Yang Bukan Segalanya - Pondok Belajar

Monday, September 05, 2016

Yang Bukan Segalanya

Bagaimana rasanya klau mulai membenci sesuatu yang sangat kita cintai Dipuja mayoritas manusia? Sudah sangat lumrah jika sebagian orang banyak dibutakan olehnya, mereka rela mengorbankan apapun yang diniliki. Nyata memang kesendirian dalam melawan arus kehidupan bukanlah hal yang mudah. Malah Anda sendiri dianggap gila dan bodoh oleh orang lain. Habis mau bilang apa, hati telah menentukan pilihanya serta menyadari apa sebenarnya yang menjadi hakikat hidup yang sesungguhnya. Kita tahu bahwa setiap orang berhak untuk memilih jalan hidupnya sendir? Itu adalah hak asasi, yang sekarang ini otonomi diri. 
Uang Bukanlah Segalanya
Uang Bukan Segalanya
Terkadang bukan cuman mata yang dibutuhkan untuk melihat, namun terkadang hati juga diperlukan sebagai alat kontrol serta penyeimbang. Sangat Lucu memang ketika kita berada di tengah parodi manusia-manusia urban yang sedang hidup bak sapi perah untuk memenuhi ambisi dan sikap gengsi mereka sendiri.

(Baca Kesempatan Tidak Datang Untuk Kedua kalinya)
(Baca Memahami Philosofi Kehidupan Pohon Bambu)

Hangatnya terpaan sinar mentari yang memayungi sepanjang jalanan kota yang sepi. Maklum hari Sabtu, jadi tidak banyak orang yang kejar jam tayang ke kantor atau ke sekolah. Salah Seorang gadis yang berambut lurus sedang memacu kederaannya melintasi dataran abu-abu dalam kecepatan sedang. Pada hakikatnya dia sendiri sedang membutuhkan kecepatan yang ekstra supay akan segera tiba di tempat yang dituju, ke salah satu Warung Bubur Abah Hasan. Walau perutnya sudah gemerucuk karena dari kemarin belum makan. Namun, sebenarnya di sangat menikmati semburan udara pagi kala itu. Ketika tiba disana lalu memesan salah satu menu yang menjdi favoritnya, ia langsung duduk sambil menhadap jendela yang menyajikan pemandangan langsung ke jajaran pohon di ruang hijau seberang jalan yang sangat menyejukkan mata bagi yang memandangnya. Tak lama kemudian Semangkuk bubur ayam spesial pesanannya pun tiba, tanpa pikir panjang lagi lagi ia langsung melahapnya.

Setelah puas mengisi perutnya, lalu ia melanjutkan kembali perjalanannya ke tempat selanjutnya. Tujuan selanjutnya adalah menuju ke-sebuah kampung yang terletak di salah satu sudut kota yang boleh dibilang lumayan bersih, walaupun jalannya agak meliuk-liuk bahkan harus melewati jalan yang yang berbukit. Memang Sedikit agak melelahkan. Ketika tiba di rumah yang bercat putih bersih dengan halaman yang tidak cukup luas namun dipenuhi dengan tanaman yang terawat rapi. Rumah itu adalah bangunan peninggalan Belanda, memang agak aneh , seharusnya bangunan yang seperti itu berada di jajaran kawasan bangunan-bangunan yang menjdi heritage lainnya bukan malah tersesat sendiri di tengah tengah kampung seperti ini. Entah tiada yang tahu jenis magnet apa yang selalu membuatnya begitu terpesona, setiap dia datang ketempat tersebut dia selalu merasakan sepertinya ada sesuatu yang membuatnya betah dan selalu merindui tempat ini. Begitu menyadari dia telah ditunggu oleh seseorang, lalu ia bergegas menuruni sepeda motornya dan melangkah dengan cepat untuk mengetuk papan yang berdiri kokoh persis di hadapannya. Tak begitu lama kemudian pintu pun terbuka, salah seorang ibu-ibu yang kira-kira berumur sekitar empat puluh tahunan berdiri dan menyapa dengan sebuah senyum yang ramah.

