebait atau dua bait pertama, kemudian mengisinya dengan ungkapan berbeda tetapi masih memiliki makna yang sama.
(2) Menghilangkan bait-bait puisi, kemudian mengisinya dengan ungkapan berbeda tetapi maknanya sama.
(3) Menghilangkan bait terakhir, kemudian mengisinya dengan ungkapan berbeda tetapi maknanya sama.
(4) Mengedit ulang pengisian bait-bait rumpang tersebut untuk mengetahui kepaduan maknanya.

c) Teknik Reflektif (Empatif)
Teknik refl ektif ini dipengaruhi oleh kemampuan empati dan impresi seseorang. Empati adalah perasaan berlibat secara emosional terhadap sesuatu sedangkan impresi adalah proses “mengesani” (terkesan) terhadap sesuatu. Di samping membantu melepaskan problem psikologis, alternatif reflektif ini juga mencerminkan tinggi rendahnya intelektual humanisme seseorang terhadap kehidupan.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam memanfaatkan teknik reflektif ini adalah sebagai berikut.

(1) Memilih realita sosial yang paling impresif.
(2) Mengidentifikasi realita sosial yang paling impresif tersebut dengan memberikan fokus tema dan aspektualitasnya.
(3) Internalisasi.
(4) Mengekspresikan (merefleksikan) ke dalam puisi.
(5) Mengedit dan memberikan pengakhiran secara menarik dan tidak menyimpang dari impresi awal.

d) Teknik Panggil Pengalaman
Teknik panggil pengalaman ini hampir sama cara kerjanya dengan teknik reflektif. Namun, teknik reflektif lebih banyak digerakkan oleh faktor eksternal berupa fenomena sosial, sedangkan teknik panggil pengalaman ini dapat berupa pengalaman pribadi (privacy) di samping memang tidak mengabaikan fenomena sosial yang melingkupi. Dalam teknik ini difokuskan pada pengalaman pribadi, sehingga seseorang diharapkan mampu mencermati perjalanan pribadinya sebagai investasi kehidupan untuk diolah menjadi karya yang baik.
Langkah -langkah dalam teknik panggil pengalaman ini adalah sebagai berikut.

(1) Pilih pengalaman pribadi yang paling monumental.
(2) Identifikasi aspektualitas monumentalnya.
(3) Re-internalisasi.
(4) Ekspresikan ke dalam puis i
(5) Mengedit dan memberikan pengakhiran secara menarik.

e) Teknik Ubah Diary
Teknik ubah diary ini hakikatnya merupakan perpaduan dari teknik refleksi dan teknik panggil pengalaman, tetapi secara empirik memiliki perbedaan dalam langkah dan pengungkapannya. Dalam teknik ubah diary, bahan telah tersedia dalam buku harian. Teknik ubah diary dilandasi pemikiran bahwa banyak sastrawan mengawali buku harian sebagai muara ide penulisan.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam teknik ini adalah sebagai berikut.

(1) Pentingnya mendokumentasikan pengalaman (pribadi dan sosial) ke dalam buku harian.
(2) Seleksi ulang atas persoalan dalam buku harian.
(3) Menganalisis tema-tema buku diary.
(4) Mengubah catatan harian ke dalam puisi.
(5) Mengedit ulang bahasa puisi yang ditulis agar tidak terpengaruh bahasa narasi catatan harian.

f) Teknik Kekaguman
Teknik kekaguman pada dasarnya dilandasi oleh logika bahwa setiap orang memiliki kekaguman atas ketokohan seseorang, paling tidak setiap orang pastinya memiliki tokoh idola atau pernah mengidolakan orang lain. Pengidolaan (kekaguman) ini, tentunya juga melahirkan pembayangan ideal atas sosok tertentu yang dipandang “sempurna” untuk dijadikan panutan. Teknik ini mengedepankan kemampuan eksplorasi sisi-sisi (karakteristik) tertentu yang membangun kekaguman itu. Puisi yang terlahir dari kekaguman ini, biasanya puisi jenis ode dan hymneOde adalah puisi pemujaan atas kepahlawanan yang bersifat heroistik sedangkan hymne adalah puisi yang bersifat pemujaan biasa.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam teknik ini adalah sebagai berikut.

(1) Membangun imajinasi atas pengalaman hidup yang memfokuskan pada sosok tertentu yang melahirkan kekaguman.
(2) Menganalisis alasan filosofis kekaguman itu.
(3) Mengekspresikan poin-poin kekaguman itu ke dalam larik-larik.
(4) Mengorganisasikan larik-larik sehingga melahirkan puisi.

Langkah pertama, berkaitan dengan upaya untuk memanggil pengalaman hidup yang terdapat unsur kekaguman terhadap seorang tokoh di dalam perjalanan hidup seseorang, sehingga puisi jenis ini tercipta karena digerakkan oleh idola (kekaguman). Orang-orang yang biasanya menjadi tokoh yang diidolakan adalah orang tua, guru, dan tokoh-tokoh masyarakat. Lalu kekaguman itu berkembang, dalam kehidupan remaja kekaguman itu seringkali muncul karena faktor fisik dan kemampuan tertentu, misalnya: kagum pada artis tertentu yang memiliki kemampuan akting baik, atau karena ketampanan/kecantikannya.
Langkah kedua, berkaitan dengan hal-hal yang mampu menarik perhatian dari tokoh yang diidolakan, misalnya: sikap heroik, keteladanan, kesempurnaan fisik, kepribadian, kejeniusan, prestasi, peran sosial, kemampuan komunikasi, dan sebagainya. Sedangkan langkah ketiga, penulis tinggal menuangkan kekaguman tersebut ke dalam larik-larik puisi yang dibuat semenarik mungkin.
Langkah terakhir, yaitu menata larik-larik yang sudah dibuat ke dalam pokok pikiran tertentu. Dengan demikian, kemampuan akhir dalam teknik kekaguman ini yang harus dilakukan adalah kecerdasan penulis untuk mengategorikan larik-larik tersebut. Mempertimbangkan permainan bunyi dan kekuatan kata dalam menata larik merupakan hal penting yang tidak boleh diabaikan.

g) Teknik Foto Berita/Media
Teknik foto berita merupakan teknik yang didasarkan pada realita bahwa media massa begitu banyak menyuguhkan foto berita yang memiliki nilai human interest tinggi, misalnya menyedihkan, memilukan, menegangkan, dan sebagainya. Foto-foto berita tentang tragedi tsunami Aceh atau gempa Yogyakarta, tenggelamnya kapal Senopati, dan terbakarnya kapal Levina, merupakan foto-foto berita yang mampu memantik empati siapa saja.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam teknik ini adalah sebagai berikut.

