Pondok Belajar

Wednesday, April 05, 2017

Refleksi Hasil Penilaian Pembelajaran Pementasan Drama

Menanggapi hasil Penilaian Pementasan Drama
Pengujian berbasis kompetensi dasar dilakukan dengan sistem pengujian berkelanjutan. Sistem pengujian berkelanjutan menunjuk pada pengertian bahwa semua indikator harus dibuat soalnya dan kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar apa saja yang sudah atau belum dikuasai oleh peserta didik. 
Menanggapi hasil Penilaian Pementasan Drama
Refleksi Hasil Penilaian Pembelajaran Pementasan Drama
Jika penggunaan materi kompetensi dasar yang secara global masih menjadi kesulitan bagi peserta didik, maka haruslah diulangi kegiatan proses belajarnya sampai pada tahapan dimana peserta didik tersebut mampu mencapai penguasaan nilai minimal yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, soal-soal ujian yang dibuat harus berdasarkan indikator-indikator yang ada dan benar-benar mencerminkan tuntutan indikator. Jika indikator menuntut peserta didik melakukan unjuk kerja berbahasa tertentu, lisan dan tertulis maka soal-soal ujian itu juga harus menuntutpeserta didikuntuk berunjuk kerja bahasa secara lisan atau tertulis. Bentuk ujian yang dipergunakan antara lain dapat berupa: pertanyaan lisan di kelas, ulangan harian, praktek berunjuk kerja bahasa dan sastra atau melakukan sesuatu, tugas rumah baik individual maupun kelompok dan ulangan akhir semester. Untuk dapat melaksanakan pengujian berkelanjutan secara terencana perlu dibuat kisi-kisi pengujian secara menyeluruh yang mencakup seluruh kompetensi dasar dalam satu semester. 
Selain itu, sistem pengujian yang Berbasis Kompetensi Dasar mempergunakan acuan kriteria karena yang dipentingkan adalah apa yang dimiliki dan dapat dilakukan peserta didik setelah terlibat dalam proses pembelajaran. Adapun jenis Tes acuan kriteria minimal ini berasumsi bahwa hampir semua orang dapat melakukan proses pembelajaran terhadap apa saja dengan catatan diberi waktu yang memadai/cukup dan kebutuhan waktu tiap peserta didik biasanya berbeda. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi acuan ini adalah dengan adanya program remedial dan pengayaan. Program remedial diberikan kepada peserta didik yang belum menguasai kompetensi dasar dengan standar yang ditetapkan sedangkan program pengayaan diberikan kepadapeserta didikyang telah mencapai standar. Penafsiran skor hasil tes dilakukan dengan membandingkannya dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Proses Penilaian berbasis kompetensi ini sangat menekankan pada pentingnya penilaian proses dengan tujuan untuk memahami kemajuan belajar peserta didik. Hal ini juga berkaitan dengan sistem pengujian berkelanjutan di atas yaitu bahwa semua Indikator harus diujikan. Indikator yang tidak dapat diujikan pada akhir kegiatan pembelajaran  dapat diujikan di tengah proses pembelajaran. Penilaian proses yang sering disebut sebagai penilaian kelas yaitu penilaian yang dilakukan di kelas ketika kegiatan pembelajaran berlangsung untuk memperoleh informasi, memahami peserta didik, merencanakan, memonitor proses pembelajaran dan menciptakan suasana kelas yang bergairah. Penilaian ini dilakukan secara terus-menerus selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Penilaian proses merupakan kegiatan guru membaca situasi kelas menit demi menit, memaknai dan membuat keputusan apa yang harus dilakukan pada kegiatan berikutnya.

Disamping itu, Penilaian proses juga memiliki hubungan yang erat dengan usaha memberikan umpan balik terhadap proses pembelajaran baik untuk tenaga pendidik sendiri maupun untuk peserta didik. Berdasarkan informasi yang diperoleh guru haruslah segera mengambil keputusan yang berkaitan dengan tingkah laku belajar siswa, peningkatan keberhasilan belajar siswa, penciptaan suasana kelas yang mendukung dan perencanaan-perencanaan kegiatan pembelajaran selanjutnya. Dengan demikian, penilaian proses harus direncanakan oleh guru sebelumnya dengan tujuan yang jelas dan terkontrol. Penilaian itu misalnya berupa ulangan-ulangan harian, pemberian tugas-tugas tertentu di kelas sesuai dengan bidang pembelajaran bahasa dan sastra yang dibelajarkan dan pemberian tugas-tugas rumah tertentu yang direncanakan secara matang. 

Penilaian proses bahkan sering menjadi bagian. teknik pembelajaran yang dipilih guru dalam proses pembelajaran. Adapun Masukan informasi yang diperoleh dari hasil prose penilaian tersebut dapat digunakan untuk perencanaa proses perbaikan kegiatan pembelajaran pada tahapan selanjutnya. Pengembangan soal-soal ujian harus mempertimbangkan karakteristik bidang studi. Kompetensi yang ingin dicapai dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia secara jelas telah ditunjukkan dalam rumusan standar kompetensi yang kemudian dijabarkan menjadi kompetensi dasar dan indikator. Selain itu, guru harus memperhatikan hakikat bahasa dan sastra sebagai sebuah fakta sosial, pendekatan pembelajaran bahasa dan sastra yang dipergunakan karena keduanya saling terkait. 

Menurut Endaswara (2005:235-236) mengatakan bahwa evaluasi pengajaran sastra harus mencakup lima hal yaitu:

(1) Evaluasi kemampuan menafsirkan watak.
Jenis evaluasi ini menekankan pada Pemahaman subjek didik terhadap watak tokoh untuk selanjutnya dapat diinternalisasi ke dalam diri mereka. ini semua disertai alasan-alasan logis/masuk akal. Tingkat kualitas pemberian alasan itulah yang dikategorikan subjek didik berhasil. 

(2) Evaluasi kesensitifan terhadap bentuk dan gaya. 
Dalam kaitan ini, subjek didik diharapkan mampu menafsirkan bentuk dan gaya yang terdapat dalam karya sastra. Bagaimana tanggapan mereka terhadap bentuk dan gaya, tepat tidaknya pemilihan bentuk dan gaya, tingkat estetika karya sastra dst. Harus dicermati subjek didik yang berhasil tentu akan mampu menyatakan sinkronisasi bentuk dan gaya dengan makna karya sastra, baik secara tersurat maupun tersirat. 

