Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema dalam Penulisan - Pondok Belajar

Saturday, March 11, 2017

Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema dalam Penulisan

Tema adalah ide sebuah cerita. Bila seorang pengarang mengemukakan hasil karyanya, sudah tentu ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Sesuatu yang menjadi pokok persoalan atau sesuatu yang menjadi pemikirannya itulah yang disebut dengan tema. Tema tidak disampaikan begitu saja akan tetapi disampaikan melalui sebuah jalinan cerita. Kita hanya akan menemukan tema sebuah cerita setelah kita membaca dan menafsirkannya. Tema berbeda dengan pokok cerita. Boleh dikatakan tema adalah pokok pikiran atau pokok persoalan yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui jalinan cerita yang dibuatnya.
Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema Penulisan
Pengertian Jenis dan Tingkatan Tema Penulisan 
Cerita atau jalinan cerita yang disusun oleh pengarang tentu mempunyai pokok cerita. Tidak mungkin ada cerita tanpa pokok cerita. Kalau sampai terjadi yang demikian itu, jalan cerita tersebut tidak terarah dan tidak tersusun rapi atau bahkan mungkin ceritanya membingungkan karena tidak jelas apa yang diceritakan. Pokok cerita adalah sesuatu yang diceritakan oleh pengarang. Ini berbeda dengan tema. Tema terletak di balik pokok cerita tersebut. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa tema adalah pokok pikiran atau pokok persoalan di balik pokok cerita.

Menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro, 2005:68) menyebutkan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menompang sebuah karya sastra dan mengandung di dalam teks sebagai struktur yang semantis dan yang menyangkut kesamaan-kesamaan atau perbedaan-perbedaan yang ada. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal lebih bersifat ”mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik, situasi tertentu, termasuk beberapa unsur intrinsik lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu.

Dengan demikian menentukan tema sebuah karya fiksi (cerpen) haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walaupun sulit ditentukan secara pasti, ia bukanlah makna yang ”disembunyikan”, walaupun belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Kita tahu bahwa tema merupakan sebuah makna pokok dari sebuah fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan yang disebabkan kearena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca dari sebuah cerita. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan ”tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya. Karena itu, seperti dikemukakan Nurgiyantoro (2005:70) tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan umum cerita yang dipergunakan untuk mengembangkan sebuah cerita yang dibuat. Dalam kata lain, cerita tentunya akan ‘setia’ mengikuti gagasan dasar yang bersifat umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga kejadian peristiwa konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain diusahakan mencerminkan metode diskusi yang ril. Sering sekali untuk mengatasi hal ini, guru terpaksa menempuh langkah yang keliru. Nurgiyantoro (2005:84) menyebutkan bahwa cara yang ditempuh guru selama ini yaitu menentukan sendiri atau mendikte tema dari karya sastra yang dibicarakan. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan timbullah ekses yang tidak baik seperti tumbuhnya sikap apatis, kurang kreatif, tidak dapat berfikir dan menganalisis secara kritis, dan lain-lain.
Sebenarnya, untuk memudahkan menganalisis dan menentukan tema karya sastra, khususnya cerpen, menurut Nurgiyantoro (2005:85) dapat dengan memahami cerita itu, mencari kejelasan ide perwatakan, peristiwa-peristiwa konflik, dan latar. Jika hal tersebut sudah terpahami, maka langkah selanjutnya ditempuh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti (1) Apa motivasinya, permasalahan yang dihadapi? (2) Bagaimana perwatakan pelakunya? (3) Bagaimanakah sikap dan pandangannya terhadap permasalahan itu? (4) Apa (dan bagaimana cara) yang dipikir, dirasakan, dan dilakukan? (5) Bagaimanakah keputusan yang diambil?
Semua pertanyaan tersebut diajukan untuk memudahkan menarik atau menentukan tema dari sebuah cerita. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan sebelum membaca sebuah cerita (cerpen).

Tema dalam karya sastra banyak sekali ragamnya, misalnya tema perjuangan, kemasyarakatan, kemanusiaan, ketuhanan, kejiwaan, kesenian, dan sebagainya. Tema-tema umum itu cukup luas sehingga para sastrawan mempersempit permasalahan tersebut menjadi lebih jelas. Nurgiyantoro (2005:77) menggolongkan tema ke dalam beberapa kategori yang berbeda, bergantung pada dari segi mana hal itu dilakukan. Jenis Penggolongan tema yang akan dikemukakan berikut disajikan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya.

(1) Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional merupakan tema yang sudah sering diungkapkan, bahkan berulang-ulang. Artinya, tema tersebut telah lama dipergunakan dan terdapat hampir dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama, sehingga daya tariknya terasa berkurang. Hal-hal yang dipandang sebagai tema bersifat tradisional seperti kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, tindak kejahatan walau ditutup-tutupi akan ketahuan atau terbongkar juga, tindak kebenaran dan kejahatan akan menerima pembalasannya, cinta sejati menuntut pengorbanan, dan lain-lain sebagianya. 