(1) Menemukan foto media yang memiliki nilai humanisme tinggi.
(2) Mengidentifikasi ketersentuhan dan fokusnya.
(3) Mengekspresikan ke dalam larik-larik.
(4) Mengorganisasikan larik dengan berpijak pada totalitas foto media yang telah menggerakkan.

Berdasarkan langkah-langkah tersebut, maka yang terpenting yaitu kekuatan dalam membangun imaji (citraan). Meskipun foto media tidak memiliki daya gerak, daya bau, daya raba, dan daya dengar, tetapi dengan imaji penuh seakan mampu melakukannya dengan baik. Langkah pertama, mengamanatkan akan pentingnya menemukan foto media yang bernilai human interest tinggi. Foto-foto yang bersifat tragedi, prestasi, dan ironi akan sangat potensial untuk diekplorasi menjadi puisi. Langkah kedua, berkaitan dengan pentingnya membuat fokus dari foto media itu tentang sisi-sisi humanisme yang kuat.
Selanjutnya langkah ketiga, mengubah tragedi, prestasi, dan ironi ke dalam larik-larik puisi. Sisi-sisi yang menonjol dari foto media dapat dieksplorasi lewat kata. Foto media pada awalnya bersifat bisu, tetapi ketika disentuh dengan cara
yang lain, foto media dapat membicarakan berbagai macam makna. Kemampuan memberikan roh pada foto media, terbalut dengan empati kualitas tinggi, sehingga mampu melahirkan larik-larik puisi yang empatif. Setelah lahir larik-larik puisi yang potensial, langkah keempat yaitu menata larik-larik tersebut ke dalam puisi yang visualitatif atas foto media yang telah menginspirasi itu.

h) Teknik Epigonal
Teknik epigonal ini pada dasarnya adalah teknik pengekoran terhadap puisi-puisi yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, teknik ini membutuhkan kemampuan membaca puisi secara intensif sehingga mampu memanggil inspirasi atas kemenarikan puisi tersebut.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam teknik ini adalah sebagai berikut.

(1) Membaca sebanyak mungkin puisi-puisi yang memiliki nilai karya sastra tinggi.
(2) Mengidentifikasi kemenarikan puisi.
(3) Mengategorikan kemenarikan puisi.
(4) Menyisihkan puisi-puisi yang inspirasional dan menarik berdasarkan temanya.
(5) Menirukankan pola ( frame) yang telah ditemukan.
(6) Mengedit secara cermat sehingga puisi yang ditulis menjadi relatif mempesona.

i) Teknik Aforisme
Teknik ini dilandasi pemikiran bahwa aforisme (kata-kata bijak) hakikatnya adalah sebuah puisi dan merupakan ungkapan fisilogis yang menggerakkan. Semakin banyak koleksi aforisme seseorang maka akan semakin inspirasional pula puisi yang dibuatnya.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam teknik ini adalah sebagai berikut.

(1) Identifikasi sebanyak mungkin aforisme para filsuf, pemimpin, nabi, dan ayat-ayat kehidupan.
(2) Mengategorikan ke dalam tema tertentu.
(3) Merangkai ke dalam kumpulan larik dengan berbagai perubahan seperlunya.
(4) Mengorganisasi menjadi keutuhan puisi yang kuat.

j) Teknik Out bond
Teknik ini dilakukan dengan cara langsung berhadapan dengan objek secara langsung. Pada prinsipnya teknik outbond mengajak seseorang yang ingin menulis puisi untuk terlibat langsung dengan objek. Oleh karena itu, pemaksimalan penulisan puisi menggunakan teknik ini menarik jika dilakukan di alam terbuka.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam teknik outbond adalah sebagai berikut.

(1) Memilih tempat yang cocok dengan tema yang sudah dipilih.
(2) Memaksimalkan objek langsung sebagai sumber inspirasi dan ekspresi.
(3) Mengekspresikannya sesuai objek amatan.
(4) Menata larik-larik puisi dengan berbasis pada objek langsung.

k) Teknik Hipnosis (Relaksasi)
Teknik ini bermuara pada konsep (paradigma) sebagai berikut: (1) bahwa menulis beroperasi pada bawah sadar sementara proses hipnosis juga demikian, (2) dalam kategori menulis dikenal adanya teori ekspresionisme (wujud hati dan pikiran) dan katarsis (pelepasan beban jiwa), (3) hipnosis berkaitan dengan kondisi rileks dan menyenangkan yang potensial untuk membangkitkan (menciptakan) jangkar emosi, dan (4) bahwa relaksasi (sarana) hipnosis mampu mengoptimalkan imaji (citraan) seseorang.

Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam teknik hipnosis (relaksasi) ini adalah sebagai berikut.
(1) Memilih tempat yang cocok untuk menemukan ‘tempat kedamaian’.
(2) Melatih pikiran bawah sadar dengan pikiran terfokus.
(3) Menciptakan kondisi menerima (trans-reseptif).
(4) Optimalisasi potensi indera yang akan menguatkan citra dan imaji.
(5) Mengoptimalkan gerak mata.