(3) Evaluasi penangkapan ide dan tema.
Dalam hal ini subjek didik yang mampu menemukan ide dan tema dengan segala alasan logis, termasuk berhasil dalam pengajaran. Untuk lebih jelasnya, Pemahaman atas ide dan tema tersebut harus dibarengi  indikator-indikator yang jelas/rinci.

(4) Evaluasi terhadap pemahaman unsur-unsur luar karya sastra.
Kemampuan subjek didik menemukan dan menghubungkan secara kontekstual unsur-unsur ekstrinsik sastra, akan mengindikasikan keberhasilan pengajaran. Ini juga dimaksdukan sebagai wadah untuk mengukur penguasaan cabang-cabang ilmu lain di luar pembelajarn sastra.

(5) Evaluasi terhadap tanggapan perseorangan. Apresiasi sastra memang seharusnya berdampak pada pribadi subjek didik. Karena itu tanggapan subjektif dan objektif tiap-tiap subjek didik patut dievaluasi juga. Apakah subjek didik mampu menyeimbangkan emosi, terdorong keinginannya, dan tumbuh daya kreativitasnya atau tidak.

Selanjutnya, tingkatan evaluasi pengajaran sastra dapat menggunakan model taksonomi Bloom (Nuigiyantoro, 1988:301-308) yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

(1) Tes kesastraan tingkat ingatan
Tes ini sekedar mengungkap kembali fakta, konsep, definisi, deskripsi, nama pengarang, nama angkatan dll. Misalkan, apa yang dimaksud dengan alur, sebutkan pembagian angkatan kesusastraan dan siapa pelopor angkatan 45.

(2) Tes kesastraan tingkat pemahaman
Tes ini menghendaki subjek didik mampu membedakan, memahami, menjelaskan, tahu hubungan antar konsep yang sifatnya sekedar mengingat. Misalnya: buatlah ringkasan novel, jelaskan perbedaan soneta dengan pantun. 

(3)  Tes kesastraan tingkat penerapan.
Tes ini menuntut subjek didik menerapkan pengetahuan teoritik ke dalam kegiatan praktis yang konkret. Artinya subjek didik dituntut benar-benar untuk "memperlakukan" karya sastra secara nyata. Jenis Kemampuan aplikatif ini dapat dikelompokkan antara lain berupa: mengubah, memodifikasi, mendemonstrasikan, mengoperasikan, dan menerapkan sesuatu hal. Misalkan: ubah wacana dari novel Belenggu di atas ke dalam bentuk dialog

(4) Tes kesastraan tingkat analisis.
Subjek didik dituntut membaca karya sastra dan menganalisisnya. Analisis dapat dari aspek intrinsik dan ekstrinsik karya sastra. Misalkan: jelaskan bagaimana pengarang mengembangkan alur dalam novel dalam novel Layar Terkembang Karya Sultan Takdir Alisyahbana.

(5) Tes kesastraan tingkat sintesis. 
Tes ini menuntut subjek didik mengategorikan, menghubungkan, mengombinasikan, dan meramalkan hal-hal yang berkenaan dengan unsur-unsur karya sastra.  

(6) Tes kesastraan tingkat penilaian.
Tingkatan ini menuntut subjek didik cermat mengevaluasi karya sastra, memberikan komentar dan alasan-alasan estetika. Misalkan, tentang masalah ketepatan diksi, ketepatan alur, dll. Kemampuan berpikir evaluatif juga terkait dengan perbandingan antar karya sastra.
Evaluasi merupakan langkah akhir dan pengajaran meskipun setelah itu ada juga langkah tindak lanjut. Biasanya banyak pemahaman yang salah dimanan setelah melakukan proses evaluasi, proses kegiatan belajarn mengajar sudah dianggap selesai padahal seharusnya harus ada pola pengembangan dan pembinaan sastra supay dapat meningkatkan apa yang telah dipahami oleh peserta didik.

Pada dasarnya evaluasi dalam pengajaran sastra memang dapat dilakukan seperti halnya pengajaran yang lain. Artinya pengajaran dapat menggunakan tes objektif maupun tes essei (uraian) yang penting baik tes pilihan ganda maupun uraian harus terfokus pada apresiasi. 

Hoa Nio (1981:31) memberikan rambu-rambu beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam pengajaran drama antara lain tentang: “Lafal, tekanan, lagu kalimat, gerak, mimik, dan sejauh mana subjek didik menghayatinya. Evaluasi semacam ini dapat dilakukan sendiri oleh subjek didik dengan temannya. Evaluasi oleh subjek didik ini diharapkan lebih objektif kendatipun evaluasi oleh pihak pengajar tidak harus ditinggalkan”.
Komponen lain yang perlu dievaluasi adalah tentang: (1) pengetahuan- pemahaman teks (gaya, tema, pengembangan watak), (3) ekspresi individu (menekankan pada penjiwaan), dan (4) apresiasi sastra drama meliputi fakta (meliputi pengarang, perwatakan, situasi dan latar belakang historis; (5) penghayatan dan penjabaran nilai-nilai dalam naskah drama) Sukristanto (dalam Endaswara:2005:256).

Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa pengajaran drama di sekolah memang tidak dimaksudkan untuk mencetak aktor atau dramawan tetapi sekedar memberikan pengalaman agar subjek didik berkembang menjadi manusia yang matang dan utuh. Oleh karena itu, evaluasi bukanlah pada hasil melainkan pada proses. Beberapa catatan yang mungkin dapat dipedomani dalam evaluasi adalah: (a) bagaimana penghayatan cerita subjek didik, (b) bagaimana pemahaman, (c) bagaimana pemahaman dan penafsiran dialog, (d) bagaimana kemampuan subjek didik memetik nilai-nilai dan (e) bagaimana kemampuan menangkap alur.

