Uang Bukan Segalanya |
(Baca Kesempatan Tidak Datang Untuk Kedua kalinya)
(Baca Memahami Philosofi Kehidupan Pohon Bambu)
Hangatnya terpaan sinar mentari yang memayungi sepanjang jalanan kota yang sepi. Maklum hari Sabtu, jadi tidak banyak orang yang kejar jam tayang ke kantor atau ke sekolah. Salah Seorang gadis yang berambut lurus sedang memacu kederaannya melintasi dataran abu-abu dalam kecepatan sedang. Pada hakikatnya dia sendiri sedang membutuhkan kecepatan yang ekstra supay akan segera tiba di tempat yang dituju, ke salah satu Warung Bubur Abah Hasan. Walau perutnya sudah gemerucuk karena dari kemarin belum makan. Namun, sebenarnya di sangat menikmati semburan udara pagi kala itu. Ketika tiba disana lalu memesan salah satu menu yang menjdi favoritnya, ia langsung duduk sambil menhadap jendela yang menyajikan pemandangan langsung ke jajaran pohon di ruang hijau seberang jalan yang sangat menyejukkan mata bagi yang memandangnya. Tak lama kemudian Semangkuk bubur ayam spesial pesanannya pun tiba, tanpa pikir panjang lagi lagi ia langsung melahapnya.
Setelah puas mengisi perutnya, lalu ia melanjutkan kembali
perjalanannya ke tempat selanjutnya. Tujuan selanjutnya adalah menuju ke-sebuah
kampung yang terletak di salah satu sudut kota yang boleh dibilang lumayan bersih,
walaupun jalannya agak meliuk-liuk bahkan harus melewati jalan yang yang
berbukit. Memang Sedikit agak melelahkan. Ketika tiba di rumah yang bercat
putih bersih dengan halaman yang tidak cukup luas namun dipenuhi dengan tanaman
yang terawat rapi. Rumah itu adalah bangunan peninggalan Belanda, memang agak
aneh , seharusnya bangunan yang seperti itu berada di jajaran kawasan
bangunan-bangunan yang menjdi heritage lainnya bukan malah tersesat sendiri di
tengah tengah kampung seperti ini. Entah tiada yang tahu jenis magnet apa yang
selalu membuatnya begitu terpesona, setiap dia datang ketempat tersebut dia
selalu merasakan sepertinya ada sesuatu yang membuatnya betah dan selalu
merindui tempat ini. Begitu menyadari dia telah ditunggu oleh seseorang, lalu
ia bergegas menuruni sepeda motornya dan melangkah dengan cepat untuk mengetuk
papan yang berdiri kokoh persis di hadapannya. Tak begitu lama kemudian pintu
pun terbuka, salah seorang ibu-ibu yang kira-kira berumur sekitar empat puluh
tahunan berdiri dan menyapa dengan sebuah senyum yang ramah.
‘Assalamu’alaikum, tante,’ ucap gadis itu sambil meraih dan
mencium tangan wanita itu.
‘Wa’alaikumsallam. Eh, Kinan mari masuk. Tumben pagi-pagi betul?
Apakah Sudah sarapan?’ jawabnya ibu tersebut sambil mepersilakan Kinan memasuki
rumahnya.
‘Iya, tante saya ada janjian sama Ica pagi-pagi gini. Sudah,
tante. Tadi Saya sarapan sebelum kesini beli bubur ayam dulu,’ jelas Kinan.
Wanita itu hanya mengangguk kepala. Di ruang
tamu salah seorang perempuan sebaya dengan Kinan sedang duduk bersila menghadap
laptop sambil mempermaikan jemarinya diatas keypad. Dengan tidak bertujuan
mengganggu Kinan lalu duduk di sampingnya tanpa sepatah katapun, matanya sedang
asik menjelajahi lembar Microsoft Word yang hampir dipenuhi dengan tulisan, dan
membaca tulisan alphabet yang tertulis di kertas putih itu. ‘Jam berapa ini,
Neng? Baru datang…’ sindirnya tanpa melirik Kinan. ‘Maaf, ya Ca. Kamu sebenarnya
sudah tau jika selama ini aku selalu sendirian dirumah, jadi banyak hal lain
yang harus diurusin sebelum kesini. Lagian Tadi aku juga mampir untuk sarapan
di Abah Hasan, tapi tenang aja semuanya sudah beres kok tinggal copy-paste di
laptop kamu,’ ujar Kinan yang membela diri sambil memberikan flashdisk ke Ica.