‘Assalamu’alaikum, tante,’ ucap gadis itu sambil meraih dan mencium tangan wanita itu.
‘Wa’alaikumsallam. Eh, Kinan mari masuk. Tumben pagi-pagi betul? Apakah Sudah sarapan?’ jawabnya ibu tersebut sambil mepersilakan Kinan memasuki rumahnya.
‘Iya, tante saya ada janjian sama Ica pagi-pagi gini. Sudah, tante. Tadi Saya sarapan sebelum kesini beli bubur ayam dulu,’ jelas Kinan. Wanita itu hanya mengangguk kepala. Di ruang tamu salah seorang perempuan sebaya dengan Kinan sedang duduk bersila menghadap laptop sambil mempermaikan jemarinya diatas keypad. Dengan tidak bertujuan mengganggu Kinan lalu duduk di sampingnya tanpa sepatah katapun, matanya sedang asik menjelajahi lembar Microsoft Word yang hampir dipenuhi dengan tulisan, dan membaca tulisan alphabet yang tertulis di kertas putih itu. ‘Jam berapa ini, Neng? Baru datang…’ sindirnya tanpa melirik Kinan. ‘Maaf, ya Ca. Kamu sebenarnya sudah tau jika selama ini aku selalu sendirian dirumah, jadi banyak hal lain yang harus diurusin sebelum kesini. Lagian Tadi aku juga mampir untuk sarapan di Abah Hasan, tapi tenang aja semuanya sudah beres kok tinggal copy-paste di laptop kamu,’ ujar Kinan yang membela diri sambil memberikan flashdisk ke Ica. Irit bicara, Ica hanya mendehem kemudian menyambar dengan cepat benda kecil tapi fungsinya yang selangit. ‘Klik, klik’, kemudian Ica langsung memasukkan data yang penting ke laptopnya. ‘Nan, ne uda beres nih. Tinggal send aja lagi,’ ujar Ica meminta persetujuan. ‘ya sudah kita kirim aja, Ca. Walaupun kalah setidaknya kita suda mencoba untuk melakukan yang terbaik?’

Sebenarnya mereka berdua tersebut sedang mengikuti lomba tulis karya ilmiah online dan harus di submit hari ini karena hari ini merupakan hari terakhir kita. ‘Iya sih, saya kamu itu mana peduli menang atau kalah. Karena itu gak ngaruh sama hidup kamu. Kalau aku sangat butuh hadiahnya, Nan. Karena Aku lagi butuh uang,’ curhat Ica dengan mata agak sedikit berkaca-kaca. Sebenarnya Kondisi perekonomian keluarga Ica sedang tidak baik. Bisnis pembuatan shuttle kock punya papanya sedang mengalami penurunan penjualan, bahkan papanya harus mengistirahatkan beberapa pekerja untuk mengurangi biaya produksi. Sebenarnya kinan merasa tak enak hati, lansung buru-buru ia minta maaf. Kinan memang dari keluarga yang hidup berkecukupan, jauh berbeda dengan Ica yang terkadang hanya memiliki uang jajan yang pas-pasan. Bahkan terkadang ia merasa uang bukanlah hal yang berharga, ia sangat senang berbagi apalagi dengan kawanya Ica, sahabatnya yang ia kenal sejak SMP. ‘Klik’, tombol send pun di klik oleh Kinan.

‘Ini ayo dimakan, Kinan,’ ujar Mama Ica sambil membawa makanan dan dua cangkir teh hangat. Kinan berterimakasih bu. Ada tersirat rasa iri di dalam hatinya. andai saja Ica yang ke rumahku, mungkin Mama pasti tidak mau nyiapin seperti gini. Paling juga yang nyiapin aku sendiri, terus Mama hanya minta pamit pergi ke Ica soalnya banyak sekali urusan, batin Kinan. Mereka berdua terdiam dan terhanyut dalam pikiran masing-masing. Sudah hampir seminggu ini Kinan bolak-balik ke rumah Ica untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah tersebut, sehingga Kinan sudah seperti anak sendiri dianggap oleh Mamanya Ica. Mama Ica sangat ramah dan baik terhadap Kinan, bahkan selalu menyuruhnya makan disana. Kinan selalu diomelin kalau pulang tanpa belum makan. Perhatian dan peduli itulah adalah sedikit gambaran kecil kebaikan hatinya. Memang mereka memang bukanlah dari keluarga terpandang, namun mereka memiliki hati bagaikan emas yang jauh tak ternilai harganya, pikir Kinan.

‘Enak ya Nan jadi kamu,?’ tanya Ica secara tiba-tiba dan menganggetkan lamunan Kinan. ‘A.. enaknya apanya, Ca?’ tanya Kinan agak terbata dengan heran. Apa sih enaknya hidup jadi serba mandiri, mana orang tua jarang pulang, rumah aja sudah seperti hotel cuman buat tempat istirahat? Bahkan rasanya orang tuaku terkadang tak peduli dengan kehadiranku, apa enaknya, Ca? guman Kinan dalam hati. ‘Enak lah, Ca. Duit mencukupi, semua fasilitas ada, motor baru, laptop high end, smartphone premium, orang tua gak mengekang. Hidup kamu itu sudah sangat perfect. Sangat Bodoh jikalau kamu masih merasa kurang,’ jawab Ica polos. Kinan hanya bisa mendengus mendengar alasan Ica yang sudah bosan didengarnya. Hatinya terasa seperti teriris, knapa masih saja ada orang yang berpikiran seperti itu. ‘Ga enak, Ca. Kamu harus jalani hidup tanpa rasa kasih sayang langsung dari kedua orang tua, aku terkadang capek melihat mama papaku yang hampir seperti gila kerja itu, mana rumah udah kayak hotel cuma buat makan, mandi, sama istirahat doang. Okelah, fasilitas memang tercukupi tapi rasanya itu kosong, Ca. Aku hampir gak punya waktu walupun hanya sekedar buat ngobrol santai, aku jarang sekali didengerin sama mereka. Mereka memang dekat tapi rasanya seperti jauh buat aku,’ bulir air mata mulai mengalir di pipi Kinan. Ia merasakan beban itu rasanya sedikit terangkat, ia sudah sangat lelah menyimpannya sendiri selama ini. Kinan sangat gak mau jika orang menilai negatif keluarganya. Menyesal, lalu Ica memeluk Kinan. Sebenarnya banyak yang Ica belum ketahui dari Kinan, itu semua karena Kinan gak suka orang lain untuk mengasihaninya. Dia sudah cukup tegar sampai dengan pagi ini, namu ia harus terlihat lemah di depan sahabatnya.