Monday, April 03, 2017

Penggunaan Media dan Evaluasi Pembelajaran Drama

Penggunaan Media Pembelajaran Drama Pada Siswa
Adapun media pembelajaran adalah sarana pembelajaran yang digunakan siswa atau guru untuk proses belajar mengajar. Suatu hal yang jarang terpikirkan dalam pengajaran sastra adalah media dan pembinaannya. Kadang-kadang guru sastra begitu puas dengan bermediakan karya sastra saja. Guru sering mengabaikan masalah media dan pembinaan padahal  semenarik apapun karya sastra yang dipilih jika tanpa media pengajaran yang menunjang kesungguhannya kurang memberikan suasana yang menarik. 


Penggunaan Media dan Evaluasi Pembelajaran Drama Pada Siswa
Penggunaan Media dan Evaluasi Pembelajaran Drama Pada Siswa

Menurut Waluyo (2005:81-82) “Untuk memilih media pengajaran sastra yang baik ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan yaitu harus memehami betul usia yang akan mempergunakannya, lingkungan sosial budaya dan karakteristik subjek dididik. Kemudahan mendapatkan media akan membantu kelancaran pengajar. Menarik tidaknya sebuah media bergantung pada yang akan mempergunakannya“. 
Media pengajaran seharusnya dapat meningkatkan intensitas pengajaran sastra. Pengajaran sastra akan semakin bergairah, menarik dan mempermudah proses. Menurut Waluyo (2005:82) secara garis besar media pengajaran sastra dapat berupa: 
(a) Media elektronik yang meliputi: tape recorder, televisi dan VCD;
(b) Media cetak yang meliputi : buku, majalah, surat kabar dan tabloid;
(c) Media gambar yang meliputi: foto-foto berkaliber dunia;
(d) Media alamiah yang meliputi: batu-batuan dan dedaunan;
(e) Media orang yang meliputi aktor dan aktris.
Guru memegang peranan penting dalam memfungsikan media. Dalam hal ini Subyakto ( dalam skripsi Juariah 2000:19) menjelaskan sebagai berikut:
Berbagai media-media pengajaran sastra memberikan bantuan yang sangat penting/besar dalam proses belajar mengajar.  Namun, peran yang dimainkan oleh guru itu sendiri sangat menentukan terhadap aktivitas penggunaan media dalam pengajaran.  Peran guru tercermin dari kemampuan memilih aneka ragam media itu sesuai dengan situasi dan kondisi.

Dengan demikian, jelaslah media pengajaran sastra mempunyai fungsi dan peran yang sangat menentukan dalam usaha pencapaian tujuan pengajaran sastra di sekolah. Dalam pencapaian ini dituntut kemampuan guru yang mengajarkan sastra untuk menggunakan dan memilihnya sesuai dengan tujuan pembelajaran, situasi belajar dan kondisi siswa.

Pengajaran sastra juga perlu ditunjang dengan pengumpulan kliping sastra. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam bentuk kelompok maupun perorangan. Di samping itu, dapat berupa majalah dinding, majalah sekolah dan perlombaan. Majalah ini seakan-akan sebagai “taman ria” subjek didik untuk mencurahkan ekspresinya dan perlombaan tidak harus berskala besar melainkan dapat di lingkup kelas maupun antar kelas dalam sekolah. 

Perlombaan ke luar sekolah  harus dibina oleh pengajar agar subjek didik tidak merasa minder. Jika mereka menjadi pemenang tentu saja perlu imbalan nilai tambah (istimewa) untuk merangsang subjek didik bersastra.

Jenis Evaluasi Pembelajaran Drama Pada Siswa 

Penilaian  merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan pengajaran secara umum. Adapun Semua jenis kegiatan pendidikan di aplikasikan di dlam keals harus selalu dibarenagi dengan program kegiatan penilaian pencapaian pembelajaran. Pada hakikatnya kegiatan penilaian yang dilakukan tidak semata-mata untuk menilai hasil belajar siswa melainkan juga berbagai faktor yang lain di antaranya adalah kegiatan yang dilakukan pengajaran itu sendiri. Artinya berdasarkan informasi yang diperoleh dari penilaian terhadap hasil belajar siswa itu dapat pula dipergunakan sebagai umpan balik terhadap kegiatan pengajaran yang dilakukan. 

Hasil penilaian yang diberikan guru kepada siswa yang berupa angka-angka atau simbol lainnya kadang-kadang dipandang sebagai “nasib” oleh peserta didik baik dari segi konotasi positif atau negatif, langsung atau tidak langsung.  Menyangkut masalah ini pihak guru harus bertindak dan berusaha dengan baik, jujur dan seobjektif mungkin terutama yang berkaitan dengan penyusunan dan penafsiran hasil penilaian. Umumnya kegiatan penilaian yang dilakukan oleh guru menggunakan alat penilaian yang disusun sendiri oleh guru yang bersangkutan. Oleh karena hasil penilaian itu sangat menentukan alat evaluasi yang dipergunakan harus dapat dipertanggungjawabkan dengan baik dari segi kelayakan, kesahihan, maupun kepercayaannya. 

Untuk itu, pihak guru haruslah menguasai teknik penyusunan dan penilaian alat evaluasi serta penafsiran terhadap hasil penilaian yang diperoleh baik berupa data kuantitatif maupun kualitatif.
Penilaian dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sangat penting karena Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menempatkan penguasaan berbagai kompetensi pada akhir kegiatan pembelajaran. Indikasi-indikasi bahwa seorang siswa telah menguasai kompetensi-kompetensi yang diajarkan hanya dapat diketahui lewat penilaian yang dibuat untuk tujuan itu. Oleh karena itu, pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga menempatkan penilaian dalam posisi yang penting dengan memberikan pedoman pengembangan penilaian yang bersifat umum yang berlaku untuk semua mata pelajaran dan bersifat khusus untuk tiap mata pelajaran.