Tuesday, March 14, 2017

Pengertian dan Hakikat Penulisan Teks Argumentasi

Tulisan Argumentasi
Argumentasi adalah semacam wacana yang berusaha membuktikan suatu kebenaran. Lebih lanjut sebuah argumentasi berusaha mempengaruhi serta mengubah sikap dan pendapat orang lain untuk menerima suatu kebenaran dan menyajikan bukti-bukti mengenai objek yang dapat diargumentasikan itu (Gorys Keraf, 1995: 10). Argumentasi dilihat dari suatu proses berpikir dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk membentuk penalaran dan menarik kesimpulan serta menerapkannya (aplikasi) pada suatu kasus tertentu dalam subuah perdebatan tertentu.
Pengertian dan Hakikat Penulisan Teks Argumentasi
Pengertian dan Hakikat Penulisan Teks Argumentasi
Argumentasi sebagai suatu bentuk karangan eksposisi yang khusus ( Jos Daniel Perera, 1993: 6). Pengarang argumentasi  berusaha untuk meyakinkan, membujuk pembaca atau pendengar untuk percaya dan menerima apapun yang dikatakan, pengarang selalu memberi pembuktian dengan logis dan meyakinkan.

(Baca Pengertian Cerpen dan Struktur Penulisannya)
(Baca Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema dalam Sebuah Penulisan)

Argumentasi merupakan dasar yang paling fundamental dalam ilmu pengetahuan. Dalam dunia ilmu pengetahuan, argumentasi itu tidak lain adalah merupakan usaha untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan atau mengajukan bukti-bukti untuk menyatakan suatu sikap atau pendapat mengenai hal tertentu. Argumentasi sangat penting fungsinya dalam kehidupan orang-orang terdidik, tidak hanya sangat efektif untuk mempertahankan pendirian atau gagasan, tetapi juga sebagai alat berpikir secara kritis dalam menilai serta mengajukan alasan serta bukti-bukti, untuk memperhitungkan sanggahan lawan dan yang paling dasar adalah untuk menghubungkan pokok pendirian penulis dengan kesimpulan yang ada yakni dalam bentuk rangkaian logika yang mempunyai kekuatan persuatif (Sujanto, 1988:116). M. Atar Semi (1990: 4) menyatakan bahwa argumantasi merupakan tulisan yang bertujuan meyakinkan atau membujuk pembaca tentang kebenaran berpendapat atau pernyataan penulis. Argumen adalah suatu proses penalaran, yaitu secara deduktif dan induktif. 

Lebih lanjut Gorys Keraf (2000:3) menjelaskan argumentasi merupakan suatu bentuk retorika untuk mempengaruhi pendapat dan sikap orang lain, agar mereka itu percaya dan pada akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis. Dengan menggunakan pola argumentasi ini, penulis berusaha merangkaikan fakta-fakta sedemikian rupa, sehingga ia mampu menunjukkan apakah suatu pendapat atau suatu hal itu benar atau tidak sama sekali.

Argumentasi berbeda dengan empat bentuk wacana yang lain karena fungsi utamannya adalah membuktikan. Bentuk wacana yang lain dapat juga dijumpai unsur-unsur pembuktian, tetapi pembuktian dalam keempat wacana lain (persuasi, eksposisi, deskripsi dan narasi) sangat berbeda dengan sifat pembuktian argumentasi itu sendiri. Secara singkat dapat diuraikan dengan tulisan argumentasi merupakan bentuk wacana tulis yang bertujuan untuk mengubah sikap pandangan, pikiran, dan perasaan seseorang dengan memberikan pembuktian tertentu.

Dari beberapa definisi di atas ditekankan bahwa karangan argumentasi merupakan karangan yang berisi penguatan pendapat, pendirian atau gagasan berdasarkan atau disertai alasan dan/bukti yang menyokong atau memperkuat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa dalam argumentasi, pendapat atau gagasan yang dikemukakan tidak dilontarkan begitu saja ataupun tanpa dasar/ secara sembarangan saja tetapi harus berdasarkan/disertai dengan alasan yang masuk akal dan/bukti yang kuat.


Dasar sebuah tulisan argumentasi adalah berpikir kritis dan logis ( Gorys Keraf, 2000: 4). Untuk bisa menulis argumentasi, seorang penulis harus bertolak pada fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang ada. Fakta atau evidensi itu dapat dijalin dalam metode-metode sebagai mana dipergunakan juga dalam eksposisi. Dalam argumentasi di samping menentukan kejelasan, memerlukan juga keyakinan dengan perantara fakta-fakta itu. Sebab, seorang penulis harus tahu apakah fakta-fakta yang dipergunakan itu bagus, fakta itu benar, dia dapat menunjukkan suatu peraturan yang logis menuju kepada suatu kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan.


Argumentasi adalah suatu bentuk wacana yang tujuan utamannya mempersuasi audien tertentu untuk menggambil suatu doktrin /sikap tertentu atau suatu perubahan tertentu (Vivian dalam Mukhsin Ahmadi, 1990: 98). Atau argumentasi adalah sebuah karangan disusun secara logis disertai bukti-bukti, dimaksudkan untuk meyakinkan pembaca agar menerima suatu pendapat atau melakukan tindakan tertentu/ keduannya (Rinking & Hart,1968:127). Jadi argumentasi dibuat dengan tujuan meyakinkan atau mempengaruhi sikap atau pendapat orang lain sehingga mereka percaya dan bertindak sesuai dengan yang diinginkan penulis. Atau setidak-tidaknnya dapat menerima atau mengakui kebenaran pendapat yang dikemukakan penulis.