Walaupun tema tradisional dalam penyajiannya bervariasi, sedikit banyaknya berkaitan dengan masalah kebenaran dan kejahatan. Oleh karena itu, tema-tema tradisional merupakan tema yang banyak digemari orang, karena sering terkait dengan aktivitas kehidupan sehari-hari, norma-norma yang diyakini, dan banyak pula terkait dengan pandangan (falsafah) hidup. Hal ini terkait dengan kecenderungan orang secara umum, yaitu mencintai kebenaran dan memusuhi kejahatan. Hal ini dapat ditemui dalam cerita-cerita Melayu lama seperti hikayat, cerita detektif populer, cerita silat, dan lain-lain. Cerita-cerita tersebut pada umumnya mempertentangkan hal yang baik dengan hal yang buruk. Demikian juga dengan cerpen-cerpen yang dominan nilai-nilai sastra. Cerpen-cerpen jenis ini banyak mengangkat tema tradisional.
Sebaliknya tema nontradisional yaitu tema yang tidak lazim. Satu sisi, kehadiran cerpen yang mengangkat tema nontradisional kurang diminati karena mempersoalkan hal-hal yang asing atau jarang berkaitan dengan aktivitas kehidupan. Tidak jarang pula, dalam cerpen yang mengangkat tema seperti ini bercerita tentang kejadian-kejadian yang berakhir dengan peristiwa atau hal yang tidak diharapkan, seperti tokoh protagonis dikalahkan oleh tokoh antagonis. Kebaikan dikalahkan oleh kejahatan, dan lain-lain. Dengan kata lain, cerpen yang mengangkat tema nontradisional memang terasa banyak mengangkat persoalan yang tidak diinginkan pembaca terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi terkesan lebih objektif karena sering terjadi. Misalnya, koruptor ulung sering terlepas dari tuntutan jaksa penuntut karena ia mampu menyuap hakim. Orang miskin kalah dalam perkara karena tidak mampu membayar pengacara ulung. Pejabat yang tidak terampil atau tidak jujur mendapat kedudukan yang lebih tinggi sementara pejabat yang jujur tidak mendapat kesempatan untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih layak, bahkan sering dilukiskan mendapat perlakuan yang tidak wajar dari atasannya, dan lain-lain.

(2) Tingkatan tema menurut  Shipley

Shipley (dalam Nurgiyantoro, 2005:80) membagi tema atas lima tingkatan, yaitu:

(a) Tema tingkat fisik
Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyarankan dan ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan. Dengan kata lain, tema tingkat ini lebih menekankan pada mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. Penekanan dalam cerpen tingkat ini terjadi pada latar.

(b) Tema tingkat organik
Tema tingkat ini lebih cenderung mempersoalkan seksualitas dengan berbagai masalahnya. Misalnya, penyelewengan atau pengkhianatan, bahkan memungkinkan dipersoalkan kelainan-kelainan, penyimpangan perilaku seksualitas.

(c) Tema tingkat sosial

Jenis Tema tingkat sosial banyak membicarakan masalah kehidupan bermasyarakat. Cerpen yang menggunakan tema tingkat sosial ini memandang kehidupan sebagai tempat terjadinya aksi-interaksi manusia dengan sesama dan dengan lingkungannya yang mengandung banyak sekali konflik, permasalahan, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian dari tema tersebut. Masalah-masalah sosial itu antara lain masalah pendidikan, ekonomi, kebudayaan, politik, pengorbanan, perjuangan, cinta, dan lain-lain sebagainya.

(d) Tema tingkat egoik

Dalam karya yang mengangkat tema tingkat egoik terlihat manusia digambarkan selain sebagai makhluk sosial juga dipandang sebagai makhluk individu. Artinya, manusia selalu menuntut adanya haknya sebagai individu. Masalah individualitas ini antara lain masalah egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap lain yang dimiliki manusia.

(e) Tema tingkat divine
Masalah yang menonjol dalam cerpen yang mengangkat tema tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiusitas, atau berbagai masalah lain yang bersifat filosofis seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

(3) Tema utama dan tema tambahan

Nurgiyantoro (2005:82-83) menyebutkan tema utama (tema mayor) yaitu makna pokok atau utama cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar dari cerita. Untuk menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih, menilai, dan mempertimbangkan, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh sebuah karya tertentu.
Selanjutnya, tema tambahan atau tema minor yaitu makna tambahan yang mendukung makna utama. Makna atau tema tambahan bersifat tersirat pada sebagian besar cerita, atau dapat juga disebut sebagai makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu saja. Dengan demikian, banyak sedikitnya tema minor tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan atau makna pelengkap yang mendukung keberadaan tema utama. Penafsiran terhadap tema makna tambahan haruslah dibatasi pada makna-makna yang menonjol saja, punya bukti, dan dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, penafsiran terhadap sebuah makna tertentu pada sebuah karya itu bukan dilakukan secara ngaur.

2 comments:

terimakasih telah berkomentar