Dalam pembelajaran drama ada tiga kompetensi yang akan diajarkan. Oleh karena itu ada tiga pula sistem penilaian yang harus disusun oleh guru yang bersangkutan. Yaitu sebagai berikut:

1. Penilaian menulis naskah drama
2. Penilaian memerankan drama
3. Penilaian menanggapi pementasan drama 


Sunday, April 02, 2017

The Elements Of Writing Thesis And Dissertation Proposal (3)

In the previous Post, I already described the conceptual framework of thesis and dissertation Proposal for section (2). Now I would like to continue for the last session (3)
The Elements Of Writing Thesis And Dissertation Proposal (3)
The Elements Of Writing Thesis And Dissertation Proposal (3)

VI.    The Design--Methods and Procedures

A. “The methods or procedures section is really the heart of the research proposal. The activities should be described with as much detail as possible, and the continuity between them should be apparent” (Wiersma, 1995, p. 409).

B. Indicate the methodological steps you will take to answer every question or to test every hypothesis illustrated in the Questions/Hypotheses section.

C. All research is plagued by the presence of confounding variables (the noise that covers up the information you would like to have). Confounding variables should be minimized by various kinds of controls or be estimated and taken into account by randomization processes (Guba, 1961). In the design section, indicate the variables you propose to control and how you propose to control them, experimentally or statistically, and the variables you propose to randomize, and the nature of the randomizing unit (students, grades, schools, etc.).

D. Be aware of possible sources of error to which your design exposes you. You will not produce a perfect, error free design (no one can). However, you should anticipate possible sources of error and attempt to overcome them or take them into account in your analysis. Moreover, you should disclose to the reader the sources you have identified and what efforts you have made to account for them.

E.   Sampling

1. The key reason for being concerned with sampling is that of validity—the extent to which the interpretations of the results of the study follow from the study itself and the extent to which results may be generalized to other situations with other people (Shavelson, 1988).

2. Sampling is critical to external validity—the extent to which findings of a study can be generalized to people or situations other than those observed in the study. To generalize validly the findings from a sample to some defined population requires that the sample has been drawn from that population according to one of several probability sampling plans. By a probability sample is meant that the probability of inclusion in the sample of any element in the population must be given a priori. All probability samples involve the idea of random sampling at some stage (Shavelson, 1988). In experimentation, two distinct steps are involved.

a. Random selection—participants to be included in the sample have been chosen at random from the same population. Define the population and indicate the sampling plan in detail.

b. Random assignment—participants for the sample have been assigned at random to one of the experimental conditions.

3. Another reason for being concerned with sampling is that of internal validity—the extent to which the outcomes of a study result from the variables that were manipulated, measured, or selected rather than from other variables not systematically treated. Without probability sampling, error estimates cannot be constructed (Shavelson, 1988).

4. Perhaps the key word in sampling is representative. One must ask oneself, “How representative is the sample of the survey population (the group from which the sample is selected) and how representative is the survey population of the target population (the larger group to which we wish to generalize)?”

5. When a sample is drawn out of convenience (a nonprobability sample), rationale and limitations must be clearly provided.

6. If available, outline the characteristics of the sample (by gender, race/ethnicity, socioeconomic status, or other relevant group membership).

7. Detail procedures to follow to obtain informed consent and ensure anonymity and/or confidentiality.

F. Instrumentation

1. Outline the instruments you propose to use (surveys, scales, interview protocols, observation grids). If instruments have previously been used, identify previous studies and findings related to reliability and validity. If instruments have not previously been used, outline procedures you will follow to develop and test their reliability and validity. In the latter case, a pilot study is nearly essential.

2. Because selection of instruments in most cases provides the operational definition of constructs, this is a crucial step in the proposal. For example, it is at this step that a literary conception such as “self-efficacy is related to school achievement” becomes “scores on the Mathematics Self-Efficacy Scale are related to Grade Point Average.” Strictly speaking, results of your study will be directly relevant only to the instrumental or operational statements (Guba, 1961).
3. Include an appendix with a copy of the instruments to be used or the interview protocol to be followed. Also include sample items in the description of the instrument.

4. For a mailed survey, identify steps to be taken in administering and following up the survey to obtain a high response rate.

G. Data Collection

1. Outline the general plan for collecting the data. This may include survey administration procedures, interview or observation procedures. Include an explicit statement covering the field controls to be employed. If appropriate, discuss how you obtained entré.

2. Provide a general outline of the time schedule you expect to follow.

H. Data Analysis

1.  Specify the procedures you will use, and label them accurately (e.g., ANOVA, MANCOVA, HLM, ethnography, case study, grounded theory). If coding procedures are to be used, describe in reasonable detail. If you triangulated, carefully explain how you went about it. Communicate your precise intentions and reasons for these intentions to the reader. This helps you and the reader evaluate the choices you made and procedures you followed.

2. Indicate briefly any analytic tools you will have available and expect to use (e.g., Ethnograph, NUDIST, AQUAD, SAS, SPSS, SYSTAT).

3. Provide a well thought-out rationale for your decision to use the design, methodology, and analyses you have selected.

VII. Limitations and Delimitations

A. A limitation identifies potential weaknesses of the study. Think about your analysis, the nature of self-report, your instruments, the sample. Think about threats to internal validity that may have been impossible to avoid or minimize—explain.

B. A delimitation addresses how a study will be narrowed in scope, that is, how it is bounded. This is the place to explain the things that you are not doing and why you have chosen not to do them—the literature you will not review (and why not), the population you are not studying (and why not), the methodological procedures you will not use (and why you will not use them). Limit your delimitations to the things that a reader might reasonably expect you to do but that you, for clearly explained reasons, have decided not to do.

VIII. Significance of the Study

A. Indicate how your research will refine, revise, or extend existing knowledge in the area under investigation. Note that such refinements, revisions, or extensions may have either substantive, theoretical, or methodological significance. Think pragmatically (i.e., cash value).

B. Most studies have two potential audiences: practitioners and professional peers. Statements relating the research to both groups are in order.

C. This can be a difficult section to write. Think about implications—how results of the study may affect scholarly research, theory, practice, educational interventions, curricula, counseling, policy.

D. When thinking about the significance of your study, ask yourself the following questions.
1. What will results mean to the theoretical framework that framed the study?
2. What suggestions for subsequent research arise from the findings?
3. What will the results mean to the practicing educator?
4. Will results influence programs, methods, and/or interventions?
5. Will results contribute to the solution of educational problems?
6. Will results influence educational policy decisions?
7. What will be improved or changed as a result of the proposed research?
8. How will results of the study be implemented, and what innovations will come about?