Argumentasi yang baik biasanya menggunakan kaidah-kaidah logika yang benar. Silogisme atau tautology sering digunakan dalam mengungkapkan atau membentuk suatu bparagraf argumentasi. Demikian juga kesesuaian isis dengan realita kehidupan sehari-hari merupakan suatu landasan yang berguna dalam menyusun paragraf argumentasi. (https://haqiqie.wordpress.com/ 2006/04/22/tentang-menulis-serbaneka gaya- tulisan-kembali-ke pelajaran-smp/ diakses 10 Maret 2007). 
Dasar-dasar yang menjadi landasan menulis argumentasi antara lain:

  1. Masalah penalaran yaitu, bagaimana dapat merumuskan pendapat yang benar sebagai hasil dari suatu proses berpikir untuk merangkaikan fakta menuju suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh akal.
  2. Corak penalaran, untuk membuktikan suatu kebenaran argumentasi dipergunakan prinsip logika.
  3. Bagaimana mengadakan penolakan (bila perlu) atas pendapat orang lain/ pendapat sendiri yang pernah dicetuskan.
  4. Bagaimana menulis tulisan argumentasi.
  5. Masalah persuasi yang mempunyai pertalian sangat erat dengan argumentasi bahkan sering diadakan pengacauan atas kedua istilah tersebut.

Tulisan argumentasi akan kuat dan memiliki tenaga tinggi jika tidak ada suatu fakta/informasi yang bertentangan dengan fakta atau informasi yang saling melemahkan satu dengan yang lain. Maka semua fakta yang digunakan harus koheren dengan pengalaman manusia atau sesuai dengan pendapat atau sikap yang berlaku.
  1. Tulisan argumentasi itu harus mengandung unsur kebenaran untuk mengubah keyakinan  dan sikap orang mengenai topik yang akan diargumentasikan tersebut. Untuk menunjukkan kebenaran tersebut, seorang penulis harus menyusun fakta-fakta yang benar adanya. 
  2. Pengarang harus berusaha untuk menghindari seperti istilah yang dapat menimbulkan prasangka tertentu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa seperti istilah harus mewakili satu makna secara jelas dan tegas, sifat terhindar dari perbedaan penafsiran antara proposisi yang dikemukakannya dengan harus terhindar dari makna yang diragukan.
  3. Penulis harus membatasi pengertian istilah-istilah yang akan digunakan agar dapat meminimalisir kemungkinan timbulnya ketidaksesuaian pendapat karena perbedaan pengertian.
  4. Penulis harus menetapkan secara tepat ketidaksepakatan yang akan diargumentasikan. 
Langkah ini merupakan langkah yang sangat penting, sebab seperti analisis yang dipaparkan harus tampak jelas di mana letak perbedaan-perbedaan persoalan yang akan diargumentasikan tersebut dengan demikian sasaran dan arah tulisan hanya dipusatkan kepada titik perbedaan tersebut ( Gorys Keraf, 2000:102-103).

Dasar sebuah tulisan argumentasi adalah berpikir kritis dan logis untuk itu harus bertolak dari fakta-fakta yang ada. C.H Vivian (dalam Achmadi, 1990: 99) membagi ciri-ciri argumentasi menjadi tiga, yaitu:


  1. Pendahuluan, berfungsi sebagai penarik perhatian kepada pembaca dengan menyajikan fakta-fakta pendahuluan untuk memutuskan perhatian untuk memahami argumentasi yang akan disampaikan nanti dalam isi karangan.
  2. Isi, seluruh isi argumentasi diarahkan kepada usaha penulis untuk meyakinkan kebenaran dari masalah yang dikemukakan sehingga kesimpulannya menjadi benar.
  3. Penutup, berisi kesimpulan, penulis harus memperhatikan bahwa kesimpulan yang diturunkan tetap menjadi pencapaian tujuan yaitu membuktikan kebenaran untuk mengubah sikap dan pendapat pembaca.

Adapun ciri penanda argumentasi sekaligus merupakan cirri penanda eksposisi. Menurut M. Atar Semi (1990:48) adalah sebagai berikut: (a) bertujuan meyakinkan orang lain (eksposisi memberi informasi), (b) berusaha membuktikan kebenaran suatu pernyataan atau suatu pokok persoalan (eksposisi hanya menjelaskan), (c) mengubah pendapat pembaca (eksposisi menyerahkan keputusan kepada pembaca), dan (d) fakta yang ditampilkan merupakan bahan pembuktian (eksposisi menggunakan fakta sebagai alat mengkonkritkan). 

Berdasarkan hakikat menulis argumentasi yang telah dikemukakan di atas tadi dapat disimpulkan bahwa menulis argumentasi suatu bentuk kegiatan dan proses bernalar secara logis dan kritis untuk memberi kebenaran guna meyakinkan, mempengaruhi  sikap dan pendapat orang lain (pembaca).

Pengertian Amanat dan Peristiwa Cerita (Alur atau Plot) dalam Sebuah Cerita

Pengertian Amanat
Amanat merupakan maksud atau tujuan yang hendak disampaikan pengarang melalui karyanya, biasanya secara tersirat atau tersurat. Suroto (1990:89) mengatakan sebagai berikut:

Amanat dan Peristiwa Cerita (Alur atau Plot) dalam Sebuah Cerita
Amanat dan Peristiwa Cerita dalam Sebuah Cerita

“Biasanya untuk menyampaikan sebuah tema, penulis/pengarang tidak akan berhenti pada pokok persoalannya saja, akan tetapi disertakan pula cara pemecahannya atau solusi/jalan keluar untuk menghadapi persoalan yang ada. Hal ini sangat bergantung pada pandangan dan pemikiran pengarang. Pemecahan persoalan biasanya berisi pandangan pengarang tentang bagaimana sikap kita kalau kita menghadapi sebuahpersoalan tersebut. Maka hal yang demikian itulah yang dapat disebutkansebhagai  amanat atau pesan dalam sebuah cerita”
Kita tahu bahawa, Amanat pada umumnya terungkap melalui percakapan atau dialog tokoh dengan barisan pendampingnya, seperti tokoh lingkungan alam, bawahan, dan monolog berupa konfrontasi dengan jiwanya sendiri. Tokoh yang digambarkan berwatak humanis akan menyampaikan pesan-pesan perdamaian dan saling kasih mengasihi sesama manusia. Tokoh koruptor biasanya digambarkan akan kalah, karena tidak bisa melawan kenyataan hidup yang dilandasi hukum dan adat kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. 