Irit bicara, Ica hanya mendehem kemudian menyambar dengan cepat benda kecil
tapi fungsinya yang selangit. ‘Klik, klik’, kemudian Ica langsung memasukkan
data yang penting ke laptopnya. ‘Nan, ne uda beres nih. Tinggal send aja lagi,’
ujar Ica meminta persetujuan. ‘ya sudah kita kirim aja, Ca. Walaupun kalah
setidaknya kita suda mencoba untuk melakukan yang terbaik?’
Sebenarnya mereka berdua tersebut sedang mengikuti lomba tulis
karya ilmiah online dan harus di submit hari ini karena hari ini merupakan hari
terakhir kita. ‘Iya sih, saya kamu itu mana peduli menang atau kalah. Karena
itu gak ngaruh sama hidup kamu. Kalau aku sangat butuh hadiahnya, Nan. Karena
Aku lagi butuh uang,’ curhat Ica dengan mata agak sedikit berkaca-kaca.
Sebenarnya Kondisi perekonomian keluarga Ica sedang tidak baik. Bisnis
pembuatan shuttle kock punya papanya sedang mengalami penurunan penjualan,
bahkan papanya harus mengistirahatkan beberapa pekerja untuk mengurangi
biaya produksi. Sebenarnya kinan merasa tak enak hati, lansung buru-buru ia
minta maaf. Kinan memang dari keluarga yang hidup berkecukupan, jauh berbeda
dengan Ica yang terkadang hanya memiliki uang jajan yang pas-pasan. Bahkan
terkadang ia merasa uang bukanlah hal yang berharga, ia sangat senang berbagi
apalagi dengan kawanya Ica, sahabatnya yang ia kenal sejak SMP. ‘Klik’, tombol
send pun di klik oleh Kinan.
‘Ini ayo dimakan, Kinan,’ ujar Mama Ica sambil membawa makanan
dan dua cangkir teh hangat. Kinan berterimakasih bu. Ada tersirat rasa iri di
dalam hatinya. andai saja Ica yang ke rumahku, mungkin Mama pasti tidak mau
nyiapin seperti gini. Paling juga yang nyiapin aku sendiri, terus Mama hanya
minta pamit pergi ke Ica soalnya banyak sekali urusan, batin Kinan. Mereka
berdua terdiam dan terhanyut dalam pikiran masing-masing. Sudah hampir seminggu
ini Kinan bolak-balik ke rumah Ica untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah
tersebut, sehingga Kinan sudah seperti anak sendiri dianggap oleh Mamanya Ica.
Mama Ica sangat ramah dan baik terhadap Kinan, bahkan selalu menyuruhnya makan
disana. Kinan selalu diomelin kalau pulang tanpa belum makan. Perhatian dan
peduli itulah adalah sedikit gambaran kecil kebaikan hatinya. Memang mereka
memang bukanlah dari keluarga terpandang, namun mereka memiliki hati bagaikan
emas yang jauh tak ternilai harganya, pikir Kinan.
‘Enak ya Nan jadi kamu,?’ tanya Ica secara tiba-tiba dan
menganggetkan lamunan Kinan. ‘A.. enaknya apanya, Ca?’ tanya Kinan agak terbata
dengan heran. Apa sih enaknya hidup jadi serba mandiri, mana orang tua jarang
pulang, rumah aja sudah seperti hotel cuman buat tempat istirahat? Bahkan
rasanya orang tuaku terkadang tak peduli dengan kehadiranku, apa enaknya, Ca?
guman Kinan dalam hati. ‘Enak lah, Ca. Duit mencukupi, semua fasilitas ada,
motor baru, laptop high end, smartphone premium, orang tua gak mengekang. Hidup
kamu itu sudah sangat perfect. Sangat Bodoh jikalau kamu masih merasa kurang,’
jawab Ica polos. Kinan hanya bisa mendengus mendengar alasan Ica yang sudah
bosan didengarnya. Hatinya terasa seperti teriris, knapa masih saja ada orang
yang berpikiran seperti itu. ‘Ga enak, Ca. Kamu harus jalani hidup tanpa rasa
kasih sayang langsung dari kedua orang tua, aku terkadang capek melihat mama
papaku yang hampir seperti gila kerja itu, mana rumah udah kayak hotel cuma
buat makan, mandi, sama istirahat doang. Okelah, fasilitas memang tercukupi
tapi rasanya itu kosong, Ca. Aku hampir gak punya waktu walupun hanya sekedar
buat ngobrol santai, aku jarang sekali didengerin sama mereka. Mereka memang
dekat tapi rasanya seperti jauh buat aku,’ bulir air mata mulai mengalir di
pipi Kinan. Ia merasakan beban itu rasanya sedikit terangkat, ia sudah sangat
lelah menyimpannya sendiri selama ini. Kinan sangat gak mau jika orang menilai
negatif keluarganya. Menyesal, lalu Ica memeluk Kinan. Sebenarnya banyak yang
Ica belum ketahui dari Kinan, itu semua karena Kinan gak suka orang lain untuk
mengasihaninya. Dia sudah cukup tegar sampai dengan pagi ini, namu ia harus
terlihat lemah di depan sahabatnya.