IX. References

A. Follow APA (2001) guidelines regarding use of references in text and in the reference list. Of course, your committee or discipline may require Chicago or MLA.

B. Only references cited in the text are included in the reference list; however, exceptions can be found to this rule. For example, committees may require evidence that you are familiar with a broader spectrum of literature than that immediately relevant to your research. In such instances, the reference list may be called a bibliography.

C. Some committees require that reference lists and/or bibliographies be “annotated,” which is to say that each entry be accompanied by a brief description, or an abstract. Check with your committee Chair before the fact.

Appendixes

The need for complete documentation generally dictates the inclusion of appropriate appendixes in proposals (although this is generally not the case as regards conference proposals).

The following materials are appropriate for an appendix. Consult with your committee Chair.

Verbatim instructions to participants.
Original scales or questionnaires. If an instrument is copyrighted, permission in writing to reproduce the instrument from the copyright holder or proof of purchase of the instrument.

Interview protocols.
Sample of informed consent forms.
Cover letters sent to appropriate stakeholders.
Official letters of permission to conduct research.

Back to Second Session 

References

American Psychological Association (APA). (2001). Publication manual of the American Psychological Association (Fourth edition). Washington, DC: Author.

Armstrong, R. L. (1974). Hypotheses: Why? When? How? Phi Delta Kappan, 54, 213-214.

Creswell, J. W. (1994). Research design: Qualitative & quantitative approaches. Thousand Oaks, CA: Sage.

Guba, E. G. (1961, April). Elements of a proposal. Paper presented at the UCEA meeting, Chapel Hill, NC.

Fraenkel, J. R. & Wallen, N. E. (1990). How to design and evaluate research in education. New York: McGraw-Hill.

Kerlinger, F. N. (1979). Behavioral research: A conceptual approach. New York: Holt, Rinehart, & Winston.

Krathwohl, D. R. (1988). How to prepare a research proposal: Guidelines for funding and dissertations in the social and behavioral sciences. Syracuse, NY: Syracuse University Press.

Locke, L. F., Spirduso, W. W., & Silverman, S. J. (1987). Proposals that work: A guide for planning dissertations and grant proposals (2nd ed.). Newbury Park, CA: Sage.

Marshall, C., & Rossman, G. B. (1989). Designing qualitative research: Newbury Park, CA: Sage.

Shavelson, R. J. (1988). Statistical reasoning for the behavioral sciences (second edition). Boston: Allyn and Bacon.

Wiersma, W. (1995). Research methods in education: An introduction (Sixth edition). Boston: Allyn and Bacon.

Wilkinson, A. M. (1991). The scientist’s handbook for writing papers and dissertations. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

How to cite this web page:

Pajares, F. (2007). Elements of a proposal. Available from the author.

The Elements Of Writing Thesis And Dissertation Proposal (2)

in the previous Post, I already described the conceptual framework of thesis and dissertation Proposal for section (1). Now I would like to continue for second session (2)
The Elements Of Writing Thesis And Dissertation Proposal (2)
The Elements Of Writing Thesis And Dissertation Proposal (2)
IV. Review of the Literature

A. “The review of the literature provides the background and context for the research problem. It should establish the need for the research and indicate that the writer is knowledgeable about the area” (Wiersma, 1995, p. 406).

B. The literature review accomplishes several important things.
1. It shares with the reader the results of other studies that are closely related to the study being  reported (Fraenkel & Wallen, 1990).
2. It relates a study to the larger, ongoing dialogue in the literature about a topic, filling in gaps and extending prior studies (Marshall & Rossman, 1989).
3. It provides a framework for establishing the importance of the study, as well as a benchmark for comparing the results of a study with other findings.
4. It “frames” the problem earlier identified.

C. Demonstrate to the reader that you have a comprehensive grasp of the field and are aware of important recent substantive and methodological developments.

D. Delineate the “jumping-off place” for your study. How will your study refine, revise, or extend what is now known?

E. Avoid statements that imply that little has been done in the area or that what has been done is too extensive to permit easy summary. Statements of this sort are usually taken as indications that the writer is not really familiar with the literature.

F. In a proposal, the literature review is generally brief and to the point. Be judicious in your choice of exemplars—the literature selected should be pertinent and relevant (APA, 2001). Select and reference only the more appropriate citations. Make key points clearly and succinctly. 

G. Committees may want a section outlining your search strategy—the procedures you used and sources you investigated (e.g., databases, journals, test banks, experts in the field) to compile your literature review. Check with your Chair.

V. Questions and/or Hypotheses

A. Questions are relevant to normative or census type research (How many of them are there? Is there a relationship between them?). They are most often used in qualitative inquiry, although their use in quantitative inquiry is becoming more prominent. Hypotheses are relevant to theoretical research and are typically used only in quantitative inquiry. When a writer states hypotheses, the reader is entitled to have an exposition of the theory that lead to them (and of the assumptions underlying the theory). Just as conclusions must be grounded in the data, hypotheses must be grounded in the theoretical framework.

B. A research question poses a relationship between two or more variables but phrases the relationship as a question; a hypothesis represents a declarative statement of the relations between two or more variables (Kerlinger, 1979; Krathwohl, 1988).

C. Deciding whether to use questions or hypotheses depends on factors such as the purpose of the study, the nature of the design and methodology, and the audience of the research (at times even the taste and preference of committee members, particularly the Chair).

D. The practice of using hypotheses was derived from using the scientific method in social science inquiry. They have philosophical advantages in statistical testing, as researchers should be and tend to be conservative and cautious in their statements of conclusions (Armstrong, 1974).

E. Hypotheses can be couched in four kinds of statements.

1. Literary null—a “no difference” form in terms of theoretical constructs. For example, “There is no relationship between support services and academic persistence of nontraditional-aged college women.” Or, “There is no difference in school achievement for high and low self-regulated students.”

2. Operational null—a “no difference” form in terms of the operation required to test the hypothesis. For example, “There is no relationship between the number of hours nontraditional-aged college women use the student union and their persistence at the college after their freshman year.” Or, “There is no difference between the mean grade point averages achieved by students in the upper and lower quartiles of the distribution of the Self-regulated Inventory.” The operational null is generally the preferred form of hypothesis-writing.