Melalui karya sastra, seorang pengarang menumpahkan isi hatinya dengan maksud tertentu. Pengarang menyisipkan berbagai amanat dengan tujuan menyadarkan manusia dari kelupaan, mengingat kembali aturan yang berlaku, mengajak manusia untuk berpikir dan berzikir. Yang terpenting, pengarang menginginkan pembaca dapat menghayati amanat dalam karya sastra tersebut serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan pengarang mengemukakan masalah kehidupan dan sikap-sikap serta ajaran yang patut diteladani oleh pembaca supaya pembaca dapat mengikuti dan membedakan nilai ajaran yang patut diikuti dan nilai ajaran yang seharusnya dibuang. Dengan demikian, suatu karya sastra dapat dikategorikan bermanfaat atau bahkan sangat bermanfaat bagi dirinya sebagai pembaca. Di sinilah terbukti bahwa karya sastra itu memberikan kesadaran kepada pembacanya tentang kebenaran-kebenaran hidup ini. Karena dari karya sastra itu, dapat diperoleh pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang manusia, dunia, dan kehidupan. Pembaca juga mendapat penghayalan yang mendalam terhadap apa yang selama ini telah diketahuinya.

Pengertian Peristiwa Cerita (Alur atau Plot)
Pengertian alur dalam cerpen atau dalam karya fiksi pada umumnya adalah jalan cerita yang dibentuk oleh urutan/tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh pelaku cerita dalam suatu cerita tersebut. Nurgiyantoro (2005:111) menyebutkan bahwa secara tradisional/masa dulu, orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita, sedangkan dalam teori-teori yang berkembang kemudian dikenal adanya istilah struktur susunan, naratif, susunan, dan juga sujet. Jenis penyamaannya begitu saja antara jalan cerita  dengan plot, bahkan ada juga yang  mendefinisikan plot sebagai jalan cerita, itu sebenarnya kurang cocok/tepat. Benar Plot memang mengandung unsur-unsur jalan sebuah cerita atau tepatnya urutan peristiwa demi peristiwa yang susul-menyusul, namun lebih dari sekedar jalan cerita atau rangkaian peristiwa dalam cerita tersebut.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Nurgiyantoro, Sumardjo (2004:15) mendeskripsikan bahwa plot dengan jalan cerita memang tak dapat dipisahkan, tetapi harus dibedakan. Jalan cerita memuat peristiwa. Tetapi sesuatu peristiwa ada karena ada sebabnya, ada alasannya. Yang menggerakan peristiwa cerita tersebut adalah plot. Suatu peristiwa baru dapat disebut cerita kalau di dalamnya ada perkembangan kejadian. Suatu peristiwa berkembang kalau ada yang menyebabkan terjadinya perkembangan, dalam hal ini konflik.

Intisari dari plot memang konflik. Tetapi suatu konflik dalam cerpen tak bisa dipaparkan begitu saja. Harus ada dasarnya. Maka itu, plot dikupas menjadi elemen-elemen berikut: (1) pengenalan, (2) timbulnya konflik, (3) konflik memuncak, (4) klimaks, dan (5) pemecahan soal.
Unsur-unsur tersebut merupakan unsur plot yang berpusat pada konflik. Dengan adanya plot tersebut seperti di atas, pembaca dibawa dalam suatu keadaan yang menegangkan, timbul suatu suspanse dalam cerita. Suspanse inilah yang menarik pembaca untuk terus mengikuti cerita.
Menurut Sumardjo (2004:16), konflik digambarkan sebagai pertarungan antara protagonis dengan antagonis. Protagonis adalah pelaku utama cerita, sedangkan antagonis adalah faktor pelawannya atau tokoh lawan protagonis. Antagonis tak perlu berupa manusia atau makhluk hidup lain, tetapi bisa situasi tertentu, alam, Tuhan, kaidah norma, kaidah sosial, dirinya sendiri, dan sebagainya. Dengan demikian, kunci untuk plot suatu cerita adalah menanyakan apa konfliknya. Konflik cerita baru bisa ditemukan setelah pembaca mengikuti jalan ceritanya, yaitu aksi fisik yang dipakai pengarang menyatakan plotnya. 
Dalam cerita fiksi atau cerpen, urutan tahapan peristiwa dapat beraneka ragam. Montage dan Henshaw (dalam Aminuddin, 2000:84), misalnya, menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita dapat tersusun dalam tahapan exposition, yakni tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinyasuatu  peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita tersebut; tahap inciting force, yakni tahap ketika timbul kehendak, kekuatan, maupun perilaku yang bertentangan dari pelaku; rising action, yakni situasi panas karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai berkonflik; crisis, situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh pengarangnya; climax, merupakan sebuah situasi klimax/puncak ketika konflik berada dalam kadar yang ter tinggi hingga para pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya sendiri-sendiri; falling action, merupakan kadar konflik sudah menurun sehingga msalah/ketegangan dalam cerita tersebut sudah mulai mereda sampai menuju conclusion atau penyelesaian akhir cerita tersebut.
Selanjutnya, Nurgiyantoro (2005:142) menyatakan bahwa plot prosa fiksi, secara umum terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:

(1) Tahap Awal
Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap ini biasanya berisi informasi awal tentang tokoh dan latar cerita. Dalam hal ini pengarang menunjukkan dan memperkenalkan, seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadian, dan pengenalan tokoh cerita. Selain itu, pada tahap ini konflik sedikit demi sedikit mulai dimunculkan.

(2) Tahap Tengah
Tahap tengah disebut juga dengan tahap pertikaian. Dalam tahap ini pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Pada tahap inilah inti cerita disajikan, tokoh-tokoh memainkan perannya masing-masing, fungsional /peristiwa-peristiwa penting dikisahkan, konflik berkembang semakin parah/meruncing, menegangkan/deg-degan, dan mencapai puncak/klimaks dan pada umumnya tema pokok, makna pokok cerita diungkapkan pula. Pada bagian inilah pembaca memperoleh ”cerita”, memperoleh sesuatu dari kegiatan pembacaannya tersebut.