‘Uang gak selamanya memberikan kamu kebahagiaan, Ca. Aku sangat
iri sama kehidupan kamu yang memiliki orang tua peduli sama anaknya. Dalam
hidup ini terkadang yang kita butuhin bukan cuma uang buat hidup,’ bisik Kinan
kepasa sahabatnya. Rasa hangat seakan sudah merebak di dalam relung hati Kinan.
Ica tak dapat berkomentar apa-apa hanya merapatkan pelukannya saja. Ia sangat
menyadari banyak yang Kinan belum ceritakan padanya. Kini ia sudah menyadari
betapa besar beban yang ditanggung sama sahabatnya itu, beban yang harus
dipikul seorang diri ketika ai masih berumur tujuh belas tahun.
‘Ben, maaf ya aku tidak bisa menerima semua ini dari kamu,’ ujar
Kinan sangat dengan hati-hati sambil memberikan sebuah kardus berwarna coklat
yang hampir dipenuhi dengan barang-barang khas cewek pada lelaki yang bertubuh
tinggi di depannya. Laki-laki itu menatap Kinan dengan penuh tanda tanya,
hatinya pun mendadak seperti terasa nyeri laksana terserang serangan jantung
dadakan. ‘sebenarnya Aku sudah sangat ikhlas dapat memberikan semua ini
pada kamu,’ kata Ruben dengan kaget. Ia bingung tidak tau berkata apa-apa lagi
pada perempuan yang sangat ia sayang itu. ‘aku tahu kamu sangat menyayangi aku,
Kinan?’ tanya Ruben sambil menatap lurus manik hitam yang berada di hadapannya
yang seketika menunduk lesu. Ia menyadari ada perubahan ekspresi pada perempuan
yang berada di hadapannya secara drastis, Kinan merasa bahunya seakan roboh
mendengar pertanyaan itu. Ruben sudah sangat lama mendambakan mu Kinan, banyak
macam cara telah ia lakukan untuk dapat menarik simpati Kinan. Berbagai macam
barang kesukaannya langsung ruben belikan tanpa tanggung-tanggung. tetapi Kinan
hanya dapat menerima Ruben sebagai teman saja tidak lebih dari itu, jujur ia
sangat bingung memikirkan bagaimana cara membuat Ruben untuk dapat mengerti
bahwa ia hanya suka berteman saja. Sebenarnya Kinan tidak mau melukai hati dan
perasaan Ruben, tapi mungkin carannya saja yang salah. Ia malah membuat Ruben
terkadang berpikir jika Kinan memberi harapan lebih dari seorang teman padanya.
Agak Rumit memang. ‘tetapi setidaknya Aku sudah membuktikan rasa sayangku pada
kamu, Nan. Itu semua bukti dari rasa sayangku pada kamu, aku sangat peduli sama
kamu,’ ucap Ruben untuk meyakinkan Kinan. Memang tidak ada sedikitpun terlitas
rona dusta di matanya, semuanya itu benar, dan jujur adnya dari dalam hati.
Tapi Kinan tidak suka diperlakukan seperti itu olehnya.
‘sorry, Ben. Aku bukan tipe orang seperti itu dan aku juga tidak
pernah minta kamu untuk membeli semua ini buat aku. Jujur saja, sebenarnya aku
sendiri masih mampu kok membeli semua ini dengan uangku sendiri jika aku mau,’
Kinan tak mau direndahkan.
‘Bukan, Nan. Bukan itu yang aku maksudkan, aku hanya mau
buktikan pada kamu, kalau aku benar-benar serius dan gak main-main. Aku tidak
akan membikin kamu kecewa.’
‘Sudahlah, Ben. Terima saja ini, aku tidak pantas untuk mendapatkan semua ini. Aku bukan tipe perempuan yang baik untuk kamu, aku tidak punya perasaan yang sama dengan kamu. Aku suda coba, tapi aku tak bisa. Maaf. Aku masih yakin jika di luar sana masih banyak orang lain yang lebih baik dari aku dan pastinya bisa membalas perasaan kamu itu. Aku tahu kamu cowok yang baik-baik dan makasih atas semua perhatianmu selama ini,’ ucap Kinan sambil memberikan kardus itu kapada Ruben. Memang mungkin itu menyakitkan untuk Ruben, tapi inilah jalan yang terbaik. Kinan sudah lelah berpura-pura bersikap manis selama ini kepadanya hanya untuk menghargai segala usaha yang dilakukanya.