3. Literary alternative—a form that states the hypothesis you will accept if the null hypothesis is rejected, stated in terms of theoretical constructs. In other words, this is usually what you hope the results will show. For example, “The more that nontraditional-aged women use support services, the more they will persist academically.” Or, “High self-regulated students will achieve more in their classes than low self-regulated students.”
4. Operational alternative—Similar to the literary alternative except that the operations are specified. For example, “The more that nontraditional-aged college women use the student union, the more they will persist at the college after their freshman year.” Or, “Students in the upper quartile of the Self-regulated Inventory distribution achieve significantly higher grade point averages than do students in the lower quartile.”

F. In general, the null hypothesis is used if theory/literature does not suggest a hypothesized relationship between the variables under investigation; the alternative is generally reserved for situations in which theory/research suggests a relationship or directional interplay.

G. Be prepared to interpret any possible outcomes with respect to the questions or hypotheses. It will be helpful if you visualize in your mind=s eye the tables (or other summary devices) that you expect to result from your research (Guba, 1961).

H. Questions and hypotheses are testable propositions deduced and directly derived from theory (except in grounded theory studies and similar types of qualitative inquiry).

I. Make a clear and careful distinction between the dependent and independent variables and be certain they are clear to the reader. Be excruciatingly consistent in your use of terms. If appropriate, use the same pattern of wording and word order in all hypotheses.


References

American Psychological Association (APA). (2001). Publication manual of the American Psychological Association (Fourth edition). Washington, DC: Author.

Armstrong, R. L. (1974). Hypotheses: Why? When? How? Phi Delta Kappan, 54, 213-214.

Creswell, J. W. (1994). Research design: Qualitative & quantitative approaches. Thousand Oaks, CA: Sage.

Guba, E. G. (1961, April). Elements of a proposal. Paper presented at the UCEA meeting, Chapel Hill, NC.

Fraenkel, J. R. & Wallen, N. E. (1990). How to design and evaluate research in education. New York: McGraw-Hill.

Kerlinger, F. N. (1979). Behavioral research: A conceptual approach. New York: Holt, Rinehart, & Winston.

Krathwohl, D. R. (1988). How to prepare a research proposal: Guidelines for funding and dissertations in the social and behavioral sciences. Syracuse, NY: Syracuse University Press.

Locke, L. F., Spirduso, W. W., & Silverman, S. J. (1987). Proposals that work: A guide for planning dissertations and grant proposals (2nd ed.). Newbury Park, CA: Sage.

Marshall, C., & Rossman, G. B. (1989). Designing qualitative research: Newbury Park, CA: Sage.

Shavelson, R. J. (1988). Statistical reasoning for the behavioral sciences (second edition). Boston: Allyn and Bacon.

Wiersma, W. (1995). Research methods in education: An introduction (Sixth edition). Boston: Allyn and Bacon.

Wilkinson, A. M. (1991). The scientist’s handbook for writing papers and dissertations. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

How to cite this web page:
Pajares, F. (2007). Elements of a proposal. Available from the author.

Saturday, April 01, 2017

Pemahaman Tentang Virtual Reality

Virtual Reality
Apa Itu Virtual Reality? Mungikin kata tersebut masih agak sangat asing bagi sebagian orang, namun tidak tertutup kemungkinan jika sebagian yang lain sudah sangat familiar dengan istilah tersebut bahkan sudah mengalami berbagai macam pengalaman yang disajikan dalam melakukan berbagai jenis petualangan dalam dunia virtual tersebut. 
Pemahaman Tentang Virtual Reality
Pemahaman Tentang Virtual Reality
Bagi yang belum memahami istilah kata tersebut ada baiknya mengikuti penjelasan singkat dalam sajian kali ini. Kita tahu bahwa jenis tehnologi Virtual Reality merupakan salah satu inovasi teknologi terbaru yang baru dikembangkan dengan memiiki tujuan untuk mempermudah orang dalam melakukan interaksi terhadap suatu object grafis dengan menggunakan visualisasi tiga dimensi (3D) ataupun gambar yang berhologram. Teknologi ini mampu memberikan sebuah pengalaman baru bagi penggunanya, karena para pengunanya akan merasakan seolah-olah dapat menyentuh objek tersebut secara langsung. Untuk lebih jelasnya, secara sederhana istilah Virtual Reality tersebut dapat dijelaskan Virtual Reality adalah tampilan gambar dalam bentuk tiga dimesi (D3) yang kelihatan seolah-olah seperti nyata yang dimana proses penciptaanya diciptakan melalui bantuan perangkat komputer ataupun juga beberapa perangkat-perangkat pendukung lainnya.
Bagaimana proses Virtual Reality ini dimulai, dengan kata lain seperti apakah proses permulaan pembuatan Virtual Realiti tersebut? Ataupun boleh dikatakan bagaimana sejarah Virtual Reality tersebut dimulai? Tepatnya Pada tahun 1950an, seorang penulis yang memiliki nama Morton Heilig menulis tentang ‘teater pengalaman’ dimana penggunanya (teater tersebut) dapat berinteraksi dengan semua indera mereka melalui suatu cara efektif sehingga menarik penonton kedalam kegiatan layar tersebut. Pada tahun 1962, penulis tersebut membangun sebuah prototipe Virtual Reality dan menamainya dengan nama ‘sensorama’ dan mempertunjukkan lima buah filem pendek hasil kreasinya untuk memperlihatkan bagaimana sensorama tersebut bekerja kepada penontonnya. 

Teknologi Virtual Reality ini tidak dapat bekerja sendiri tanpa didukung oleh perangkat media lainnya. Untuk lebih jelasnya mari kita simak jenis madia perangkat lain yang digunakan untuk mendukung Virtual Reality tersebut. Adapun jenis perangkat media lain yang digunakan untuk mendukung kerja Virtual Reality tersebut diantarnya adalah sebuah helmet, headset, walker, dan sepasang sarung tangan. Semua media perangkat tambahan ini memiliki kegunaan tersendiri dalam mendukung proses kerja teknologi Virtual Reality tersebut. 