(3) Tahap Akhir
Tahap akhir cerita disebut juga dengan tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Tahap ini berisi bagaimana kesudahan cerita atau menyaran bagaimanakah akhir sebuah cerita: kebahagiaan (happy ending) atau kesedihan (sad ending). 

Saturday, March 11, 2017

Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema dalam Penulisan

Tema adalah ide sebuah cerita. Bila seorang pengarang mengemukakan hasil karyanya, sudah tentu ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Sesuatu yang menjadi pokok persoalan atau sesuatu yang menjadi pemikirannya itulah yang disebut dengan tema. Tema tidak disampaikan begitu saja akan tetapi disampaikan melalui sebuah jalinan cerita. Kita hanya akan menemukan tema sebuah cerita setelah kita membaca dan menafsirkannya. Tema berbeda dengan pokok cerita. Boleh dikatakan tema adalah pokok pikiran atau pokok persoalan yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui jalinan cerita yang dibuatnya.
Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema Penulisan
Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema Penulisan 
Cerita atau jalinan cerita yang disusun oleh pengarang tentu mempunyai pokok cerita. Tidak mungkin ada cerita tanpa pokok cerita. Kalau sampai terjadi yang demikian itu, jalan cerita tersebut tidak terarah dan tidak tersusun rapi atau bahkan mungkin ceritanya membingungkan karena tidak jelas apa yang diceritakan. Pokok cerita adalah sesuatu yang diceritakan oleh pengarang. Ini berbeda dengan tema. Tema terletak di balik pokok cerita tersebut. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa tema adalah pokok pikiran atau pokok persoalan di balik pokok cerita.

Menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro, 2005:68) menyebutkan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menompang sebuah karya sastra dan mengandung di dalam teks sebagai struktur yang semantis dan yang menyangkut kesamaan-kesamaan atau perbedaan-perbedaan yang ada. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal lebih bersifat ”mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik, situasi tertentu, termasuk beberapa unsur intrinsik lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu.

Dengan demikian menentukan tema sebuah karya fiksi (cerpen) haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walaupun sulit ditentukan secara pasti, ia bukanlah makna yang ”disembunyikan”, walaupun belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Kita tahu bahwa tema merupakan sebuah makna pokok dari sebuah fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan yang disebabkan kearena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca dari sebuah cerita. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan ”tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya. Karena itu, seperti dikemukakan Nurgiyantoro (2005:70) tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan umum cerita yang dipergunakan untuk mengembangkan sebuah cerita yang dibuat. Dalam kata lain, cerita tentunya akan ‘setia’ mengikuti gagasan dasar yang bersifat umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga kejadian peristiwa konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain diusahakan mencerminkan metode diskusi yang ril. Sering sekali untuk mengatasi hal ini, guru terpaksa menempuh langkah yang keliru. Nurgiyantoro (2005:84) menyebutkan bahwa cara yang ditempuh guru selama ini yaitu menentukan sendiri atau mendikte tema dari karya sastra yang dibicarakan. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan timbullah ekses yang tidak baik seperti tumbuhnya sikap apatis, kurang kreatif, tidak dapat berfikir dan menganalisis secara kritis, dan lain-lain.
Sebenarnya, untuk memudahkan menganalisis dan menentukan tema karya sastra, khususnya cerpen, menurut Nurgiyantoro (2005:85) dapat dengan memahami cerita itu, mencari kejelasan ide perwatakan, peristiwa-peristiwa konflik, dan latar. Jika hal tersebut sudah terpahami, maka langkah selanjutnya ditempuh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti (1) Apa motivasinya, permasalahan yang dihadapi? (2) Bagaimana perwatakan pelakunya? (3) Bagaimanakah sikap dan pandangannya terhadap permasalahan itu? (4) Apa (dan bagaimana cara) yang dipikir, dirasakan, dan dilakukan? (5) Bagaimanakah keputusan yang diambil?
Semua pertanyaan tersebut diajukan untuk memudahkan menarik atau menentukan tema dari sebuah cerita. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan sebelum membaca sebuah cerita (cerpen).

Tema dalam karya sastra banyak sekali ragamnya, misalnya tema perjuangan, kemasyarakatan, kemanusiaan, ketuhanan, kejiwaan, kesenian, dan sebagainya. Tema-tema umum itu cukup luas sehingga para sastrawan mempersempit permasalahan tersebut menjadi lebih jelas. Nurgiyantoro (2005:77) menggolongkan tema ke dalam beberapa kategori yang berbeda, bergantung pada dari segi mana hal itu dilakukan. Jenis Penggolongan tema yang akan dikemukakan berikut disajikan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya.

(1) Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional merupakan tema yang sudah sering diungkapkan, bahkan berulang-ulang. Artinya, tema tersebut telah lama dipergunakan dan terdapat hampir dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama, sehingga daya tariknya terasa berkurang. Hal-hal yang dipandang sebagai tema bersifat tradisional seperti kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, tindak kejahatan walau ditutup-tutupi akan ketahuan atau terbongkar juga, tindak kebenaran dan kejahatan akan menerima pembalasannya, cinta sejati menuntut pengorbanan, dan lain-lain sebagianya. 