‘Uang gak selamanya memberikan kamu kebahagiaan, Ca. Aku sangat iri sama kehidupan kamu yang memiliki orang tua peduli sama anaknya. Dalam hidup ini terkadang yang kita butuhin bukan cuma uang buat hidup,’ bisik Kinan kepasa sahabatnya. Rasa hangat seakan sudah merebak di dalam relung hati Kinan. Ica tak dapat berkomentar apa-apa hanya merapatkan pelukannya saja. Ia sangat menyadari banyak yang Kinan belum ceritakan padanya. Kini ia sudah menyadari betapa besar beban yang ditanggung sama sahabatnya itu, beban yang harus dipikul seorang diri ketika ai masih berumur tujuh belas tahun.

‘Ben, maaf ya aku tidak bisa menerima semua ini dari kamu,’ ujar Kinan sangat dengan hati-hati sambil memberikan sebuah kardus berwarna coklat yang hampir dipenuhi dengan barang-barang khas cewek pada lelaki yang bertubuh tinggi di depannya. Laki-laki itu menatap Kinan dengan penuh tanda tanya, hatinya pun mendadak seperti terasa nyeri laksana terserang serangan jantung dadakan. ‘sebenarnya Aku sudah sangat ikhlas  dapat memberikan semua ini pada kamu,’ kata Ruben dengan kaget. Ia bingung tidak tau berkata apa-apa lagi pada perempuan yang sangat ia sayang itu. ‘aku tahu kamu sangat menyayangi aku, Kinan?’ tanya Ruben sambil menatap lurus manik hitam yang berada di hadapannya yang seketika menunduk lesu. Ia menyadari ada perubahan ekspresi pada perempuan yang berada di hadapannya secara drastis, Kinan merasa bahunya seakan roboh mendengar pertanyaan itu. Ruben sudah sangat lama mendambakan mu Kinan, banyak macam cara telah ia lakukan untuk dapat menarik simpati Kinan. Berbagai macam barang kesukaannya langsung ruben belikan tanpa tanggung-tanggung. tetapi Kinan hanya dapat menerima Ruben sebagai teman saja tidak lebih dari itu, jujur ia sangat bingung memikirkan bagaimana cara membuat Ruben untuk dapat mengerti bahwa ia hanya suka berteman saja. Sebenarnya Kinan tidak mau melukai hati dan perasaan Ruben, tapi mungkin carannya saja yang salah. Ia malah membuat Ruben terkadang berpikir jika Kinan memberi harapan lebih dari seorang teman padanya. Agak Rumit memang. ‘tetapi setidaknya Aku sudah membuktikan rasa sayangku pada kamu, Nan. Itu semua bukti dari rasa sayangku pada kamu, aku sangat peduli sama kamu,’ ucap Ruben untuk meyakinkan Kinan. Memang tidak ada sedikitpun terlitas rona dusta di matanya, semuanya itu benar, dan jujur adnya dari dalam hati. Tapi Kinan tidak suka diperlakukan seperti itu olehnya.

‘sorry, Ben. Aku bukan tipe orang seperti itu dan aku juga tidak pernah minta kamu untuk membeli semua ini buat aku. Jujur saja, sebenarnya aku sendiri masih mampu kok membeli semua ini dengan uangku sendiri jika aku mau,’ Kinan tak mau direndahkan.
‘Bukan, Nan. Bukan itu yang aku maksudkan, aku hanya mau buktikan pada kamu, kalau aku benar-benar serius dan gak main-main. Aku tidak akan membikin kamu kecewa.’

‘Sudahlah, Ben. Terima saja ini, aku tidak pantas untuk mendapatkan semua ini. Aku bukan tipe perempuan yang baik untuk kamu, aku tidak punya perasaan yang sama dengan kamu. Aku suda coba, tapi aku tak bisa. Maaf. Aku masih yakin jika di luar sana masih banyak orang lain yang lebih baik dari aku dan pastinya bisa membalas perasaan kamu itu. Aku tahu kamu cowok yang baik-baik dan makasih atas semua perhatianmu selama ini,’ ucap Kinan sambil memberikan kardus itu kapada Ruben. Memang mungkin itu menyakitkan untuk Ruben, tapi inilah jalan yang terbaik. Kinan sudah lelah berpura-pura bersikap manis selama ini kepadanya hanya untuk menghargai segala usaha yang dilakukanya.