Media Pendukung Helmet. Adapun fungsi dari helmet adalah untuk untuk membuat tampilan gambar ataupun objek tertentu yang dilihat oleh sipenggunanya kelihatan lebih dekat dan nyata. Sementara adapun fungsi dari media pundukung headset sendiri adalah untuk menyajikan efek suara kepada pengguna dengan jelas, sehingga penggunanya merasakan sensasi seperti berada di tempat yang seolah-olah nyata. 

Adapun untuk jenis media perangkat bantuan lain seperti walker dan sapu tangan berfungsi sebagai penangkap gerakan pada kaki dan tanggan dan memebrikan suasana yang nyata kepada kedua anggota tubuh pengguna ketika berada di dalam lingkungan yang diciptakan oleh teknologi Virtual Reality tersebut.  Sebagai contoh, pengguna Virtual Reality tersebut akan berada seolah-olah di gunung salju yang sesungguhya, seperti bermain sky, serta merasakan sensasi dinginnya butiran-butiran salju yang ada di lingkungan tersebut. 
Adapun sistem kerja Virtual Reality terdiri atas:

1. Virtual Word
Virtual Word merupakan sarana peralatan yang mampu menciptakan dunia secara virtual dalam bentuk screenplay

2. Immersion 
Immersion merupakan sensai yang membuat pengguna Virtual Reality merasakan seolah-olah mereka sedang berada di alam yang nyata, padahal sebenarnya mereka pengguna Virtual Reality tersebut sedang berada didunia virtual saja (alam hayalan) dalam artian yang sesunggunya mereka (pengguna) tersebut hanya berada di alam yang tidak nyata. Aspek Immersion meliputi aspek mental dan aspek fisik pengguna yang semuanya akan larut serta merasakan perasaan seolah-olah sedang berada dilingkungan yang nyata, padahal lingkungan tersebut hanyalah dihasilkan oleh Virtual Reality saja. 

3. Sensory feedback
Sensory feedback berfungsi untuk mengantarkan informasi dari dunia virtual (virtual world) menuju kedalam indera penggunya. Untuk elemen ini mencakup unsur penglhatan, pendengaran serta rasa (ransangan perasaan kulit)

4. Interactivity
Interactivity ini memiliki kegunaan untuk memberikan respon terhadap aksi pengguna sehingga para pengguna dapat melakukan interaksi secara langsung di dalam dunia virtual tersebut.  

Manfat Teknologi Virtual Reality.
Teknologi Virtual Reality sudah digunakan dalam bebarapa bidang, seperti diantaranya bidang dunia kedokteran, bidang penerbangan, bidang militer, disamping juga digunakan sebagai perangkat pendukung permaian game. Dalam bidang kedokteran, Virtual Reality biasanya digunakan untuk mendeskripsikan bagain anatomi tubuh sehingga organ-organ dalam tubuh kelihatan lebih nyata (real). Dalam bidang penerbangan, teknologi Virtual Reality ini digunakan sebagai simulasi penerbangan para pilot, yang meliputi cara menerbangkan pesawat di berbagai kondisi cuaca, berkomunikasi anatar peswat atau dengan bandara, serta kodisi dimana pilot tersebut berada dalam keadaan darurat sehingga menimbulkan reaksi dari pilot untuk mengatasi keadaan darurat tersebut. Hal ini bertujuan untuk agar para pilot lebih terbiasa menangani berbagai bidang disamping juga mendapatkan pengalaman yang cukup jika suatu saat menerbangkan pesawat dalam kondisi nyata. 

Dalam bidang kemiliteran, Virtual Reality ini di gunakan dengan tujuan sebagai sarana untuk membuat simulasi perang. Para personil tentara akan merasakan situasi berada dimedan tempur yang terlihat nyata sehingga para personil tentara ini akan melakukan berbagai usaha perlindungan dan perlawanan dalam situasi perang tersebut. Disamping itu salah satu keuntungan digunakannya Virtual Reality ini dalam bidang kemiliteran adalah mampu menghemat biaya jika dibandingkan dengan melakukan simulasi latihan perang yang nyata. 

Meskipun perangkat teknologi Virtual Reality ini belum beredar secara luas (massif) baik di kota dan daerah pedesaan dalam artian lain masih langka, bukan tidak mungkin jika pada suatu saatnya nanti jika teknologi Virtual Reality ini akan berkembang secara luas sehingga semua orang dapat merasakan sensasi berupa pengalaman yang disajikan dalam dunia penjelajahan ala virtual. Seprti halnya penggunaan hand phone pada masa awal dimanan hanya segelintir orang saja yang mengunakan sarana komunikasi hand phone tersebut, dengan kata lain hanya golongan ekonomi menengah ke atas saja yang menjadi pengguna jasa layanan tekomunikasi hand phone tersebut. Jadi jelas sekali jika kita menggunakan perbadingan sarana telekomunikasi seluler dengan Teknologi Virtual Reality tersebut maka boleh dikatakan tidak tertutup[ kemungkinan jika suatu saat nanti pengguna jasa teknologi Virtual Reality tersebut akan menjamur laksanan menjamurnya penggunana jasa selular dimasa sekarang ini. Toh beberapa vendor yang ada sudah mulai mengadakan hubungan dan pemesanan teknologi Virual Reality ini.         
       

Friday, March 31, 2017

Hal Yang Tersembunyi di Balik Bangunan Ka’abah

Siapa yang tak menganal Ka’abah Baitullah? Jelas sekali jika orang yang beragama islam rasanya sangat tidak mungkin jka merea tidak kenal dengan Ka’abah Baitullah. Ini karena Ka,abah Batullah adalah tempat tujuan sebagian besar umat islam untuk melaksankan/menunaikan rukun islam yang kelima yaitu Melaksanakan Haji ke Baitullah.
Hal Yang Tersembunyi di Balik Bangunan Ka’abah
Hal Yang Tersembunyi di Balik Bangunan Ka’abah
Batullah ini dibangun rertama kali pada masa nabi Adam AS. Kemudian menurut pendapat sebagian ulama, Mekkah Baitullah ini mengalami kerusakan pada masa Nabi Nuh AS, dimana pada saat itu terjadi musibah banjir besar yang menenggelamkan hampir seluruh permukaan bumi. kemudian Allah memerintahkan untuk membangun kambali Ka'abah tersebut pada masa nabi Ibrahim, dan nabi Ibrahim AS membangun kembali Ka'abah tesebut untuk direnovasi kembali. Dan adapun proses renovasi tersebut terus berlangsung kemasa-masa seterusnya dengan berbagai perubahan dan perluasan di lakukan untuk mempermudah para jamaah haji seluruh dunia dalam menunaikan rukun islam yang ke-lima tersebut