Walaupun tema tradisional dalam penyajiannya bervariasi, sedikit banyaknya berkaitan dengan masalah kebenaran dan kejahatan. Oleh karena itu, tema-tema tradisional merupakan tema yang banyak digemari orang, karena sering terkait dengan aktivitas kehidupan sehari-hari, norma-norma yang diyakini, dan banyak pula terkait dengan pandangan (falsafah) hidup. Hal ini terkait dengan kecenderungan orang secara umum, yaitu mencintai kebenaran dan memusuhi kejahatan. Hal ini dapat ditemui dalam cerita-cerita Melayu lama seperti hikayat, cerita detektif populer, cerita silat, dan lain-lain. Cerita-cerita tersebut pada umumnya mempertentangkan hal yang baik dengan hal yang buruk. Demikian juga dengan cerpen-cerpen yang dominan nilai-nilai sastra. Cerpen-cerpen jenis ini banyak mengangkat tema tradisional.
Sebaliknya tema nontradisional yaitu tema yang tidak lazim. Satu sisi, kehadiran cerpen yang mengangkat tema nontradisional kurang diminati karena mempersoalkan hal-hal yang asing atau jarang berkaitan dengan aktivitas kehidupan. Tidak jarang pula, dalam cerpen yang mengangkat tema seperti ini bercerita tentang kejadian-kejadian yang berakhir dengan peristiwa atau hal yang tidak diharapkan, seperti tokoh protagonis dikalahkan oleh tokoh antagonis. Kebaikan dikalahkan oleh kejahatan, dan lain-lain. Dengan kata lain, cerpen yang mengangkat tema nontradisional memang terasa banyak mengangkat persoalan yang tidak diinginkan pembaca terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi terkesan lebih objektif karena sering terjadi. Misalnya, koruptor ulung sering terlepas dari tuntutan jaksa penuntut karena ia mampu menyuap hakim. Orang miskin kalah dalam perkara karena tidak mampu membayar pengacara ulung. Pejabat yang tidak terampil atau tidak jujur mendapat kedudukan yang lebih tinggi sementara pejabat yang jujur tidak mendapat kesempatan untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih layak, bahkan sering dilukiskan mendapat perlakuan yang tidak wajar dari atasannya, dan lain-lain.

(2) Tingkatan tema menurut  Shipley

Shipley (dalam Nurgiyantoro, 2005:80) membagi tema atas lima tingkatan, yaitu:

(a) Tema tingkat fisik
Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyarankan dan ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan. Dengan kata lain, tema tingkat ini lebih menekankan pada mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. Penekanan dalam cerpen tingkat ini terjadi pada latar.

(b) Tema tingkat organik
Tema tingkat ini lebih cenderung mempersoalkan seksualitas dengan berbagai masalahnya. Misalnya, penyelewengan atau pengkhianatan, bahkan memungkinkan dipersoalkan kelainan-kelainan, penyimpangan perilaku seksualitas.

(c) Tema tingkat sosial

Jenis Tema tingkat sosial banyak membicarakan masalah kehidupan bermasyarakat. Cerpen yang menggunakan tema tingkat sosial ini memandang kehidupan sebagai tempat terjadinya aksi-interaksi manusia dengan sesama dan dengan lingkungannya yang mengandung banyak sekali konflik, permasalahan, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian dari tema tersebut. Masalah-masalah sosial itu antara lain masalah pendidikan, ekonomi, kebudayaan, politik, pengorbanan, perjuangan, cinta, dan lain-lain sebagainya.

(d) Tema tingkat egoik

Dalam karya yang mengangkat tema tingkat egoik terlihat manusia digambarkan selain sebagai makhluk sosial juga dipandang sebagai makhluk individu. Artinya, manusia selalu menuntut adanya haknya sebagai individu. Masalah individualitas ini antara lain masalah egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap lain yang dimiliki manusia.

(e) Tema tingkat divine
Masalah yang menonjol dalam cerpen yang mengangkat tema tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiusitas, atau berbagai masalah lain yang bersifat filosofis seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

(3) Tema utama dan tema tambahan

Nurgiyantoro (2005:82-83) menyebutkan tema utama (tema mayor) yaitu makna pokok atau utama cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar dari cerita. Untuk menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih, menilai, dan mempertimbangkan, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh sebuah karya tertentu.
Selanjutnya, tema tambahan atau tema minor yaitu makna tambahan yang mendukung makna utama. Makna atau tema tambahan bersifat tersirat pada sebagian besar cerita, atau dapat juga disebut sebagai makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu saja. Dengan demikian, banyak sedikitnya tema minor tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan atau makna pelengkap yang mendukung keberadaan tema utama. Penafsiran terhadap tema makna tambahan haruslah dibatasi pada makna-makna yang menonjol saja, punya bukti, dan dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, penafsiran terhadap sebuah makna tertentu pada sebuah karya itu bukan dilakukan secara ngaur.

Friday, March 10, 2017

Pengertian, Materi dan Metode Pembelajaran Aqidah Akhlaq

Pengertian, Materi dan Metode Pembelajaran Akidah Akhlak.
Pembelajaran dalam pendidikan berasal dari kata instruction yang berarti pengajaran. (Echols, 1992: 325). Gagne dan Briggs dalam Sudjana (2000: 13) memberi pengertian pembelajaran dengan instruction is a set of events which effort learners in such a way that warning fasilitated. Menurut Zayadi (2005: 8) pembelajaran adalah sebagai kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat peserta didik belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Selain itu menurut Mulyasa (2006: 100) bahwa proses pembelajaran pada hakekatnya merupakan interaksi para peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku yang baik. Interaksi tersebut umunya banyak diketahui oleh faktor internal seseorang yang dipengaruhi oleh diri mereka sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari lingkungan baik dalam lingkungan pembelajaran ataupun lingkungan peserta didik, ini adalah tugas seorang guru yang utama dalam pembelajaran, tugas seorang guru yang utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku peserta didik.
Pengertian, Materi dan Metode Pembelajaran Aqidah Akhlaq
Pengertian, Materi dan Metode Pembelajaran Aqidah Akhlaq

Berdasarkan konsep pembelajaran tersebut, kegiatan pembelajaran bermuara pada dua kegiatan pokok sebagai berikut:

a. Bagaimana orang melakukan tindakan perubahan tingkah laku melalui kegiatan belajar.
b. Bagaimana orang melakukan tindakan penyampaian ilmu pengetahuan melalui kegiatan pembelajaran.
Makna pembelajaran merupakan kondisi eksternal kegiatan belajar, yang antara lain dilakukan oleh guru dalam mengondisikan seseorang untuk belajar. Secara umum belajar merupakan kegiatan yang melibatkan terjadinya perubahan tingkah laku, maka dari itu makna/pengertian pembelajaran adalah merupakan suatu prose kegiatan yang dilakukan oleh pendidik dengan sedemikian rupa sehingga tingkah laku peserta didik berubah kearah yang lebih baik/positif. (Darsono, 2001 : 24).