Ka’abah Baitullah adalah rumah Allah yang terletak tepat di tengah-tengah Mesjidil Haram disamping Ka’abah ini merupakan arah kiblat yang harus di hadap oleh semua umat islam keltika menunaikan Shalat sebanyak lima kali sehari semalam. Ka’abah sekilas kita lhat adalah sebuah bangunan berbentuk kubus yang dibungkus/ditutupi dengan kain hitam dan dihiasa dengan tulisan Al-quran. Namaun adakah anda berpikir kira-kira seperti apakah isis didalam bangunan Ka’abah tersebut. Apakah bentuknya padat atau ada ruang-ruang tertentu di dalamnya. Untuk itu kali ini saya akan mengambarkan sedikit rahadia yang terkandung di dalam bangunan Ka’abah tersebut.

Sebagaimana diperlihatkan dokumenter kerajaan Arab Saudi, bagian dalam Ka’abah hanyalah ruangan kosong. Dimana bangunan tersebut hanya terdapat tiga pilar dari kayu Gaharu. Panjang per pilar hanya sekitar seperempat meter atau setangah meter berwarna campuran antara merah dan kuning. Katiga pilar ini berjejer dengan rapi dari utara keselatan.

Pada awal tahun 2000, bagian bawah ketiga pilar tersebut rusak karena terjadi keretakan pada bagian bawahnya, yang kemudian diperbaiki dengan diberi kayu melingkar di sekelilingnya. Gaharu ketiga pilar ini dibuat atas inisiatif Abdullah ibn Al Zubair, sekitar tiga abad lalu. Meski sudah demikian lama, namun ketiganya masih tetap kokoh berdiri hingga sampai sekarang ini untuk menompang bangunan Ka’abah tersebut.

Adapun pada atap bagian dalam Ka’abah dipenuhi berbagai ukiran-ukiran yang mengagumkan, selain itu juga diberi lampu-lampu indah yang terbuat dari emas murni dan dari perhisan-perhiasan indah lainnya sehingga lebih menambah keindahanya karena adanya penerangan dari lampu tersebut. Disampin itu, Lantai Ka’abah terbuat dari batu pualam putih yang sangat indah dan menarik sehingga lantai Ka’abah terlihat sangat indah dn mengkilap laksana kaca.

Pada bagian dinding Ka’abah, pada bagian dalamnya dibalut dengan batu pualam warna-warni dan dihiasi ukiran bergaya arab yang sangat menarik dan menawan mata bagi yang memandangnya, sehingga menhgadirkan rasa takjub yang tersendiri. Pada bagian diding dalama ini juga terdapat tujuh papan yang menempel pada dinding ini yang bertuliskan nama-nama orang yang pernah merenovasi atau menambahkan sesuatu yang baru di didalam Ka’abah ataupun Mesjidil Haram tersebut.

Disamping itu, pada bagian didinding bagunan Ka’abah ini tepat pada bagiannya terdapat bnagunan kecil yang menepel pada bagian bawah didinding Ka’abah. Bagunan ini dinamakan Syadzawan. Ada Disebutkan bahwa tembok sydzarwan merupakan bangunan tambahan pada Ka’abah yang dikerjakan oleh kaum quraisy. Ada bebrbagai pendapat dari sebagain ulama mengenai bangunanan Syadzawan ini. Menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, tembok syadzrwan bukan merupakan bagian dari Ka’abah. Mazhab Hambali memilih berada diantara dua pendapat itu. Menurut mereka, menjauhi tembok tersebut sangat di anjurkan, tetapi seandainya jamaah melakukan thawaf didalamnya, maka thawaf tetap sah dan tidak sampai rusak. Yang jelas, belum diketahui secara pasti kapan pertama kali tembok syadzawan dibangun. Setiap kali Masjidil Haram dipugar, tempat-tempat itu disekitarnya juga dipugar. Yang pasti tembok syadzawan mengalami pemugaran pada tahun 542 H, 636 H, 660 H, dan 1010 H.

Inilah sekilas gambaran rahasia yeng terkandung di dalam Ka’abah tersebut, memang tidak semua orang dapat masuk kedalam bangunan tersebut sebab ada larangan dari kerajaan Arab Saudi. Jadi karena kita tidak bisa masuk kedalam bangunan tersebut maka saya kira gambaran dari dalam bangunan Ka’abah yang mulia yang saya paparkan ini rasanya dapat merubah rasa penarasan kita terhadap keadaan di dalam bangunan Ka’abah tersebut. Semoga saja somoga kita mendpatkan rezeki yang dapat mengantarkan kita kesanan untuk menuikan rukun silam yang lima. Rasanya semua orang islam rindu sekali untuk melaksanakan shalat langsung mengahadap Ka’bah Baitullah yang mulia dan mencium batu Hajar Aswad. Disamping jyga melkasankan thawaf untuk memulikan Rumah Allah tersebut. Sungguh tergetar rasanya bathin ini ketika mendengar cerita dri orang-orang yang pernah berkunjung kesana dimana kebanyakan mereka merasakan nilai spritual yang tinggi ketika berkunjung kesana. Insyaalah kita semua diberikan kesempatan oleh Allah suatu hari nanti, terus berdoa dan berusaha untuk mewujudkan cita-cita suci tersebut, karena Allah maha mendengar setiap doa yang kita kirimkan kepadaNya. Amien ya rabbal ‘alamin.

Cukup Sekian saja kupasan/gambaran saya semoga tulisan singkat ini dapat memberikan manfaatnya  bagi pembaca sekallian teutama bagi diri saya sendiri, dan terakhir say ucapkan terimakasih atas kunjungannya jumpa lagi di lain kesempatan. Wassalam