(Baca Pentingnya Memahami Konsep Aqidah Dalam Islam)
(Baca Iman Kepada Qada dan Qadar Allah)

Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi. Interaksi tersebut yaitu antara peserta didik dengan lingkungan belajar, yang diatur oleh guru untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. 
Menurut Djamarah (2002: 38-35) bahwa aktivitas belajar peserta didik adalah 1) mendengarkan; 2) menulis atau mencatat; 3) meraba, membau dan mengecap; 4) memandang; 5) membaca; 6) mengamati tabel, 7) membuat ikhtisar atau ringkasan dan menggarisbawahi; diagram-diagram dan bagan-bagan; 8) mengingat;  9) menyusun paper atau kertas kerja; 10) berpikir; 11) latihan atau praktek.

Kegiatan peserta didik  yang dikemukakan oleh dua tokoh tersebut dalam proses pembelajaran bahasa, pada intinya meliputi kegiatan mendengarkan, membaca, menulis dan berbicara. Empat kegiatan tersebut dalam pelaksanaannya berupa kegiatan yang berhubungan dengan sikap, keterampilan, pemahaman dan pengetahuan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Apabila dalam proses tersebut hanya mencakup satu atau dua aspek kegiatan, maka pembelajaran bahasa dapat dikatakan kurang berhasil, sebaliknya apabila empat aspek tersebut dikuasai, berarti peserta didik telah berhasil dalam kegiatan belajarnya. 

Kita pahami bahwa proses pembelajaran akan berlangsung efektif ketika peserta didik (siswa) diberi kesempatan untuk terlibat aktif dan mempraktekkan materi pembelajaran yang telah diterimanya di kelas. Belajar melakukan lebih efektif daripada dengan mendengar atau melihat. Guru hendaknya lebih memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dengan melakukan (learning by doing).

1. Materi Pembelajaran 
Materi pembelajaran merupakan sesuatu yang disajikan guru untuk diolah dan kemudian dipaham, dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan (Ibrahim, 2003: 100). Dalam pemilihan materi pembelajaran, ada beberapa kriteria yang dikembangkan dalam sistem pembelajaran dan yang mendasari strategi belajar mengajar, yaitu: 1) materi supaya sejalan dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan, 2) materi pembelajaran supaya terjabar, 3) relevan dengan kebutuhan peserta didik, 4) kesesuaian dengan kondisi masyarakat, 5) materi pelajaran mengandung segi-segi etik, 6) materi pembelajaran tersusun dalam ruang lingkup dan urutas yang sistematis serta logis, 7) materi pembelajaran bersumber yang baku, pribadi guru, dan masyarakat (Harjanto, 2006 : 222-224).

2. Metode
Metode berasal dari bahasa Greek-Yunani, yaitu metha (melalui atau melewati), dan hodods (jalan atau cara). Pengertian kata tersebut secara sederhana merupakan jalan yang ditempuh oleh seorang pendidk/guru dalam menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. (Thoifuri, 2008 : 56). Metode dalam interaksi pembelajaran adalah cara yang tepat dan cepat melaksanakan sesuatu. Cara cepat dan tepat inilah, maka urutan kerja dalam suatu metode harus diperhitungkan benar-benar secara ilmiah.

Ketika dalam proses pembelajaran, Muhadjir (2000: 140) membedakan antara istilah metode, pendekatan, dan teknik. Dia menjalsakan bahwa Pendekatan berarti cara menganalisis, memperlakukan, dan mengevaluasi sesuatu oyek. Misalnya dalam proses pembelajaran, dimanan peserta didik dilihat dari sudut interaksi sosialnya, akan ada jenis pendekatan individual dan pendekatan kelompok. Namun/Sedangkan istilah metode dan teknik dapat dianalogikan sebagai sebiuah jalan atau kendaraan yang digunakan seseorang untuk mencapai tempat tujuan. Misalnya, seseorang akan pergi ke kota A, maka jalan yang dipilih untuk dilewati dianalogkan dengan metode, sedangkan kendaraan dianalogkan dengan teknik.

Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai, maka guru dalam memilih metode perlu memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: 1) Tujuan yang hendak dicapai, 2) Kemapuan guru, 3) Peserta didik, 4) Situasi dan kondisi pembelajaran di mana berlangsung, 5) Fasilitas, 6) waktu yang tersedia, 7) kebaikan dan kekurangan meode. (Utsman, 2002:33). 

Menurut Mulyanto dalam Abdul Kholim (2005:37) metode-metode pembelajaran bahasa Arab adalah: 1) metode dwibahasa (dual-language method). 2) metode membaca (reading method), 3) metode psikologi (psichological method), 4) metode ponetik (phonetic), 5) metode alamiah (natural method), 6) Metode gramatika-terjemah (grammar-translation method), 7) metode terjemah (translation method), 8) metode gramatika (grammar method),  9) metode gabungan (electic method), 10) metode pembatasan bahasa 11) metode unit (unit method), (language control method), 12) metode mim-mem (mimiery –memorization method), 13) metode praktek-teori (practice-theory method), 14) metode cognate (cognate method), 15) metode langsung (direct method),

Kesemuaan Metode–metode tersebut berkumpul hanya pada dua kutub, yaitu:

a) Metode-metode yang melekat pada unsur metode langsung (dirrect method).
b) Metode-metode yang langkahnya berkisar pada prinsip metode tidak langsung (indirect method). (Malibary, 1976: 103).
Kegiatan pembelajaran bahasa Arab hendaknya menggunkan metode yang bervariasi dan tepat, karena pada dasarnya tidak ada metode yang paling ideal dan tepat, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri. Hal ini sangat bergantung pada tujuan yang hnedak dicapai, guru, ketersediaan fasilitas, dan kondisi peserta didik.